Saat Damian masuk ke dalam ruangan, Jack langsung berdiri dan menyambut kedatangannya dengan sigap.
"Semua yang Anda butuhkan ada di dalamnya, Pak" ucap Jack kepada Damian. Perkataan Jack membuat Damian mengambil map coklat itu tanpa basa-basi.Baris demi baris ia baca hingga akhirnya netra coklatnya menangkap deretan huruf kapital yang tersusun menjadi sebuah nama, "Alisa Al-Humaira".
"Alisa," ucapnya untuk memvalidasi setelah mengetahui bahwa wanita yang dicarinya bernama Alisa. Ternyata, memang tidak sia-sia dia menghabiskan banyak uang untuk menyuruh para anak buahnya untuk mencari informasi tentang wanita yang bersamanya malam itu.Dia melakukan semuanya karena dia ingin bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.
Namun, entah kenapa dia mau mengejar wanita itu sejauh ini. Padahal, selama ini dia bisa mendapatkan wanita manapun yang diinginkan tanpa harus bersusah payah.
Bahkan mereka dengan sukarela menyerahkan diri untuk naik ke atas ranjangnya.
"Apa alamatnya jauh dari sini?" tanya Damian.Dia bertanya sembari menatap alamat sebuah pondok pesantren dan flayer pendaftaran murid baru di tangannya.
Sebuah informasi tambahan telah berhasil didapatkan oleh anak buahnya. Ternyata, Alisa anak dari seorang guru besar yang tak lain adalah pemilik pondok pesantren itu.
Kini Damian benar-benar merasa bersalah karena telah merusak kehidupan wanita baik-baik seperti Alisa.
"Cukup jauh, Pak. Sebab, kita akan membutuhkan waktu beberapa jam untuk bisa sampai ke sana. Apa bapak hendak berangkat sekarang juga?" tanya Jack untuk memastikan.Sebab, dia tak ingin lagi memperparah traumanya akibat dibentak oleh Damian.
Dulu sekali dia pernah salah membelikan pria itu sarapan dan berakhir dimaki-maki dengan hebat. Lebih baik bertanya daripada hidupnya penuh perkara.Tanpa menunggu waktu lama, Damian langsung memutuskan untuk pergi ke alamat tersebut dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri, kalau wanita yang pernah dia setubuhi itu benar-benar ada di sana.
Damian lantas teringat dengan liontin yang ditemukannya tadi dan mengeluarkannya dari dalam saku.
Huruf “A” yang menjadi bandul dari liontin itu membuatnya sangat yakin kalau wanita bernama Alisa itu adalah wanita dari malam itu.Oleh karena itu, selagi ia berada dalam perjalanan ke pesantren, dia juga memerintahkan para anak buahnya untuk terus memantau masjid yang di datanginya tadi.
"Kita berangkat sekarang dan tugaskan dua orang untuk memantau masjid tadi. Laporkan segala pergerakan, khususnya pergerakan dari wanita bercadar." titah Damian. Sepanjang perjalanan menuju pesantren tempat di mana keluarga Alisa berada, tidak sedikitpun Damian memejamkan matanya.Dia terus terjaga dan membuka matanya dengan lebar, bahkan saat mereka telah sampai di sana.
Setelah turun dari mobi, Damian langsung mencari pria bernama Usman yang dia ketahui sebagai ayahnya Alisa.
Kedatangannya menjadi pusat perhatian banyak orang, karena pakaian yang ia kenakan begitu mencolok.Setelan tuxedo hitam yang dipadukan dengan kacamata dan pantofel membuat banyak orang terpesona.
Para santriwati langsung diperintahkan untuk menunduk dan menjaga pandangan, sedangkan para santri menatap setiap langkah Damian dengan heran.
Segera setelah sampai ke ruangan khusus tamu, Damian langsung dibawa untuk menemui seorang laki-laki paruh baya yang berbusana gamis putih, Abi Usman.Tatapan pria terlihat menelisik dan tajam sehingga membuat Abi Usman merasa tidak nyaman.
"Sebelumnya, bisakah Anda memperkenalkan diri? Lalu, apa kedatangan anda kemari?" tanya Abi Usman.Usman sama sekali tidak bisa menebak apa maksud dan tujuan pria berwajah datar ini ke pesantren.
Sebab, dari penampilannya saja dia tidak terlihat sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, Usman takut kalau orang yang ada di hadapannya ini bukan orang baik-baik. "Saya mencari wanita bernama Alisa Al-Humaira. Apa dia ada di sini?" tanya Damian tanpa berbasa-basi sama sekali.Sebab, bagi Damian, urusan orang lain tidak pernah lebih penting dari urusannya.
