Alisa yang sedang merapikan dagangannya pun menangis ketika melihat putranya pulang dengan keadaan seperti itu. Entah apa yang terjadi hingga membuat wajah Abidzar lebam, kancing seragam sekolahnya terlepas dan seragamnya kotor. "Ada apa ini, Nak? kenapa seperti ini Abidzar?" Alisa panas ketika melihat keadaan putranya yang seperti itu. Sedangkan Abidzar sendiri hanya bisa tersenyum saja. Dia tahu bahwa ibunya pasti khawatir melihat keadaannya seperti itu. Tapi, dia tetap tersenyum agar ibunya tidak terlalu khawatir karena dia baik-baik saja. "Katakan Abi, kenapa kamu seperti ini? apa kamu berkelahi? ibu tidak pernah mengajari kamu berkelahi kan?" ujar Alisa yang membuat Abidzar menyesal. Dia tidak ingin melihat ibunya menangis. Ibunya tidak boleh menangis dan dia tidak boleh melakukan hal itu. "Maafkan, Abi, Ibu. Abi tidak berkelahi. Abi tidak melakukan semua itu," jawabnya dengan jujur karena dia tidak berkelahi. "Bukan Abi yang memulainya lebih dulu. Mereka yang teru
Hari ini, Alisa benar-benar pergi ke sekolah anaknya, bersama dengan Tika. Hari ini dia benar-benar berkunjung ke sekolah untuk meminta pertanggungjawaban dari anak-anak yang membullly putranya. Dia ingin tau apa yang mereka katakan tentang Abidzar, hingga membuat putranya itu langsung marah. "Begini, Bu. Sebenarnya hal ini sudah saya ketahui sejak beberapa waktu yang lalu. Hanya saja, karena tidak ingin ibunya merasa khawatir, Abidzar meminta saya untuk merahasiakannya. Dia hanya ingin bersekolah dengan tenang, dan membahagiakan ibunya. Itu yang Abi katakan," jelas gurunya yang membuat hati Alisa bagai teriris pisau yang tajam. Di benar-benar tidak menyangka, jika sebegitu inginnya Abidzar membahagiakan dirinya, bahkan dia sampau rela menahan semua rasa sakitnya... "Bagaimana bisa anakku menahan semua rasa sakitnya, dan kalian sebagai tim pengajar hanya bisa diam saja. Anakku menjadi korban bullying dan pihak sekolah tidak mengetahuinya? jika begitu, aku ingin orang tua dari an
Alisa terus saja menangis karena dia tidak menemukan keberadaan putranya. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada putranya. Hanya Abidzar saja yang Alisa miliki. Dia bahkan tidak pernah kembali lagi setelah sekian lama berada di luar. Walau Alisa merindukan keluarganya, tapi dia tidak berani menginjakkan kakinya untuk menghampiri keluarganya lagi. Seperti saat ini, dia semakin takut saat hari mulai sore dan Abidzar belum juga kembali. "Tenanglah, Alisa. Aku yakin Abi akan pulang," ucap Tika yang berusaha meyakinkan Alisa, walau rasanya dia juga sangat bingung saat ini. Dia juga merasakan hal yang sama, walau dia bukan ibu yang melahirkan Abidzar. Tapi, tetap saja dia mengkhawatirkan keadaan putranya itu. "Bagaimana aku bisa tenang, Tika. Anakku belum pulang sejak pagi tadi. Lalu bagaimana aku harus tenang? ini pertama kalinya Abi pergi dan belum juga kembali." jawab Alisa. Sungguh, rasanya tidak bisa berkata-kata lagi untuk menggambarkan perasaan
Melihat Abidzar sudah pulang membuat Alisa langsung mencari keberadaan anaknya itu. Dia benar-benar sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan anak itu, jadi dia langsung datang menghampirinya ke kamar. "Dari akan saja kamu, Abidzar?" tanya Alisa dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Abidzar tahu jika saat ini ibunya pasti sangat marah. Tidak pernah-pernahnya dia melihat wanita itu terlihat marah seperti ini. Jadi, Abidzar harus bisa meminta maaf atas semua ini."Maafkan, Abi, Ibu. Abi-""Apa ini? apa ini Abidzar?" tanya Alisa melihat barang-barang yang dibawa pulang oleh anaknya. Dia tahu bahwa barang itu bukan barang sembarangan. Itu barang-barang mahal yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Tidak pernah sedikitpun dia bermimpi untuk membelikan anak yang mainan seperti itu karena menurutnya percuma. "Apa ini Abidzar?" tanya Alisa dengan tegas. Dia ingin tau dari mana anak yang bisa mendapatkan barang-barang mahal itu. "Ibu tak pernah mengajari kamu untuk meminta p
Sudah beberapa hari ini Damian terus saja menunggu, Abidzar. Dia merasa begitu sangat merindukan anak laki-laki itu. Namun, sayangnya hingga saat ini dia belum bisa bertemu dengannya. Dia belum bisa bertemu dengan Abidzar, bahkan dia tidak berani hanya untuk mendatangi rumah anak itu, walau dia tahu di mana tempat tinggalnya. Damian masih ingin menghargai privasi keluarga, Abidzar, karena dia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga seorang dokter dan dia tidak mungkin mengganggu privasi mereka.Sampai di mana, saat dia sudah lelah menunggu anak laki-laki itu di taman, tiba-tiba saya terdengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Om, Damian!" mendengar suara teriakan itu membuat Damian langsung berbalik arah, dan dia kaget ketika melihat siapa yang datang. Abidzar, anak laki-laki itu datang dengan senyum yang begitu lebar. Begitu juga dengan Damian, dia langsung menyambut kedatangan Abidzar dengan penuh kebahagiaan. "Abidzar?" Damian tersenyum ketika melihat anak laki-laki itu da
Pyar...Alisa yang sedang membersihkan kamar putrinya tiba-tiba saja kaget ketika melihat foto dirinya bersama dengan Abidzar tiba-tiba saja jatuh dan pecah hingga berserakan di lantai. Penasaran, Alisa melihat kaca yang berserakan di lantai. Saat dia hendak membersihkan serpihan kacanya, tiba-tiba saja tangannya tergores oleh pecahan kaca tersebut. "Astaghfirullah, ada apa ini?" Alisa melihat jarinya yang berdarah. Dadanya juga merasa sesak ketika dia memikirkan tentang putranya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada anak laki-lakinya itu, karena tadi Dia pamit untuk bertemu dengan paman yang memberikannya begitu banyak mainan. Alisa memang sudah mengatakan pada Abidzar untuk mengembalikan semua barang-barang tersebut. Tapi, kenapa hingga saat ini putranya itu belum bisa kembali. Terlebih lagi saat ini perasaanmu semakin tidak karuan. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia terus saja memikirkan Abidzar.Saat dia sedang membersihkan serpihan kaca tersebut, tiba-tiba saja Tika datang
Saat darahnya di ambil, Damian terus saja merasa gelisah. Dia bingung dengan semua ini. Apalagi saat melihat Alisa yang terlihat ketakutan saat bertemu dirinya. Itu membuat hati Damian terasa hancur. Belum lagi kenyataan yang baru diketahuinya, bahwa Abidzar ternyata putranya. "Sudah selesai, Pak." ujar suster yang mengambil darah Damian tadi. Mengetahui semua ini sudah selesai membuat Damian langsung ingin bangkit dari tempat tidurnya. Melihat Damian yang ingin pergi begitu saja membuat susternya langsung panik. Apalagi darah yang mereka ambil cukup banyak. Jadi Damian harus istirahat lebih dulu. "Anda harus istirahat sebentar, Pak." ucap susternya, saat melihat Damian ingin turun dari ranjang pasiennya. "Tidak bisa, Suster. Saya harus melihat anak saya. Saya juga harus melihat ibu dari anak saya." jawab Damian karena memang dia mengkhawatirkan kedua orang tersebut. Dia tidak peduli dengan dirinya, karena saat ini yang harus dia pikirkan adalah Abidzar dan juga Alisa.
Mendengar kabar Abidzar yang kritis membuat Damian langsung berlari menuju ruangan tempat dimana putranya di rawat. Tepat saat dia sampai disana, Alisa langsung menatapnya dengan tajam. "Bagaimana keadaan Abidzar, Alisa?" tanya Damian panik. Dari raut wajahnya saja sudah sangat tentara sekali jika laki-laki itu begitu mengkhawatirkan keadaan putranya. Walau hingga saat ini dia belum mendapatkan validasi atas semua itu, kaki tetap saja dia yakin bahwa Abidzar memang benar-benar putranya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Damian membuat Alisa berusaha untuk menguatkan dirinya. Dia maju beberapa langkah hingga tepat di depan Damian, hingga tanpa di duga oleh siapapun, Alisa menampar wajah Damian. Plak! "Alisa?" Tika kaget saat melihat Alisa menampar wajah Damian. Sumpah demi apapun, mereka tidak menyangka dengan semua ini. "Tampar lagi, Alisa. Lakukan itu jika bisa membuatmu memaafkan ku. Tampar aku lagi, Alisa. Plak! Alisa kembali melakukannya. Bahkan tanpa di
Tika berusaha untuk membujuk Alisa agar mau membawa Abidzar. Tapi, wanita bernama Alisa itu tidak mau melakukannya. Egonya masih setinggi langit dan dia belum bisa menerima keadaan saat ini, bahwa Abidzar memang membutuhkan perawatan yang lebih baik dari di negara ini."Ayolah, Alisa. Kamu tidak bisa egois terus-terusan seperti ini. Bagimana pun kamu harus memikirkan keadaan putramu. Bukan aku menyayangkan pengobatan di sini, hanya bisa jadi luar negeri lebih baik fasilitasnya. Tolong jangan pikirkan apapun tentang laki-laki itu. Fokus saja pada kesehatan mentalmu dan juga putramu, karena saat ini hanya itu yang bisa menolong dirimu sendiri." jelas Tika. Dia berharap bahwa Alisa benar-benar bisa mengontrol dirinya dan tidak terus berputar dalam masa lalunya. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa di sini, hanya saja Alisa harus memikirkan keadaan putranya yang membutuhkan penanganan secepatnya. Abidzar masih memiliki kesempatan untuk kembali pulih, dan mungkin saja jalan satu-satunya memb
Damian sudah memutuskan bahwa dia akan bicara dengan Alisa perihal tentang rencana pemindahan Abidzar ke rumah sakit yang lebih besar lagi. Seperti sekarang ini, Damian memberanikan dirinya untuk bertemu dengan Alisa, walau dia tahu kemungkinan besar wanita itu akan menolaknya. Tapi dia akan tetap mencobanya lagi karena bagaimanapun Damian ingin yang terbaik untuk putranya. Alisa dan ketika langsung menatap ke arah pintu ruangannya ketika mendengar ada seseorang yang mengetuk pintunya. "Masuk," ucap Tika mempersilahkan seseorang tersebut untuk masuk. Deg!Jantung Alisa seperti berhenti berdetak ketika melihat siapa yang datang. Walau dia sudah bisa mengendalikan dirinya, tapi tetap saja dia merasakan hal yang sama. Masih ada rasa takut yang tertinggal dalam dirinya dan itu masih dirasakan hingga saat ini ketika melihat Damian. "Bisa aku bicara?" tanya Damian untuk pertama kalinya, saat dia sudah dipersilakan untuk masuk. "Pergi, aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku tidak ingin mel
Alisa pergi ke Mushola setelah melihat keadaan putranya yang belum sadarkan diri hingga saat ini. Bahkan setelah mendapatkan penanganan cepat, Abidzar belum menunjukkan kemajuan apapun. Hal itu pula yang membuat Alisa semakin sedih. Hatinya hancur berkeping-keping melihat begitu banyaknya alat-alat yang menunjang kehidupan untuk putranya. "Kapan aku bisa merasa tenang ya, Allah? kenapa harus Abidzar. Kenapa harus putraku yang merasakannya. Andai waktu bisa di putar, lebih baik aku yang merasakan semua rasa sakitnya. Jangan putraku lagi." Alisa menangis dalam sembah sujudnya. Sajadah yang menjadi teman untuknya saat ini juga mengetahui seberapa hancurnya hati wanita itu. Dia seorang ibu yang berjuang sendiri untuk putranya. Dia telah bertahan selama ini dengan segala rasa sakit yang di alaminya. Alisa pikir, setelah melewati begitu banyaknya cobaan dia tidak akan mendapatkan cobaan apapun lagi. Sayangnya dia salah. Alisa salah besar. Karena semua ini dia harus merasakan rasa sakit
Setelah mendapatkan kabar dimana keberadaan suaminya, Claudia langsung menuju lokasinya. Ternyata rumah sakit, dan bahkan dari informasi yang dia dapatkan dari orang suruhannya, Claudia mengetahui jika Damian berada di rumah sakit. Entah siapa yang di tunggunya, yang jelas Claudia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Sejak tadi, dia terus saja gelisah memikirkan siapa yang di temui suaminya di rumah sakit. Sampai tiba-tiba ingatannya tertuju pada sebuah nama yang sering di sebut Damian saat tidur. "Sh*t!" umpat Claudia saat dia mengingat nama Alisa. Supir yang berada di depan juga kaget saat Claudia menyikut kaca jendela mobil yang mereka tumpangi saat ini. "Lebih cepat lagi!" titah Claudia pada supirnya karena dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tujuan utamanya saat ini memang rumah sakit, dan dia ingin melihat sejauh mana Damian berani bertindak. "Baik, Nyonya." jawab sopirnya dan dia menambah lagi kecepatan mobil mereka agar bisa lepas sampai ke rumah sakit. Sedangkan di
Mendengar kabar Abidzar yang kritis membuat Damian langsung berlari menuju ruangan tempat dimana putranya di rawat. Tepat saat dia sampai disana, Alisa langsung menatapnya dengan tajam. "Bagaimana keadaan Abidzar, Alisa?" tanya Damian panik. Dari raut wajahnya saja sudah sangat tentara sekali jika laki-laki itu begitu mengkhawatirkan keadaan putranya. Walau hingga saat ini dia belum mendapatkan validasi atas semua itu, kaki tetap saja dia yakin bahwa Abidzar memang benar-benar putranya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Damian membuat Alisa berusaha untuk menguatkan dirinya. Dia maju beberapa langkah hingga tepat di depan Damian, hingga tanpa di duga oleh siapapun, Alisa menampar wajah Damian. Plak! "Alisa?" Tika kaget saat melihat Alisa menampar wajah Damian. Sumpah demi apapun, mereka tidak menyangka dengan semua ini. "Tampar lagi, Alisa. Lakukan itu jika bisa membuatmu memaafkan ku. Tampar aku lagi, Alisa. Plak! Alisa kembali melakukannya. Bahkan tanpa di
Saat darahnya di ambil, Damian terus saja merasa gelisah. Dia bingung dengan semua ini. Apalagi saat melihat Alisa yang terlihat ketakutan saat bertemu dirinya. Itu membuat hati Damian terasa hancur. Belum lagi kenyataan yang baru diketahuinya, bahwa Abidzar ternyata putranya. "Sudah selesai, Pak." ujar suster yang mengambil darah Damian tadi. Mengetahui semua ini sudah selesai membuat Damian langsung ingin bangkit dari tempat tidurnya. Melihat Damian yang ingin pergi begitu saja membuat susternya langsung panik. Apalagi darah yang mereka ambil cukup banyak. Jadi Damian harus istirahat lebih dulu. "Anda harus istirahat sebentar, Pak." ucap susternya, saat melihat Damian ingin turun dari ranjang pasiennya. "Tidak bisa, Suster. Saya harus melihat anak saya. Saya juga harus melihat ibu dari anak saya." jawab Damian karena memang dia mengkhawatirkan kedua orang tersebut. Dia tidak peduli dengan dirinya, karena saat ini yang harus dia pikirkan adalah Abidzar dan juga Alisa.
Pyar...Alisa yang sedang membersihkan kamar putrinya tiba-tiba saja kaget ketika melihat foto dirinya bersama dengan Abidzar tiba-tiba saja jatuh dan pecah hingga berserakan di lantai. Penasaran, Alisa melihat kaca yang berserakan di lantai. Saat dia hendak membersihkan serpihan kacanya, tiba-tiba saja tangannya tergores oleh pecahan kaca tersebut. "Astaghfirullah, ada apa ini?" Alisa melihat jarinya yang berdarah. Dadanya juga merasa sesak ketika dia memikirkan tentang putranya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada anak laki-lakinya itu, karena tadi Dia pamit untuk bertemu dengan paman yang memberikannya begitu banyak mainan. Alisa memang sudah mengatakan pada Abidzar untuk mengembalikan semua barang-barang tersebut. Tapi, kenapa hingga saat ini putranya itu belum bisa kembali. Terlebih lagi saat ini perasaanmu semakin tidak karuan. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia terus saja memikirkan Abidzar.Saat dia sedang membersihkan serpihan kaca tersebut, tiba-tiba saja Tika datang
Sudah beberapa hari ini Damian terus saja menunggu, Abidzar. Dia merasa begitu sangat merindukan anak laki-laki itu. Namun, sayangnya hingga saat ini dia belum bisa bertemu dengannya. Dia belum bisa bertemu dengan Abidzar, bahkan dia tidak berani hanya untuk mendatangi rumah anak itu, walau dia tahu di mana tempat tinggalnya. Damian masih ingin menghargai privasi keluarga, Abidzar, karena dia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga seorang dokter dan dia tidak mungkin mengganggu privasi mereka.Sampai di mana, saat dia sudah lelah menunggu anak laki-laki itu di taman, tiba-tiba saya terdengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Om, Damian!" mendengar suara teriakan itu membuat Damian langsung berbalik arah, dan dia kaget ketika melihat siapa yang datang. Abidzar, anak laki-laki itu datang dengan senyum yang begitu lebar. Begitu juga dengan Damian, dia langsung menyambut kedatangan Abidzar dengan penuh kebahagiaan. "Abidzar?" Damian tersenyum ketika melihat anak laki-laki itu da
Melihat Abidzar sudah pulang membuat Alisa langsung mencari keberadaan anaknya itu. Dia benar-benar sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan anak itu, jadi dia langsung datang menghampirinya ke kamar. "Dari akan saja kamu, Abidzar?" tanya Alisa dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Abidzar tahu jika saat ini ibunya pasti sangat marah. Tidak pernah-pernahnya dia melihat wanita itu terlihat marah seperti ini. Jadi, Abidzar harus bisa meminta maaf atas semua ini."Maafkan, Abi, Ibu. Abi-""Apa ini? apa ini Abidzar?" tanya Alisa melihat barang-barang yang dibawa pulang oleh anaknya. Dia tahu bahwa barang itu bukan barang sembarangan. Itu barang-barang mahal yang memiliki harga jual yang cukup tinggi. Tidak pernah sedikitpun dia bermimpi untuk membelikan anak yang mainan seperti itu karena menurutnya percuma. "Apa ini Abidzar?" tanya Alisa dengan tegas. Dia ingin tau dari mana anak yang bisa mendapatkan barang-barang mahal itu. "Ibu tak pernah mengajari kamu untuk meminta p