Share

Hijrah yang Tak Kau Hargai
Hijrah yang Tak Kau Hargai
Penulis: Alshrye

Bab 1 Niat hati

Penulis: Alshrye
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-21 11:14:55

Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini?

"Tidak malu kamu?"

"Apa sih, Bu?"

"Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?"

"Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku."

"Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris."

"Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!"

"Ibu malu kalau jalan sama kamu."

"Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang."

"Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai."

"Astaghfirullah."

Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.

***

Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padanya. Ia hanya berikan sekedarnya. Pernah diberikannya tak cukup sama sekali. Terpaksa aku mengirit dan memakai keperluanku seadanya. Bahkan, untuk membeli pembalut aku harus bilang. Tak segampang itu mendapatkan hati ibu tiriku.

Pernah satu waktu kutelepon ayah. Aku minta dikirimkan saja uangnya. Sehingga aku membuat ATM sendiri agar bisa ditransfer. Saat itu aku baru lulus sekolah. KTP pun aku baru buat.

"Ayah, kirimkan saja aku uang. Sekarang aku sudah punya ATM."

"Yah, kirimkan rekeningmu. Memang kenapa dengan ibu? Bukannya ayah sudah titip ke dia?"

"Aku segan minta padanya. Ia sering sibuk dengan usaha katering. Bagian untukku ayah kirimkan saja lewat ATM!"

"Ya. Sudah dulu Ayah mau kerja."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Akhirnya aku minta pada ayah. Aku mengatakan semuanya. Syukurlah ayah mau mengirimkannya. Ayah memang sering dinas keluar kota. Dia adalah seorang pegawai negeri. Namun tempatnya bekerja, jauh dari tempat tinggal. Jadi aku harus hidup dengan ibu tiri. Ayah dan ibu tiriku tidak mempunyai anak. Mereka hanya punya aku semata wayang. Ibu kandungku sudah 16 tahun meninggal. Ia meninggal karena sakit leukemia. Saat aku usia dua tahun, ia meninggal.

Sebagai muslimah, aku selalu menjalankan ibadah. Namun, aku belum mengenakan hijab. Aku salat, belum mengenakan hijab. Layaknya identitasku sebagai seorang muslimah tak terlihat. Setiap kali aku memasuki mesjid untuk salat. Tapi, aku tak kenakan kerudung. Orang-orang yang berkerudung heran melihatku. Temanku yang berhijab tak masalah. Mereka mengharapkan aku berhijab. Aku harus memantapkan hati untuk berhijab.

"Tazkiyah kamu sangat cantik." Puji temanku saat kami bercermin.

Aku menyisir rambutku yang terurai panjang. Rambutku sedikit ikal, selalu kurapikan.

"Makasih, Dhea. Kamu juga cantik. Wanita soleha, hehe."

"Kalau kamu pakai hijab. Aku yakin kamu tambah cantik."

"Yah, do'akan aku dapat hidayah. Biar aku jadi muslimah yang seutuhnya."

"Amin."

***

Aku baru saja mendaftar di universitas. Ayah menyuruhku mengambil jurusan ekonomi. Ia ingin aku melanjutkan seperti dia. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil jurusan Bahasa asing. Tapi, ayah ingin yang berbeda.

Setelah selesai dari kampus, aku pulang. Aku belum bisa menggunakan kendaraan. Sehingga ayah belum membelikanku kendaraan. Jadi untuk sementara, aku pergi menggunakan bis kota. Kadang Dhea mengantarkanku ke rumah. Ia sekalian main ke rumahku.

Hari ini aku naik bis kota. Setelah sampai, aku menyusuri jalan ke rumah. Akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku langsung membuka pintu pagar. Kulihat ibu tiriku sudah pulang. Tampaknya ia tak terlalu sibuk hari ini.

"Assalamu'alaikum!"

Tak ada jawaban, mungkin ibu tiriku sedang sibuk. Pintu rumah tak terkunci. Tapi ada bi Kusma di rumah. Ia pembantu di rumah. Sejak aku kecil, ia sudah bekerja disini.

"Hei!"

"Ibu."

Tiba-tiba ibu tiriku menegurku. Mukanya tampak sangat masam. Aku tak tahu apa yang terjadi? Namun aku tetap menyalaminya.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Kamu itu tukang ngadu yah!"

"Ada apa, Bu?"

"Pura-pura gak tahu lagi. Kamu ngadu soal keuangan yah. Bilang gak dapat jatah. Padahal kukasih terus kamu uang. Sampai jatahku saja seharusnya lebih, jadi dikit. Semua gara-gara kamu!"

"Maaf, Bu. Aku hanya butuh uang banyak. Apalagi aku harus daftar kuliah. Uang dari Ibu kurang."

"Pantas saja kamu jarang minta uang. Rupanya diam-diam kamu minta!"

"Tapi aku memang butuh, Bu."

"Sudahlah. Mulai sekarang, kamu jangan minta transfer lagi. Biar aku saja yang kasih!"

"Tapi Bu.."

"Gak usah membantah. Jadi anak itu yang nurut. Usaha kateringku jadi terhambat gara-gara kamu!"