Pertanyaan Damian membuat Usman menatap datar ke arah laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Entah mengapa, Usman merasa tidak nyaman saat mendengar nama Alisa disebut. "Dia tidak ada di sini." jawab Usman dengan tegas, meski wajahnya terlihat datar. "Jangan macam-macam ya, Pak. Saya sama sekali tidak akan segan untuk menghancurkan siapa pun yang berani berhodong.” jawab Damian dengan nada mengancam.“Di mana Alisa? Saya ingin bertemu dengannya?"
"Saya sudah mengatakan yang sesungguhnya, Pak. Alisa tidak ada di sini, karena dia sudah pergi!" jawab Usman yang membuat Damian semakin kesal. Damian marah bukan karena perkataan pria itu yang sengak dan datar, tapi karena Alisa tidak ada di pondok pesantren.Padahal, dia sudah menempuh perjalanan cukup jauh hanya untuk bertemu dengan gadis itu.
"Lalu di mana dia? Apa ini milik Alisa?" tanya Damian sambil mengeluarkan liontin berbandul huruf A dari saku jas-nya. Kalung yang dipegang Damian membuat Usman tertegun.Tentu saja da tahu dengan jelas siapa pemilik kalung itu. Sebab, benda yang di tangan Damian itu memang milik Alisa yang sengaja dipesan khusus untuk merayakan hari wisuda gadis itu.
"Bagaimana bisa benda itu ada pada anda?" tanya Abi Usman yang ingin mengambil benda tersebut.Namun, sebelum tangan Usman sempat meraih kalung Alisa dari Damian, pria itu telah lebih dulu memasukan liontin itu ke dalam jasnya.
"Anda sebaiknya tidak perlu tahu. Sebab, caranya akan sama dengan cara saya menemukan Alisa." ucap Damian dengan tegas sebelum kemudian pergi meninggalkan ruangan Usman. Tepat saat Damian hendak keluar dari ruangannya, Usman langsung mencegah laki-laki itu dan bertanya siapa dirinya. "Sebenarnya Anda siapa? Dan apa hubungan anda dengan Alisa?" tanya Usman lagi. Namun, Damian tidak menjawab dan bahkan tidak menoleh.Dengan cara yang sama saat dia masuk, Damian berjalan dengan tegap melewati pandangan ratusan santri yang mengintipnya dari jauh.
Saat sedang asyik membaca, Alisa terkejut karena tiba-tiba saja ada orang yang mengetuk pintu rumah. Dirinya yang sedang tidak memakai hijab pun langsung berlari mencari di mana hijabnya tadi, lalu memakai cadarnya sebelum membuka pintu. Saat Alisa pintu dibuka, Alisa mendapati sosok perempuan paruh baya yang berdiri berdampingan dengan sosok pria yang ia kenal. "Assalamu'alaikum nak, Alis," ucap Fatimah saat Alisa membukakan pintu rumahnya. "Waalaikumsalam, Ibu." jawab Alisa sebelum mengambil tangan wanita itu untuk dicium. Apa yang Alisa lakukan saat ini membuat Fatimah semakin menyukai wanita itu. Dia semakin yakin bahwa Alisa yang terbaik untuk Zaki dan menjadi pendamping dari anaknya. "Ibu ganggu kamu tidak?" tanya Fatimah sebelum Alisa mempersilahkan mereka untuk masuk. "Nggak kok, Bu. Ayo, masuk." ajaknya pada mereka. Saat kedua orang itu duduk, Alisa langsung merasa tidak nyaman. Sebab, di rumah ini, tidak ada apa pun selain tikar yang menjadi alas untuk mereka d
Keesokan harinya, Alisa yang baru saja selesai bersiap-siap langsung dikagetkan oleh kedatangan Fatimah dan Zaki di depan pintu rumahnya. "Assalamu'alaikum cantiknya, Ibu." ujar Bu Fatimah ketika melihat Alisa yang baru saja membuka pintu rumah. Alisa hampir saja berteriak saat melihat mereka berdua sudah tiba di rumahnya tanpa aba-aba. Sebab, dia memang telah memperkirakan kedatangan Fatimah dan Zaki, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau mereka akan datang secepat ini. "Waalaikumsalam ibu" jawab Alisa dengan lembut setelah lebih dulu beristighfar di dalam hati. Wajah Fatimah yang berseri membuat perasaan Alisa menjadi damai. Dia merasa bahwa wanita ini terlihat begitu mirip dengan Uminya di pondok yang juga begitu menyayangi dirinya. Namun, Alisa tidak ingin berbesar kepala, karena ia sadar kalau semua mungkin tidak akan sama lagi apabila kehamilannya telah ketahuan. Tiba-tiba saja Alisa melihat ke arah Zaki dan kedua mata mereka saling mengunci satu sama lain. Buru-buru
Suara derap kaki yang kencang dan terburu-buru timbul dari suara pantofel yang dikenakan oleh Damian. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sedangkan lengan kanannya terkepal erat. Ia buru-buru datang dari kantor setelah mendapat kabar kalau pelayan yang menyuguhkan minum padanya malam itu telah ditemukan setelah sebelumnya berhasil kabur hingga ke negara tetangga. Sesampainya di basement, Damian membiarkan para anak buahnya yang berjaga untuk membukakan pintu dan menyalakan lampu bagi lorong yang sebelumnya gelap. Setelah pintu kayu itu terbuka, Damian kembali beranjak dengan langkah yang semakin cepat karena ia sudah tak sabar untuk bertemu dengan orang yang telah membuatnya terpengaruh obat sialan itu. Saat Damian masuk, ternyata orang yang melakukan hal itu adalah seorang perempuan. Wanita itu terduduk di kursi dengan tangan yang terikat dan diletakkan di atas pangkuan. Kedatangan Damian membuat tubuh perempuan itu langsung bergetar dengan mata yang terbelalak. Sebab,
"Kerjain tuh pesanan!" titah Zahra yang sengaja melakukan hal itu pada Alisa yang sedang membersihkan etalase toko. Perkataan Zahra membuat Alisa kaget, karena tiba-tiba saja gadis itu datang dan memberinya perintah. Padahal tadi Fatimah sudah mengatakan bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan Zahra. Namun, kenapa tiba-tiba gadis itu menyerahkan pekerjaan itu padanya? "Bukannya tadi kata Bu Fatimah kamu yang ngerjain, ya?" tanya Alisa yang membuat Zahra merasa kesal karena wanita itu berani menjawabnya. "Heh! Ingat, ya Alisa. Kamu tuh anak baru di sini dan Bu Fatimah selalu mempercayakan toko ini kepadaku. Jadi, kamu yang harus mengerjakan itu semua!" ujar Zahra sembari menatap Alisa dengan tajam. Perkataan Zahra membuat Alisa benar-benar tidak menyangka kalau ini merupakan sifat asli gadis itu. Sebab, seharian kemarin dia terlihat sangat baik dan memperlakukannya dengan baik pula. Namun, hari ini sikapnya sangat berubah drastis dan perlakuan gadis itu pun sangat buruk padanya.
Ayah Damian sedang menikmati hari bersama dengan lembaran koran di tangan. Itu membuat pria berusia 58 tahun itu menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman yang tidak dilihat oleh putranya. Damian yang berdiri tepat di hadapan ayahnya saat sudah terlihat muak dengan laki-laki itu. Sebab, sudah lebih dari tiga puluh menit dia berdiri di sana, tapi ayahnya masih tidak berkata sepatah kata pun juga. "Akhirnya kamu pulang juga. Bagaimana dengan perjalananmu?" tanya ayahnya setelah 45 menit Damian menunggu. Ia tampaknya sengaja mengalihkan pembicaraan di antara mereka saat ini dengan berbasa-basi. "Langsung ke intinya saja. Aku tahu apa yang papa rencanakan. Jadi, Papa harus ingat satu hal: aku tidak akan menerima pertunangan ini. Kalau Papa masih bersikeras, maka aku yang akan membuat Claudia menolak pertunangan ini!" katanya yang membuat ayahnya kembali tersenyum. Dia tau bahwa Damian akan menolak pertunangan ini. Jadi, dia menyiapkan Claudia yang sangat tepat untuk Dami
Hari ini Damian memutuskan untuk pergi ke kantor karena enggan menghadapi ayahnya di rumah. Terlebih, dia juga masih terus memerintahkan anak buahnya untuk mencari keberadaan Alisa. Jadi, seharusnya kantor bisa menjadi tempat teraman untuk melakukan apa pun di luar pengawasan ayahnya. Namun, baru saja dia melewati ruang makan, tiba-tiba saja terdengar suara seorang laki-laki yang tidak ingin di dengannya untuk saat ini. "Mau kemana kamu, Damian?" tanya Ayah Damian ketika melihat tubuh putranya yang sudah berbalut jas abu-abu. Tanpa dipungkiri, Damian memang memiliki begitu banyak pesona yang dapat membuat banyak orang jatuh hati. Bahkan pria itu terkenal sebagai most-wanted man yang berhasil membuat banyak wanita rela naik ke atas ranjangnya dengan suka rela. Namun, kini Damian tidak lagi tertarik dengan semua itu. Terlebih, semenjak dia bertemu dan berhubungan dengan Alisa, pikirannya terus tertuju pada si gadis bercadar. "Damian!" sentak pria paruh baya itu kala saat s
