Beranda / Romansa / Hijrah yang Tak Kau Hargai / Bab 4 Permintaan Menikah

Share

Bab 4 Permintaan Menikah

Penulis: Alshrye
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-23 20:13:18

"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?"

"Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"

Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya.

"Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah.

"Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku.

"Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya.

"Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku.

Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah.

"Benar kata Ibumu, Tazkiyah?"

"Aku pulang malam karena ada tugas kuliah."

"Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang."

"Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama Ibumu. Biar dia bisa menjaga dan mendidikmu. Tapi kamu malah bertindak bebas!"

"Aku benar Ayah. Kalau kalian curiga terus, nikahkan saja aku!"

"Hahaha. Sudah minta nikah." Hardik Ibu tiriku.

"Kamu kira gampang menjalani rumah tangga? Perlu didikan dan nasihat lagi. Kamu harus tahu, tak semudah itu. Belum lagi selesai kuliah. Kalau kau menikah, kuliahmu akan terbengkalai!" Ungkap Ayahku kesal.

"Jadi Ayah belum mengizinkanku menikah?"

"Bukan tak mengizinkan. Pacarmu itu belum ada pekerjaan tetap. Kata Ibumu, dia masih kuliah. Kerja sama sekali tidak. Bagaimana bisa membiayai hidupmu! Mau menikah saja mungkin belum ada maharnya."

"Memang ayah minta mahar berapa?"

"Kamu harus tahu, paling kecil 30 juta. Tapi karena pendidikanmu tinggi, bisa 50 juta. Itupun paling kecil!"

"Kenapa besar sekali ayah?"

"Hey. Biaya menikah memang mahal. Kamu gak pikir, harga pada naik. Sewa pelaminan pasti mahal. Belum lagi biaya kateringnya. Kalaupun aku yang buat, masih pakai uang!" Balas Ibu tiriku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tak menyangka sesulit itu untuk halal. Kemudian kutelepon Ramdan. Aku ingin menyampaikan kata ayah.

"Ada apa sayang?" Tanya Ramdan.

"Ayahku minta mahar yang banyak."

"Maksudnya?"

"Iya boleh menikah. Asal ada mahar yang besar. Aku takut kita tidak jadi menikah."

"Tenanglah, jangan menangis begitu. Ayahmu minta mahar berapa?"

"Lima puluh juta paling kecil."

Ramdan terdiam mendengarnya. Sudah kuduga, ia pasti berat. Ramdan bukanlah orang kaya. Ia dari keluarga sederhana. Tak mungkin sebanyak itu mendapatkan uang.

"Ramdan, mengapa kamu diam saja?"

"Ya sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti akan kuusahakan."

"Kamu memang punya uang segitu?"

"Bisa pinjam. Keluargaku banyak, mereka bisa menolongku. Sudahlah jangan nangis terus. Aku akan berusaha!"

"Oke. Aku tutup teleponnya yah."

"Ya."

***

Akhirnya jelang wisuda. Ramdan masih belum menepati janjinya. Saat skripsi, jadwal kuliah memang tak banyak. Aku menyelesaikan skripsiku. Ramdan sudah lebih dulu menyelesaikannya. Setiap kutelepon dan ajak bicara, ia beralasan sibuk. Bahkan, ketika aku sidang, ia tak hadir. Sampai aku dinyatakan lulus. Ia jarang meneleponku. Apalagi di kampungnya tak ada sinyal telepon. Aku jadi sulit menghubunginya. Sangat galau sekali yang kurasakan. Aku menanti teleponnya aktif. Kuberulang kali telepon. Masih tak digubrisnya.

Setelah berulang kali, baru diangkatnya.

"Besok saat wisuda kita bertemu." Ujar Ramdan.

"Ya."

Itulah terakhir kali aku komunikasi dengannya. Setelah wisuda, ia masih terus menghindar. Aku tak sangka ia secepat ini berubah. Sehingga aku sangat marah. Lalu kuputuskan ia dengan tidak baik.

"Tazkiyah, kamu pacaran sama Ramdan?"

Saat kumelamun sendiri, ternyata ada Dhea. Dia menghampiriku.

"Kamu tahu darimana aku pacaran dengannya? Tanyaku.

"Aku pernah lihat kalian berdua. Teman yang lain juga bilang begitu."

"Iya benar. Tapi itu dulu, lupakan saja."