"Yah, Bu."

Aku merasa cobaanku kian berat. Mungkinkah karena ibadahku yang kurang. Ujian datang silih berganti. Seandainya kukenakan hijab, akankah merubah semua?

Tuhan tolong aku. Aku percaya engkau akan memberikan hidayah padaku. Akan kututup diri ini. Semoga jalan ini sebenarnya untukku berubah. Aku akan hijrah. Merubah penampilanku. Kalau tidak salah, dulu ibuku berkerudung. Mendiang ibu kandungku banyak jilbab. Tapi aku tak tahu dimana simpanannya. Lebih baik kutanyakan bi Kusma. Ia sudah lama bekerja disini. Sebelum aku lahir, ia sudah bekerja disini.

"Bi!"

"Yah ada apa, Neng?"

Aku hendak menanyakan hijab dengannya. Semoga ada untukku kenakan.

Aku sangat ingin berhijab. Lalu, kucoba mencari bekas kerudung ibuku dulu. Bibi Kusma memberitahu tempat menyimpannya. Hijabnya tersimpan rapi dalam lemari. Namun lemari itu sudah berdebu.

"Ini hijabnya, Neng. Sebenarnya hijab bu Aliana banyak. Tapi ini sudah sedikit berkurang."

"Kenapa Bi? Rusak terus dibuang yah?"

"Gak."

"Dikasih buat keluarganya, dibawa nenek?"

"Bukan. Semua barang bu Aliana tersimpan rapi. Semua barangnya yang bagus, diambil bu Rafika."

Aku terkejut mendengar pernyataan bibi Kusma. Rupanya ibu tiriku mengambil barang ibu. Seharusnya itu jadi milikku. Mungkin diambilnya karena aku masih kecil. Menurutnya aku tak bisa pakai. Namun sekarang aku sudah besar. Alangkah baiknya ibu tiriku memberikannya. Akhirnya kuambil semua yang masih layak pakai. Meskipun modelnya sudah jadul. Aku sangat bahagia bisa pakai barang ibuku. Lalu kucoba kenakan kerudungnya. Aku merasa sangat nyaman. Seolah ibuku ada bersamaku saat ini.

"Cantik Neng Tazkiyah!" Puji Bibi Kusma padaku.

"Makasi, Bi."

"Neng Kiah mirip sekali dengan bu Aliana. Wajahnya putih bersih. Pakai kerudung jadi tambah berseri."

"Aku benar mirip ibu yah, Bi?"

"Iya, mirip sekali Neng."

Mendengar bibi Kusma bicara, aku terharu. Rasa rinduku semakin bertambah pada ibu. Dalam benakku berkata, "aku akan sepertimu ibu. Engkau perempuan soleha. Kau selalu kudo'akan."

Kemudian aku melipat semuanya. Lalu kubawa keluar. Aku hendak mencucinya.

"Sini biar Bibi bantu, Neng. Nanti sekalian Bibi cucikan, yah."

"Gak usah, Bi. Biar aku saja!"

"Loh kenapa?"

"Ini baju peninggalan ibu. Aku ingin mencuci pakaiannya. Sekalipun aku belum pernah berbakti padanya."

"Neng Kiah sabar yah. Ibu Neng Kiah sudah merasa bahagia. Dia bahagia karena bisa melahirkan Neng Kiah. Menurutnya, Neng adalah anugerah terindah yang Allah berikan."

"Makasih, Bi sudah mengingatkanku tentang ibu."

"Yah, Neng."

Aku tambah terharu mendengar bibi Kusma bicara. Ternyata ibuku adalah wanita terbaik. Aku semakin ingin berjuang bertemu ibu. Semoga kelak, aku bertemu dengannya di Jannah.

Bab terkait

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 2 Mantap Berhijab

    Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma. "Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-23
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 3 Ingin Kabur

    Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa. Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku. "Aaaaaa!!!""Ada apa?" Tanya Zaky kaget.Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi. "Zaky, apa yang kamu lakukan?""Tidur.""Yah aku tahu, kenapa kamu disini?""Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja.""Setelah itu, apa yang kau lakukan?"Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-23
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 4 Permintaan Menikah

    "Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?" "Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya."Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya."Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah."Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku."Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya."Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku. Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah."Benar kata Ibumu, Tazkiyah?""Aku pulang malam karena ada tugas kuliah.""Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang.""Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-23
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 5 Tak Sejalan

    Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-24
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 6 Keinginan yang Terpendam

    Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 7 Pindah ke Rumah Mertua

    Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-16
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 8 Serba Salah

    Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-18
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 9 Setelah Lama Tak Bertemu

    Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-23

Bab terbaru

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 59 Setelah Lahiran

    Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 58 Menjelang Persalinan

    Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 57 Keinginan Setelah Melahirkan

    Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 56 Hasrat yang Keliru

    "Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 55 Saat Bertemu Kembali dengannya

    Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 54 Periksa Kandungan

    Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 53 Tak dihargai

    Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 52 Aku yang Kecewa

    Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 51 Ibu Tiriku Marah

    Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia

DMCA.com Protection Status