Alisa baru saja turun dari angkutan umum dan hendak melangkah menuju ke toko roti milik Fatimah kala sebuah mobil berwarna putih melintas begitu saja di hadapannya. TINN!! “Astagfirullah, Ya Allah.” gumam Alisa. Suara klakson yang kencang itu membuat Alisa tersentak kaget hingga tubuhnya sedikit terlonjak. Gadis itu pun sontak mundur satu langkah ketika ketika mobil itu tiba-tiba berbelok dengan tajam dan hampir menyerempet tubuhnya yang memang sedang berdiri di tikungan. Alisa lantas menatap ke arah sang pemilik mobil yang kini telah keluar sembari memandangnya dengan sinis. “Assalamualaikum, Zahra.” sapa Alisa. Namun, alih-alih menjawab, gadis itu memilih untuk bergeming sembari tersenyum meremehkan, sebelum kemudian dengan angkuh berjalan ke arah toko. Dia bahkan tidak membalas salam Alisa sama sekali. Alisa hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan berat dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Walau jantungnya masih berdebat kencang. Saat dia hendak masuk ke dalam toko
Alisa baru saja pulang dari toko roti milik ibunya Zaki dan setelah beberes, Alisa langsung pamit pulang pada Zahra karena dia merasa bahwa pekerjanya sudah selesai. "Zahra, sampaikan sama ibu kalau aku pulang ya." kata Alisa pada Zahra yang tidak menanggapinya sama sekali.Dia terlihat sibuk dengan dirinya sendiri tanpa mempedulikan apa yang Alisa katakan. Melihat Zahra yang tidak meresponnya membuat Alisa pun memilih pergi. Yang penting dia sudah berpamitan pada Zahra untuk menyampaikan salamnya pada ibu Fatimah. "Aku pamit, Zahra. Assalamu'alaikum." pamitnya pergi walau wanita itu masih tidak menganggapnya sama sekali. Alisa berjalan keluar dari toko dan dia ingin menikmati malam Minggu ini.Berjalan-jalan di pinggir kota sambil menikmati udara malam yang cukup sejuk. Entah mengapa tiba-tiba saja dia melihat ada penjual jagung bakar di sana. Rasanya dia menginginkan jagung bakar tersebut. Alisa memilih mampir untuk menikmati jagung tersebut. Di sana dia terlihat cukup men
Walau Alisa tidak membiarkannya membawa Abidzar, Damian masih tetap pada keputusannya untuk membawa Abidzar luar negeri demi kebaikan putranya. Dia sudah tidak peduli jika Alisa marah, yang terpenting baginya adalah kesehatan putranya. Ya, Alisa yang mendengar bahwa putranya akan dibawa pergi ke luar negeri membuatnya langsung menghampiri pria itu. Dia benar-benar tidak percaya bahwa Damian bisa berbuat sesuka hatinya. "Apa-apaan ini hah? kenapa kamu berbuat sesuka hati kamu?" sentak Alisa ketika berhadapan dengan Damian. Alisa langsung meluapkan emosi dan ketika berhadapan dengan pria itu. Bahkan rasanya dia ingin mencakar wajah Damian saat itu juga. "Apa lagi, Alisa? aku melakukan semuanya demi kebaikan Abidzar. Terserah jika kamu tidak ingin menganggap bahwa aku adalah ayah dari putra mu. Kenyatannya, aku adalah ayahnya dan aku berhak atas diri putraku. Aku memiliki hak yang sama dengan dirimu!" jawab Damian yang membuat Alisa langsung meradang. "Atas dasar apa kamu bisa meng
Tika berusaha untuk membujuk Alisa agar mau membawa Abidzar. Tapi, wanita bernama Alisa itu tidak mau melakukannya. Egonya masih setinggi langit dan dia belum bisa menerima keadaan saat ini, bahwa Abidzar memang membutuhkan perawatan yang lebih baik dari di negara ini."Ayolah, Alisa. Kamu tidak bisa egois terus-terusan seperti ini. Bagimana pun kamu harus memikirkan keadaan putramu. Bukan aku menyayangkan pengobatan di sini, hanya bisa jadi luar negeri lebih baik fasilitasnya. Tolong jangan pikirkan apapun tentang laki-laki itu. Fokus saja pada kesehatan mentalmu dan juga putramu, karena saat ini hanya itu yang bisa menolong dirimu sendiri." jelas Tika. Dia berharap bahwa Alisa benar-benar bisa mengontrol dirinya dan tidak terus berputar dalam masa lalunya. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa di sini, hanya saja Alisa harus memikirkan keadaan putranya yang membutuhkan penanganan secepatnya. Abidzar masih memiliki kesempatan untuk kembali pulih, dan mungkin saja jalan satu-satunya memb
Damian sudah memutuskan bahwa dia akan bicara dengan Alisa perihal tentang rencana pemindahan Abidzar ke rumah sakit yang lebih besar lagi. Seperti sekarang ini, Damian memberanikan dirinya untuk bertemu dengan Alisa, walau dia tahu kemungkinan besar wanita itu akan menolaknya. Tapi dia akan tetap mencobanya lagi karena bagaimanapun Damian ingin yang terbaik untuk putranya. Alisa dan ketika langsung menatap ke arah pintu ruangannya ketika mendengar ada seseorang yang mengetuk pintunya. "Masuk," ucap Tika mempersilahkan seseorang tersebut untuk masuk. Deg!Jantung Alisa seperti berhenti berdetak ketika melihat siapa yang datang. Walau dia sudah bisa mengendalikan dirinya, tapi tetap saja dia merasakan hal yang sama. Masih ada rasa takut yang tertinggal dalam dirinya dan itu masih dirasakan hingga saat ini ketika melihat Damian. "Bisa aku bicara?" tanya Damian untuk pertama kalinya, saat dia sudah dipersilakan untuk masuk. "Pergi, aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku tidak ingin mel
Alisa pergi ke Mushola setelah melihat keadaan putranya yang belum sadarkan diri hingga saat ini. Bahkan setelah mendapatkan penanganan cepat, Abidzar belum menunjukkan kemajuan apapun. Hal itu pula yang membuat Alisa semakin sedih. Hatinya hancur berkeping-keping melihat begitu banyaknya alat-alat yang menunjang kehidupan untuk putranya. "Kapan aku bisa merasa tenang ya, Allah? kenapa harus Abidzar. Kenapa harus putraku yang merasakannya. Andai waktu bisa di putar, lebih baik aku yang merasakan semua rasa sakitnya. Jangan putraku lagi." Alisa menangis dalam sembah sujudnya. Sajadah yang menjadi teman untuknya saat ini juga mengetahui seberapa hancurnya hati wanita itu. Dia seorang ibu yang berjuang sendiri untuk putranya. Dia telah bertahan selama ini dengan segala rasa sakit yang di alaminya. Alisa pikir, setelah melewati begitu banyaknya cobaan dia tidak akan mendapatkan cobaan apapun lagi. Sayangnya dia salah. Alisa salah besar. Karena semua ini dia harus merasakan rasa sakit
Setelah mendapatkan kabar dimana keberadaan suaminya, Claudia langsung menuju lokasinya. Ternyata rumah sakit, dan bahkan dari informasi yang dia dapatkan dari orang suruhannya, Claudia mengetahui jika Damian berada di rumah sakit. Entah siapa yang di tunggunya, yang jelas Claudia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Sejak tadi, dia terus saja gelisah memikirkan siapa yang di temui suaminya di rumah sakit. Sampai tiba-tiba ingatannya tertuju pada sebuah nama yang sering di sebut Damian saat tidur. "Sh*t!" umpat Claudia saat dia mengingat nama Alisa. Supir yang berada di depan juga kaget saat Claudia menyikut kaca jendela mobil yang mereka tumpangi saat ini. "Lebih cepat lagi!" titah Claudia pada supirnya karena dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Tujuan utamanya saat ini memang rumah sakit, dan dia ingin melihat sejauh mana Damian berani bertindak. "Baik, Nyonya." jawab sopirnya dan dia menambah lagi kecepatan mobil mereka agar bisa lepas sampai ke rumah sakit. Sedangkan di
