Bab 4 PRUK"Astagfirullah, Kamila!" pekik Gus Zainal terkejut. Tubuhnya mendadak menegang, merasakan tangan dan kepala Kamila yang tiba-tiba sudah bersentuhan dengan tubuhnya. Walau terhalang helai kain dari baju yang dikenakannya, tapi tetap saja hangat dari suhu tubuh Kamila dapat dirasakannya.Detak jantungnya mendadak berpacu lebih cepat, ia lelaki normal, yang sudah hampir tiga puluh tahun membujang tanpa belaian. Tentu sentuhan seorang wanita membuat tubuhnya bereaksi."Kamila, lepas, ya," pinta Gus Zainal dengan suara sedikit bergetar, seraya sedikit menarik tangannya dari dekapan Kamila, namun gadis itu menahannya, hatinya bersorak penuh kemenangan memandang ekspresi tegang wajah lelaki di sisinya."Aku nggak akan lepasin tangan Gus sebelum Gus menyetujui permintaanku," ancam Kamila yang ia anggap mampu menggertak pertahanan Gus Zainal."Kamila, kita bukan muhrim!" ucap Gus Zainal tegas."Nggak akan, Sayang, aku nggak akan melepaskannya sebelum kamu menuetujui permintaanku," b
Bab 5 PRUKGus Zainal segera meletakkan belanjaan di meja kasir, "titip dulu, Mbak, nanti saya kembali," pesannya pada penjaga kasir.Ia lalu berlari keluar mengejar Kamila, namun sayang, Bentor yang ditumpangi Kamila sudah terlebih dahulu jalan."Aduh! Telat lagi!" gumamnya pelan sembari menoleh ke kanan dan kiri, mencari cara untuk mengejar Kamila. Hingga tiba-tiba seseorang menyapa, "Gus Zainal?" Gus Zainal menoleh ke arah lelaki yang baru saja berhenti di parkiran indoapril, mencoba mengenalinya, namun gagal."Wonten nopo, Gus?" tanya lelaki tersebut sebab melihat Gus Zainal yang seperti orang kebingungan."Mau ngejar bentor itu!" jawab Gus Zainal seraya menunjuk Bentor yang ditumpangi Kamila tanpa pikir panjang."Monggo sareng kulo mawon, Gus!" lelaki asing tersebut menawarkan dirinya untuk mengantarkan."Nggak apa-apa, Kang?" tanya Gus Zainal memastikan."Nggih, Gus, Monggo!" jawab lelaki yang ia taksir berusia tiga puluh tahunan.Tanpa banyak bicara lagi, Gus Zainal segera m
Bab 6 PRUK"Apa yang membuat kamu keberatan?" tanya Gus Zainal."Aku nggak suka hidup di pesantren, Gus. Aku nggak suka hidup dikekang-kekang, aku terbiasa hidup bebas," jawab Kamila jujur."Hal apa yang membuat kamu merasa terkekang saat di pesantren?" tanya Gus Zainal lagi."Banyak, Gus. Di Pesantren nggak bisa bebas keluar, nggak bisa main hp, banyak tuntutan, harus ngaji, harus belajar, sholat, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Semua serba diatur, dan aku nggak suka itu," balas Kamila berapi-api."Oke, kalau begitu, saya akan berikan kamu keringanan. Pertama, kamu bebas keluar pesantren, dengan catatan tetap dalam pantauan saya, dan di luar jam aktif pesantren.""Maksudnya gimana tuh?" tanya Kamila memperjelas."Kamu boleh keluar, asalkan bersama saya, dan di jam yang tidak ada kegiatan di pesantren, yaitu ba'da isya'," jelas Gus Zainal."Oke, sepakat!" jawab Kamila mantap. Terbesit senyuman di bibirnya, gadis yang memang lebih sering menghabiskan waktu di luar saat malam hari itu ta
Bab 7 PRUK"Yah, coba tanya Gus Zainal, mereka sudah sampai apa belum? Perasaan Bunda dari tadi nggak enak deh," pinta Addina–Bunda Kamila pada Al seraya meletakkan segelas kopi di hadapan suaminya."Makasih, kopinya, Sayang. Sabar, ya, tadi Ayah sudah coba hubungin, tapi nggak diangkat, mungkin masih di jalan," balas Alfaro–ayah Kamila."Ya Allah ... Semoga anak kita nggak bikin ulah di sana ya, Yah," harap Dina mengkhawatirkan putrinya.Bukan takut putrinya nangis sebab tak betah, atau nangis sebab tak menemukan makanan enak layaknya di rumah sebagaimana santri baru pada umumnya, ia yakin soal ketangguhan putrinya, putrinya itu sangat tangguh seperti Ayahnya. Akan tetapi, sebagai seorang ibu yang mengenal baik watak putrinya, ia mengkhawatirkan Kamila dengan segala kenakalannya akan berulah di tempat orang, hingga merugikan orang lain, terlebih tempat itu adalah sebuah pesantren. Di mana semua praktik keagamaan dijalankan dengan penuh disiplin di sana.Berbeda dengan kepribadian pu
Bab 8 PRUK"Assalmualaikum, Yah," ucap Gus Zainal membuka percakapan dalam telepon."Waalaikumsalam, Gus ... Alhamdulillah akhirnya Gus Zainal menghubungi kami juga, kami tunggu kabarnya dari tadi loh," balas Ayah Kamila dari seberang."Iya, maaf, Yah, tadi saya masih di jalan, jadi belum bisa fokus sama HP, dan barusan cek hp kok ternyata ada panggilan tidak terjawab dari Ayah, jadi saya langsung telepon balik.Alhamdulillah ini saya dan Kamila baru sampai di depan pondok pesantren Nurul Hidayah," jelas Gus Zainal menyampaikan info terkini."Alhamdulillah. Lalu bagaimana perjalanannya, Gus? Apakah semuanya lancar?" tanya Ayah Kamila."Alhamdulillah ... kami sampai dengan selamat, Yah," jawab Gus Zainal tanpa berbohong."Alhamdulillah ... terima kasih banyak ya, Gus, telah mengantar putri saya sampai di pondok pesantren dengan selamat.Saya titip Kamila ya, Gus, minta tolong untuk dijaga dan dibimbing. Salam juga untuk Abah dan Ummi, mohon maaf kami belum bisa datang ke sana, Insya Al
Bab 9 PRUK"Saya nggak izinkan! Kembalikan sekarang juga!" pinta Gus Zainal berusaha merebut ponsel dari tangan Kamila."Apaan sih, Gus? Bentar doang juga! Gus jangan lupa sama perjanjian kita ya!" ingat Kamila pada perjanjian tak tertulis yang mereka sepakati."Perjanjian kita berlaku saat kamu berada di pesantren. Tapi sekarang, kamu belum memasuki pesantren, jadi perjanjian itu nggak berlaku," balas Gus Zainal beralasan."Ih, sama aja kali Gus. Dah ya, izinin aja. Bentar doang kok," ucap Kamila seraya kembali menatap layar ponselnya."Saya tidak mengizinkan, Kamila!" tegas Gus Zainal seraya mengambil alih ponsel dari tangan Kamila. Sekilas ia membaca sebuah pesan yang belum sempat terkirim di sebuah akun sosial media yang banyak digunakan remaja."Di. Sorry ya, harus ngubungin kamu lewat DM. Banyak hal yang terjadi hari ini. Mungkin kamu dah kebingungan sebab nggak bisa hubungin aku. Ini panjang ceritanya, dan aku nggak bisa cerita sekarang. Nanti aku akan hubungi kamu lagi. Jangan
Bab 10 PRUK"Assalamualiakum," ucap Gus Zainal seraya memasuki rumahnya yang pintunya memang selalu terbuka, diikuti Kamila di belakangnya.Rumah dengan desain klasik serba kayu dan ukiran yang sangat estetik, juga pintu yang dilengkapi dengan gebyok Jepara menambah nuansa klasik di ruangan itu semakin terasa.Sejuk, asri dan damai.Tak berselang lama, terdengar suara jawaban salam dari dalam, suara seorang lelaki tua yang terdengar sangat mendamaikan hati. Dari sela-sela sketsel alias dinding pemisah portable yang juga terbuat dari kayu ukiran Jepara, Kamila dapat melihat sosok tersebut berjalan ke ruang tamu seraya mengenakan kopyah putihnya."Masya Allah, kalian sudah datang toh?" ucapnya dengan pandangan berbinar menyambut kedatangan putra dan calon menantunya."Sudah, Bah, Alhamdulillah," jawab Gus Zainal seraya mencium tangan Kyai Husein–abahnya.Berniat untuk memuluskan sandiwara empat puluh harinya, Kamila pun turut melakukan apa yang Gus Zainal lakukan. Ia berniat meraih tang
Bab 11 PRUKKamila meneguk ludahnya sendiri, matanya membola memandang ke bawah. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat mendengar pertanyaan Kyai Husein.Tak hanya Kamila, Gus Zainal pun turut terkejut mendengar pertanyaan Abahnya, seketika membuatnya menghentikan aktivitas menyendok nasinya.Melihat kebingungan Kamila, Gus Zainal segera berinisiatif untuk menjawab."Ngapunten, Bah. Kamila ini kan baru mengetahui prihal perjodohan ini tadi pagi. Mungkin dia masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kasihan kalau buru-buru dituntut jawaban, lihat wajahnya sampai tegang begitu. Yang terpenting, kan, sekarang dia sudah di sini, setidaknya pemanasan dulu, kenal dulu sama keluarga ini, betah dulu, nyaman dulu di sini, baru ditanyain kapan mau selamanya tinggal di sini," ucap Gus Zainal yang membuat Kamila bernafas lega."Huuffh, Gus. Hari ini kamu berhasil menjadi pahlawanku," batin Kamila seraya memandang Gus Zainal penuh makna.Sedangkan Kyai Husein hanya manggut-manggut paham. Ya ya, Abah