Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.
Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma."Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga terus merokok. Asap rokoknya membuat nafasku sesak.Aku jadi hilang selera makan. Saat itu ibu tiriku muncul. Ia hendak sarapan juga pagi ini."Tazkiyah, tumben berhijab? Ada acara?" Tanya Ibu tiriku."Gak Bu. Aku hanya ingin pakai saja.""Oh, baguslah. Sudah sadar kamu, jadi mau tobat yah..""Aku memang mau pakai, Bu.""Yah semoga tak dibuka lagi yah!""Aku mengambil piring untuk makan. Tadinya ingin kuurungkan untuk sarapan, tapi ibu tiriku muncul. Aku tak mau ia marah nanti.""Ajak kenalan dong. Ini sepupumu dari kampung!""Saya Tazkiyah." Kataku sambil memperkenalkan diri."Zaky." Katanya sambi menyalamiku.Ia menyalamiku dengan gelagat aneh. Erat sekali menyalamiku. Aku langsung menarik tanganku dan melepaskannya."Orang ngajak salaman, kok sikapmu gitu!" Bentak Ibu tiriku."Sudah kusalami, Bu. Gak mungkin lama kan salamannya.""Zaky akan tinggal agak lama disini. Ia rencana mau kuliah.""Tinggal disini?""Ya. Kuliahnya di kampus kamu.""Kampusku?""Yah. Dia bukan asli sini, jadi kamu harus temani dia. Dia belum punya teman. Jadi Ibu minta tolong arahkan dia!"Di dekatnya saja aku sangat tidak nyaman. Apalagi harus menemaninya. Setelah kuberhijab, tak nyaman dekat lawan jenis. Melihat badannya banyak tato terkesan nakal. Aku tak mungkin bersama dia terus. Firasatku tidak baik dengan dia. Aku sangat takut sekali.Ketika hendak pergi, ibu tiriku memanggil."Tazkiyah, kamu pergi sama Zaky yah!" Perintah Ibu tiriku."Pergi pakai bis kota, Bu?""Zaky ada motor kok. Kamu boncengan sama dia. Zaky kan belum tahu alamat kampusnya."Betapa beratnya aku ketika diajak bersamanya. Apalagi aku harus satu motor dengannya. Tapi ini perintah ibu tiriku. Ia pasti akan sangat marah bila tak kuturuti."Zaky, kamu pergi sama Tazkiyah. Dia akan tunjukkan kamu jalan kesana. Kalian kan satu kampus." Ujar Ibu tiriku pada Zaky."Oke, Tante." Jawab Zaky.Aku masih tak rela pergi bersamanya. Aku sangat jarang dekat dengan lelaki. Selalu kujaga diriku dengan lawan jenis. Aku tak ingin lelaki lain menjamahku."Ayo naik!" Ajak Zaky.Kulihat ibu tiriku, ia masih berdiri melihat kami. Aku tak kuasa menolaknya. Terpaksa aku mengikuti ajakannya. Akhirnya kunaiki motor besarnya."Ayo pegangan!" Pinta Zaky."Pegang apa?" Tanyaku.Zaky langsung meraih tanganku. Ia memaksaku memeluk pinggangnya. Sontak aku langsung melepaskannya."Kenapa dilepas?" Tanya Zaky."Tidak perlu.""Kalau kamu jatuh, aku gak mau tahu yah!""Ya.."Saat di perjalanan, aku tak nyaman. Zaky sangat kencang mengendarai motornya. Ia seolah sengaja mengegas motor. Sehingga aku nyaris terbentur dengannya. Aku berusaha pegangan di bagian belakang. Rasanya ingin cepat tiba di kampus."Ini sudah di depan, berhenti!"Ia langsung mengerem motornya. Bunyi motor Zaky sangat berisik. Aku langsung turun di gerbang kampus."Kenapa gak berhenti di dalam?" Tanya Zaky."Kamu cari saja, ada parkiran disana. Tanya sama satpam. Aku berhenti disini saja.""Kamu tunggu aku di depan kampus yah. Aku parkir dulu!""Ya."Aku tak semangat menemani dia. Saat berjalan dengannya, aku menjaga jarak. Sengaja kupilih jalan yang ramai. Itu kulakukan agar dia tak mengangguku."Kita kemana?""Kamu harus masuk ke ruanganmu. Ini sedang kuantar kesana."Aku mengantarkan Zaky ke ruangan belajarnya."Disini ruanganya. Aku pergi dulu yah!" Ujarku"Eh, mau kemana?""Aku mau ke ruangan mata kuliahku.""Sebentar, aku minta nomor w******p mu yah!""Buat apa?""Buat menghubungimu. Kalau saja aku tak tahu ruangan sini.""Kamu bisa tanya orang sekitar sini. Tak perlu tanya aku segala.""Sudah, aku minta saja dulu. Mana tahu perlu!"Aku memberikan nomor ponselku padanya. Dalam benakku, kalau kau aneh-aneh takkan kugubris.Dhea sudah menantiku di kursi luar ruangan. Kira-kira sepuluh menit lagi kami masuk."Tazkiyah, ini kamu?""Yah kenapa?""Aku sampai paling. Tambah cantik!""Hehe, makasih.""Semoga istiqomah yah!""Ya.""Kamu sudah mantap sekali nampaknya.""Aku sudah ingin sekali pakai. Kamu benar, hijab ini sungguh nyaman.""Alhamdulillah."