Mendengar kabar Abidzar yang kritis membuat Damian langsung berlari menuju ruangan tempat dimana putranya di rawat. Tepat saat dia sampai disana, Alisa langsung menatapnya dengan tajam. "Bagaimana keadaan Abidzar, Alisa?" tanya Damian panik. Dari raut wajahnya saja sudah sangat tentara sekali jika laki-laki itu begitu mengkhawatirkan keadaan putranya. Walau hingga saat ini dia belum mendapatkan validasi atas semua itu, kaki tetap saja dia yakin bahwa Abidzar memang benar-benar putranya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Damian membuat Alisa berusaha untuk menguatkan dirinya. Dia maju beberapa langkah hingga tepat di depan Damian, hingga tanpa di duga oleh siapapun, Alisa menampar wajah Damian. Plak! "Alisa?" Tika kaget saat melihat Alisa menampar wajah Damian. Sumpah demi apapun, mereka tidak menyangka dengan semua ini. "Tampar lagi, Alisa. Lakukan itu jika bisa membuatmu memaafkan ku. Tampar aku lagi, Alisa. Plak! Alisa kembali melakukannya. Bahkan tanpa di
Saat darahnya di ambil, Damian terus saja merasa gelisah. Dia bingung dengan semua ini. Apalagi saat melihat Alisa yang terlihat ketakutan saat bertemu dirinya. Itu membuat hati Damian terasa hancur. Belum lagi kenyataan yang baru diketahuinya, bahwa Abidzar ternyata putranya. "Sudah selesai, Pak." ujar suster yang mengambil darah Damian tadi. Mengetahui semua ini sudah selesai membuat Damian langsung ingin bangkit dari tempat tidurnya. Melihat Damian yang ingin pergi begitu saja membuat susternya langsung panik. Apalagi darah yang mereka ambil cukup banyak. Jadi Damian harus istirahat lebih dulu. "Anda harus istirahat sebentar, Pak." ucap susternya, saat melihat Damian ingin turun dari ranjang pasiennya. "Tidak bisa, Suster. Saya harus melihat anak saya. Saya juga harus melihat ibu dari anak saya." jawab Damian karena memang dia mengkhawatirkan kedua orang tersebut. Dia tidak peduli dengan dirinya, karena saat ini yang harus dia pikirkan adalah Abidzar dan juga Alisa.
Pyar...Alisa yang sedang membersihkan kamar putrinya tiba-tiba saja kaget ketika melihat foto dirinya bersama dengan Abidzar tiba-tiba saja jatuh dan pecah hingga berserakan di lantai. Penasaran, Alisa melihat kaca yang berserakan di lantai. Saat dia hendak membersihkan serpihan kacanya, tiba-tiba saja tangannya tergores oleh pecahan kaca tersebut. "Astaghfirullah, ada apa ini?" Alisa melihat jarinya yang berdarah. Dadanya juga merasa sesak ketika dia memikirkan tentang putranya. Dia takut jika terjadi sesuatu pada anak laki-lakinya itu, karena tadi Dia pamit untuk bertemu dengan paman yang memberikannya begitu banyak mainan. Alisa memang sudah mengatakan pada Abidzar untuk mengembalikan semua barang-barang tersebut. Tapi, kenapa hingga saat ini putranya itu belum bisa kembali. Terlebih lagi saat ini perasaanmu semakin tidak karuan. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia terus saja memikirkan Abidzar.Saat dia sedang membersihkan serpihan kaca tersebut, tiba-tiba saja Tika datang
Sudah beberapa hari ini Damian terus saja menunggu, Abidzar. Dia merasa begitu sangat merindukan anak laki-laki itu. Namun, sayangnya hingga saat ini dia belum bisa bertemu dengannya. Dia belum bisa bertemu dengan Abidzar, bahkan dia tidak berani hanya untuk mendatangi rumah anak itu, walau dia tahu di mana tempat tinggalnya. Damian masih ingin menghargai privasi keluarga, Abidzar, karena dia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga seorang dokter dan dia tidak mungkin mengganggu privasi mereka.Sampai di mana, saat dia sudah lelah menunggu anak laki-laki itu di taman, tiba-tiba saya terdengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Om, Damian!" mendengar suara teriakan itu membuat Damian langsung berbalik arah, dan dia kaget ketika melihat siapa yang datang. Abidzar, anak laki-laki itu datang dengan senyum yang begitu lebar. Begitu juga dengan Damian, dia langsung menyambut kedatangan Abidzar dengan penuh kebahagiaan. "Abidzar?" Damian tersenyum ketika melihat anak laki-laki itu da