"Loh kenapa, ada masalah kalian?"

"Setiap hubungan memang begitu."

"Ramdan itu play boy katanya."

Aku sungguh kaget. Dhea langsung bicara begitu.

"Kok bisa kamu bilang dia play boy?"

"Kamu gak tahu? Sudah banyak cewek kampus digombalin dia."

"Yah, aku sudah tahu sebelum pacaran. Namun kukira itu hanya candaannya saja."

"Semua bilang dia play boy. Mengapa kamu mau pacaran dengannya?"

"Entahlah. Hubungan kami sudah di ujung tanduk."

"Kalian sudah putus ya?"

Tanganku bergetar, aku tampak salah tingkah. Dhea seolah curiga dengan gelagatku.

"Sudahlah. Aku tak apa-apa Dhea!"

"Oke."

***

Aku masih saja terus menghubunginya. Namun tak ada respon. Hingga aku bosan sendiri. Rasanya tak sanggup kehormatanku sudah dirusak. Aku merasa diriku sangat kotor dan hancur. Bagaimana nanti nasib suamiku. Ia menikah dengan wanita tak suci lagi. Hingga aku tak selera makan. Namun, aku tak sempat hamil. Selama berhubungan, kami selalu pakai pengaman. Aku sangat menyesal. Hijrahku ternodai dengan rayuan pria. Ternyata selama ini aku sudah dipermainkan.

"Mana pacarmu? Janji mau nikah, malah gak pernah datang? Hardik Ibu tiriku.

"Ia tak akan mau menikahiku. Dia orang sederhana. Takkan sanggup dengan beban biaya itu."

"Dasar anak sekarang. Tahunya pacaran, nempel terus. Eh, malah gak jadi."

"Cukup Ibu. Hatiku sudah sakit, kemarin ia mau melamar. Tapi terlalu berat kalian menentukan mahar."

"Yah itu urusanmu, bukan urusanku!"

Semua sudah terjadi. Aku sangat menyesal. Penyesalan selalu datang di akhir. Aku harus membuang jauh-jauh tentangnya. Tak mau lagi aku menjadi manusia bodoh.

Tak berapa lama, aku melihat ia memposting foto. Foto itu ada di akun sosmednya. Ia tampak sudah menikahi perempuan lain. Teramat sangat sakit hatiku dan hancur. Setelah itu, aku bertekad akan berubah. Aku menangis tatkala telah melupakan Tuhan. Aku telah mengingkari hijrahku. Selama ini aku terbuai dosa. Tuhan, ampuni aku. Mulai sekarang aku akan sepenuhnya berubah. Semoga kelak, aku bisa Istiqomah.

Aku membuang semua pakaian biasaku. Aku hendak hijrah kedua kalinya. Kuperbaiki lebih baik lagi. Kuputuskan untuk kenakan syar'i. Aku juga mengikuti setiap ada jadwal kajian di mesjid.

"Wah tambah besar saja jilbabmu. Semoga bukan casing aja yah!" Hardik Ibu tiriku.

"Ibu seharusnya bersyukur. Aku sudah mantap mengenakan ini. Alhamdulillah, meski tak harus laporan. Kujalankan ibadah salat, mengaji dan puasa."

"Gak usah pamer deh."

"Aku hanya cerita pada Ibu. Selama ini aku diam. Namun Ibu masih saja tak berubah."

"Anak kurang ajar. Omonganku kau lawan terus!"

Aku pergi meninggalkan ibu tiriku. Rasanya tak sanggup. Sebab dialah aku mencari pelindung lain. Hingga aku terjebak dengan pria. Kukira dia bisa jadi pelindung. Nyatanya petaka untukku.

Hasratku sudah bulat. Tekadku untuk berubah sepenuhnya. Aku ingin bertaubat nasuha. Aku harap Allah mengampuni dosaku. Aku berharap menemukan calon suami. Itulah sebab aku ikut kajian. Menuntut ilmu agama, sekalian mendapatkan jodoh. Aku tak ingin salah pilih lagi. Berharap jodohku bisa seaqidah nantinya.

Bab terkait

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 5 Tak Sejalan

    Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-24
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 6 Keinginan yang Terpendam

    Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-15
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 7 Pindah ke Rumah Mertua

    Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-16
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 8 Serba Salah

    Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-18
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 9 Setelah Lama Tak Bertemu

    Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-23
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 10 Curiga

    Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-24
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 11 Merasa Tersingkirkan

    Di rumah aku menjadi sasaran mbak Namira. Selalu ada yang diributkannya. Ia selalu mencari masalah denganku. Itu hanya masalah sepele."Bu. Ada lihat ayam gorengku?""Memang ada apa?""Lauk makan siangku hilang, Bu. Siapa yang makan?""Mungkin tikus. Banyak tikus disini ngambil makanan.""Heran kok bisa? Siang gini ada tikus!""Jangan taruh sembarangan makanannya.""Biasanya gak hilang kok. Baru kali ini lauk makan bisa hilang. Siapa sih yah ngambil?""Jangan marah gitu. Mungkin memang dimakan tikus.""Aneh."Orang di rumah diam saja. Tak ada yang berani melawan iparku. Dia terus menggerutu. Mengeluh dan menyalahkan orang sekitar. "Sudah, Namira. makan saja yang ada.""Anakku, mana mau makan itu, Bu. Aku sudah belikan ayam goreng malah hilang!"Aku di rumah merasa tak enak hati. Ingin pergi saja rasanya. Seolah aku juga bersalah dengan ini. Padahal aku tidak tahu apa-apa."Kamu masih saja pakai kerudung di dalam rumah." Ucap Mbak Namira."Aku nyaman kayak gini, Mbak.""Panas-panas gi

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-25
  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 12 Pergi Bersama

    Lama kelamaan disini aku makin tak nyaman. Seolah akan diusir oleh mereka. Bukan di rumah saja. Tetangga dan orang sekitar sini juga demikian. Sebaiknya apa yang harus kulakukan?Aku coba menenangkan hatiku yang kacau. Kuambil air wudhu saat sepertiga malam. Aku ingin salat tahajud. Mudah-mudahan Allah memberiku petunjuk. Andai ada tempat yang nyaman buatku. Tapi tak ada. Aku masih belum menemukannya sekarang. Aku masih nyaman di tempat kemarin. Ada mbak Rumaisya disana. Pindah kesini malah membuatku tak tenang. Aku ingin pindah. Namun mas Hakim tak ingin mencari tempat lain. Aku pasrah tinggal disini. Sakitnya hati membuatku menangis."Kenapa kamu?"Mas Hakim muncul di hadapanku. Ia melihat aku yang menangis sesenggukan."Ada masalah apa?""Aku tak bisa lagi disini, Mas.""Kamu ini seharusnya jadi istri itu harus bersyukur. Tinggal di rumah ibuku malah tak betah.""Bagaimana bisa betah, Mas? Orang banyak menaruh curiga padaku. Padahal aku tak pernah sedikitpun melukainya.""Mangkany

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-28

Bab terbaru

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 59 Setelah Lahiran

    Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 58 Menjelang Persalinan

    Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 57 Keinginan Setelah Melahirkan

    Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 56 Hasrat yang Keliru

    "Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 55 Saat Bertemu Kembali dengannya

    Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 54 Periksa Kandungan

    Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 53 Tak dihargai

    Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 52 Aku yang Kecewa

    Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 51 Ibu Tiriku Marah

    Esoknya mbak Rumaisya telah pulang ke rumahnya. Kemarin ia menemaniku di rumah ini. Sudah dua hari mas Hakim tidak pulang. Aku telah menghubungi ponselnya. Namun tak aktif juga. Sengaja aku bilang pada mbak Rumaisya, mas Hakim pulang hari ini. Terpaksa aku berbohong, tak ingin merepotkan mbak Rumaisya. Ia sudah banyak menolongku. Anaknya juga ingin sekolah. Bila ia disini lebih lama lagi, akan kerepotan. Rasa lelah kutahan. Biarlah aku sendiri disini. Jika mas Hakim tak pulang lagi, mungkin besok aku harus periksa sendiri kandungan. Aku rencana besok akan ke puskesmas. Vitamin hamilku juga telah habis. Jadi aku tak dapat menunda lagi kesana.Ada rasa keinginanku menelepon ayah. Tapi, aku harus minta izin terlebih dahulu. Sementara mas Hakim tak kunjung pulang. Tak lama berselang, aku melihat ada suara motor. Aku yakin itu bunyi motor mas Hakim. Lalu, aku melihat keluar jendela. Benar saja, mas Hakim telah pulang. Aku sedikit sumringah. Namun, hatiku masih menyimpan kesedihan karena ia

DMCA.com Protection Status