Hujan turun dengan begitu derasnya. Hari ini, matahari tidak menunjukkan keberadaannya. Dia bersembunyi di balik awan gelap yang sejak malam menurunkan hujannya. Seperti pagi ini, Alisa sudah terbangun sejak tadi dan dia hanya duduk di depan kaca jendela kamarnya. Tiba-tiba yang jadi yang merindukan keluarganya. Dia merindukan umi dan juga Abinya. Alisa merasa bahwa hidupnya benar-benar hampa saat ini. "Alisa ..." panggil Tika saat membuka pintu kamar wanita itu. Dia masuk ke dalam dan melihat Alisa yang duduk termenung di depan kaca jendela kamarnya. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang jelas Tika tahu pasti ini berhubungan dengan laki-laki yang terus menghantui pikirannya. "Aku hari ini akan pergi kunjungan Puskesmas. Jadi aku akan pulang siang atau mungkin sore. Apa kamu tidak apa-apa jika aku meninggalkanmu disini bersama Abi?" tanya Tika pada Alisa. Dia masih berjuang untuk menyembuhkan luka hati wanita ini. Apalagi saat mereka mengetahui bahwa laki-laki yang menikahi, A
Alisa berusaha untuk mengendalikan dirinya. Sambil menggendong putranya, dia sambil melantunkan sholawat untuk Abidzar. Berharap bahwa anaknya bisa tumbuh menjadi anak yang hebat nantinya. Hari terus saja berlalu, dan kini Abidzar sudah tumbuh menjadi anak yang luar biasa hebatnya. Dia terus saja bisa memberikan kebanggaan terhadapnya. Alisa merasa bangga karena Abidzar membuatnya benar-benar bahagia, walau terkadang saat melihat wajah tampan putranya yang sedang tertidur membuat Alisa merasa kasihan dengannya. Tanpa diketahuinya, jika Abidzar sering mendapatkan bullying di sekolahnya, karena dia tidak memiliki ayah. "Hey, Abidzar yang nggak punya Abi!" teriak salah satu teman sekolahnya. Tapi, Abidzar selalu menanggapi mereka dengan begitu hebatnya. Dia tidak pernah marah atau sakit hati dengan perkataan temannya, karena dia tau bahwa dia memiliki ayah. Hanya saja, ibunya yang belum mau memberitahukan siapa ayahnya. "Ada apa, Lean?" tanya Abi dengan mengulas senyum. Dia terli
Setelah sekian lama, akhirnya Damian bisa kembali lagi ke negara ini. Rasa rindunya sedikit terobati. Setidaknya dia tau bahwa dia menghirup udara yang sama dengan Alisa.Ya, hingga saat ini dia masih memikirkan Alisa. Bahkan saat dia sudah menikah dengan Claudia pun, masih terus memikirkan Alisa.Seperti saat ini, Damian yang sedang menatap jalanan kota yang dilaluinya pun langsung terlihat kesal. "Hah, ternyata wanita itu berada di negara ini. Pantas saja kau terus berusaha untuk pergi ke tempat ini lagi. Sebegitu istimewa kah wanita itu sampai kau tidak bisa melupakannya walau sudah 8 tahun berlalu? bahkan kau masih menyimpan kalung sialan itu!" sindir Claudia.Sayangnya Damian tidak ingin menggapai apapun yang wanita itu katakan. Selama 7 tahun ini memang dia sudah menikah dengan Claudia, sayangnya dia tidak pernah menyentuh wanita itu. Bahkan berapa kali Claudia memberikannya obat perangsang yang membuatnya harus berjuang menahan siksaan itu. "Aku semakin penasaran secantik apa
Alisa yang sedang merapikan dagangannya pun menangis ketika melihat putranya pulang dengan keadaan seperti itu. Entah apa yang terjadi hingga membuat wajah Abidzar lebam, kancing seragam sekolahnya terlepas dan seragamnya kotor. "Ada apa ini, Nak? kenapa seperti ini Abidzar?" Alisa panas ketika melihat keadaan putranya yang seperti itu. Sedangkan Abidzar sendiri hanya bisa tersenyum saja. Dia tahu bahwa ibunya pasti khawatir melihat keadaannya seperti itu. Tapi, dia tetap tersenyum agar ibunya tidak terlalu khawatir karena dia baik-baik saja. "Katakan Abi, kenapa kamu seperti ini? apa kamu berkelahi? ibu tidak pernah mengajari kamu berkelahi kan?" ujar Alisa yang membuat Abidzar menyesal. Dia tidak ingin melihat ibunya menangis. Ibunya tidak boleh menangis dan dia tidak boleh melakukan hal itu. "Maafkan, Abi, Ibu. Abi tidak berkelahi. Abi tidak melakukan semua itu," jawabnya dengan jujur karena dia tidak berkelahi. "Bukan Abi yang memulainya lebih dulu. Mereka yang teru
Hari ini, Alisa benar-benar pergi ke sekolah anaknya, bersama dengan Tika. Hari ini dia benar-benar berkunjung ke sekolah untuk meminta pertanggungjawaban dari anak-anak yang membullly putranya. Dia ingin tau apa yang mereka katakan tentang Abidzar, hingga membuat putranya itu langsung marah. "Begini, Bu. Sebenarnya hal ini sudah saya ketahui sejak beberapa waktu yang lalu. Hanya saja, karena tidak ingin ibunya merasa khawatir, Abidzar meminta saya untuk merahasiakannya. Dia hanya ingin bersekolah dengan tenang, dan membahagiakan ibunya. Itu yang Abi katakan," jelas gurunya yang membuat hati Alisa bagai teriris pisau yang tajam. Di benar-benar tidak menyangka, jika sebegitu inginnya Abidzar membahagiakan dirinya, bahkan dia sampau rela menahan semua rasa sakitnya... "Bagaimana bisa anakku menahan semua rasa sakitnya, dan kalian sebagai tim pengajar hanya bisa diam saja. Anakku menjadi korban bullying dan pihak sekolah tidak mengetahuinya? jika begitu, aku ingin orang tua dari an
Alisa terus saja menangis karena dia tidak menemukan keberadaan putranya. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada putranya. Hanya Abidzar saja yang Alisa miliki. Dia bahkan tidak pernah kembali lagi setelah sekian lama berada di luar. Walau Alisa merindukan keluarganya, tapi dia tidak berani menginjakkan kakinya untuk menghampiri keluarganya lagi. Seperti saat ini, dia semakin takut saat hari mulai sore dan Abidzar belum juga kembali. "Tenanglah, Alisa. Aku yakin Abi akan pulang," ucap Tika yang berusaha meyakinkan Alisa, walau rasanya dia juga sangat bingung saat ini. Dia juga merasakan hal yang sama, walau dia bukan ibu yang melahirkan Abidzar. Tapi, tetap saja dia mengkhawatirkan keadaan putranya itu. "Bagaimana aku bisa tenang, Tika. Anakku belum pulang sejak pagi tadi. Lalu bagaimana aku harus tenang? ini pertama kalinya Abi pergi dan belum juga kembali." jawab Alisa. Sungguh, rasanya tidak bisa berkata-kata lagi untuk menggambarkan perasaan
Melihat Abidzar sudah pulang membuat Alisa langsung mencari keberadaan anaknya itu. Dia benar-benar sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan anak itu, jadi dia langsung datang menghampirinya ke kamar. "Dari akan saja kamu, Abidzar?" tanya Alisa dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Abidzar tahu jika saat ini ibunya pasti sangat marah. Tidak pernah-pernahnya dia melihat wanita itu terlihat marah seperti ini. Jadi, Abidzar harus bisa meminta maaf atas semua ini."Maafkan, Abi, Ibu. Abi-""Apa ini? apa ini Abidzar?" tanya Alisa melihat barang-barang yang dibawa pulang oleh anaknya. Dia tahu bahwa barang itu bukan barang sembarangan. Itu barang-barang mahal yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Tidak pernah sedikitpun dia bermimpi untuk membelikan anak yang mainan seperti itu karena menurutnya percuma. "Apa ini Abidzar?" tanya Alisa dengan tegas. Dia ingin tau dari mana anak yang bisa mendapatkan barang-barang mahal itu. "Ibu tak pernah mengajari kamu untuk meminta p
Sudah beberapa hari ini Damian terus saja menunggu, Abidzar. Dia merasa begitu sangat merindukan anak laki-laki itu. Namun, sayangnya hingga saat ini dia belum bisa bertemu dengannya. Dia belum bisa bertemu dengan Abidzar, bahkan dia tidak berani hanya untuk mendatangi rumah anak itu, walau dia tahu di mana tempat tinggalnya. Damian masih ingin menghargai privasi keluarga, Abidzar, karena dia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga seorang dokter dan dia tidak mungkin mengganggu privasi mereka.Sampai di mana, saat dia sudah lelah menunggu anak laki-laki itu di taman, tiba-tiba saya terdengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Om, Damian!" mendengar suara teriakan itu membuat Damian langsung berbalik arah, dan dia kaget ketika melihat siapa yang datang. Abidzar, anak laki-laki itu datang dengan senyum yang begitu lebar. Begitu juga dengan Damian, dia langsung menyambut kedatangan Abidzar dengan penuh kebahagiaan. "Abidzar?" Damian tersenyum ketika melihat anak laki-laki itu da