***Saat hendak pulang, Zaky mengirimkanku chat. Firasatku mulai buruk dengannya. Ia mengajakku pulang bersama. Terang saja langsung kutolak. Aku tak ingin dekat dengannya. Setelah beberapa menit tak kugubris, ia meneleponku."Hallo.""Ada apa Zaky?""Kamu ini kok gak balas chatku?""Aku lagi sibuk. Mangkanya gak sempat balas.""Belum pulang yah?""Belum."Aku terpaksa bohong, sengaja agar tak diajak pulang."Aku tunggu kamu di kantin yah!""Kamu sudah selesai kuliahnya?""Sudah.""Lebih baik kamu pulang saja!""Aku lupa jalan pulang.""Gak mungkin lupa. Kampusnya gak terlalu jauh kok.""Tapi aku benar-benar lupa."Dia sampai lupa jalan pulang. Kalau begini aku dengannya terus. Aku tidak mau!"Kamu belum punya teman?""Ada sih yang kenal.""Yah sudah. Ajak temanmu yang kenal itu. Minta tolong dia arahkan jalan ke rumah. Nanti kukirim alamatnya.""Ada. Tapi pulangnya temanku beda arah."Keterlaluan sekali, aku tak dapat menghindar."Yah sudah tunggu saja di kantin!" Perintahku."Oke.Aku sangat kesal sekali. Sampai kapan seperti ini. Sabar Tazkiyah, dia hanya butuh bantuan."Ada apa Kiah? kok kayak bete gitu." Tanya Dhea."Sepupuku Zaky, dia ajak pulang bareng.""Naik apa?""Motor.""Hati-hati, Tazkiyah! Aku jadi penasaran dia orangnya kayak apa?""Nanti kamu bisa lihat. Persis seperti preman.""Jangan bareng dia pulangnya. Bisa gawat kalau di rumah cuma sama dia.""Ada bi Kusma sih.""Bi Kusma gak bisa terlalu diandalkan!""Jadi aku harus gimana?" Tanyaku bingung."Ayo kamu pulang denganku saja! Biar dia mengiringi kita di jalan.""Oke, makasih Dhea.""Ya."Untunglah Dhea mau membantuku. Aku dan Dhea pergi ke kantin. Kami menghampiri Zaky yang duduk sendirian. Ia sedang merokok sambil duduk."Zaky!" Sapaku."Tazkiyah, ayo pulang!" Jawab Zaky."Aku pulang bareng temanku. Oh ya kenalkan ini Dhea.""Dhea." Ujar Dhea sambil memperkenalkan dirinya"Zaky." Jawab Zaky memperkenalkan diri juga.Dhea tampak tak ingin bersalaman. Ia segan, mungkin karena penampilannya."Aku pulang sama temanku yah!" Ujarku."Loh, jadi aku pulang sama siapa?" Tanya Zaky."Kamu ikuti saja kami dari belakang. Dhea juga bawa motor.""Oke."Zaky tampak kecewa sekali. Ia seperti tak semangat dan terpaksa. Akhirnya ia mengikuti motor Dhea. Tak hanya mengantarku, Dhea juga mampir.Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa. Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku. "Aaaaaa!!!""Ada apa?" Tanya Zaky kaget.Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi. "Zaky, apa yang kamu lakukan?""Tidur.""Yah aku tahu, kenapa kamu disini?""Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja.""Setelah itu, apa yang kau lakukan?"Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau
"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?" "Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya."Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya."Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah."Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku."Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya."Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku. Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah."Benar kata Ibumu, Tazkiyah?""Aku pulang malam karena ada tugas kuliah.""Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang.""Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama
Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam
Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi
Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu
Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,
Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi
Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke
Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini
Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta
Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah
"Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala
Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik
Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k
Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"
Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i
Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia