Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu
Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,
Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi
Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke
Di rumah aku menjadi sasaran mbak Namira. Selalu ada yang diributkannya. Ia selalu mencari masalah denganku. Itu hanya masalah sepele."Bu. Ada lihat ayam gorengku?""Memang ada apa?""Lauk makan siangku hilang, Bu. Siapa yang makan?""Mungkin tikus. Banyak tikus disini ngambil makanan.""Heran kok bisa? Siang gini ada tikus!""Jangan taruh sembarangan makanannya.""Biasanya gak hilang kok. Baru kali ini lauk makan bisa hilang. Siapa sih yah ngambil?""Jangan marah gitu. Mungkin memang dimakan tikus.""Aneh."Orang di rumah diam saja. Tak ada yang berani melawan iparku. Dia terus menggerutu. Mengeluh dan menyalahkan orang sekitar. "Sudah, Namira. makan saja yang ada.""Anakku, mana mau makan itu, Bu. Aku sudah belikan ayam goreng malah hilang!"Aku di rumah merasa tak enak hati. Ingin pergi saja rasanya. Seolah aku juga bersalah dengan ini. Padahal aku tidak tahu apa-apa."Kamu masih saja pakai kerudung di dalam rumah." Ucap Mbak Namira."Aku nyaman kayak gini, Mbak.""Panas-panas gi
Lama kelamaan disini aku makin tak nyaman. Seolah akan diusir oleh mereka. Bukan di rumah saja. Tetangga dan orang sekitar sini juga demikian. Sebaiknya apa yang harus kulakukan?Aku coba menenangkan hatiku yang kacau. Kuambil air wudhu saat sepertiga malam. Aku ingin salat tahajud. Mudah-mudahan Allah memberiku petunjuk. Andai ada tempat yang nyaman buatku. Tapi tak ada. Aku masih belum menemukannya sekarang. Aku masih nyaman di tempat kemarin. Ada mbak Rumaisya disana. Pindah kesini malah membuatku tak tenang. Aku ingin pindah. Namun mas Hakim tak ingin mencari tempat lain. Aku pasrah tinggal disini. Sakitnya hati membuatku menangis."Kenapa kamu?"Mas Hakim muncul di hadapanku. Ia melihat aku yang menangis sesenggukan."Ada masalah apa?""Aku tak bisa lagi disini, Mas.""Kamu ini seharusnya jadi istri itu harus bersyukur. Tinggal di rumah ibuku malah tak betah.""Bagaimana bisa betah, Mas? Orang banyak menaruh curiga padaku. Padahal aku tak pernah sedikitpun melukainya.""Mangkany
Hari ini aku bisa jalan bersama mbak Rumaisya. Bahkan aku telah ke rumahnya. Sangat bahagia sekali. Pulangnya aku dijemput mas Hakim. Kami pun pulang ke rumah. Seperti biasa, setiap pulang disambut muka masam mbak Namira. Ia masih belum pulang ke rumahnya. Suaminya pergi keluar kota. Ia memutuskan menginap di rumah mertuaku. Apalagi kabarnya mbak Rumaisya tengah hamil muda. Dia tidak bisa pulang sendirian.Aku tambah tersudut. Mbak Namira saja yang sudah punya anak, kini hamil lagi. Sementara aku satupun belum ada. Aku tetap sabar. Namun, menyakitkannya, bila ada yang menyinggungku. Bukan hanya keluarga mas Hakim. Tetangga pun bicara demikian. "Bu, aku mau beli makanan manis ini. Kayaknya aku ngidam." Ungkap Mbak Namira."Kamu mau apa?""Mau makan buah, Bu.""Besok minta belikan suamimu.""Aku maunya sekarang.""Buah apa pinginnya?""Buah apel." "Aku mau belikan ke pasar. Tapi lagi sibuk jahit.""Aku kepingin sekarang, Bu.""Sebentar, Ibu panggil Tazkiyah dulu. Minta tolong belikan
Mas Hakim mengajakku pergi hari ini. Namun, ia menyuruhku menanti di tempat sekolahnya mengajar. Ia mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Rencana aku akan interview lagi siang ini. Kebetulan mas Hakim pulang cepat. Ia mengajakku agar tak bolak-balik jemput ke rumah. Aku tak bisa pergi sendiri, sebab lokasi interviewnya tak kuketahui. Maklum aku bukan asli Jakarta. Jadi, aku tak tahu lokasinya. Saat itu, aku menunggunya di kantin. Kadang di mushola. Akhirnya tak berapa lama, Mas Hakim datang."Sudah selesai Mas ngajarnya?""Sudah. Aku diminta murid privatku mengajarnya hari ini. Gimana ya?""Mas mau ngajar dia?""Ya. Aku tak tahu dia minta mendadak. Kalau ditolak, aku tak dapat uang.""Yah sudah, Mas kesana saja.""Kamu gimana?""Antarkan saja aku. Nanti bisa pulang sendiri.""Benar gak apa?""Yah, Mas."Saat hendak pulang, kami malah berpapasan dengan Cynthia. Mas Hakim langsung menegurnya."Cynthia!""Yah, Pak Hakim.""Kamu tumben ke sekolah.""Saya mau mengambil ijazah."Cynthia
Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini
Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta
Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah
"Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala
Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik
Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k
Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"
Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i
Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia