Di tengah ketenangan desa yang mulai berkembang pesat, Raka menyadari bahwa setiap keberhasilan selalu membawa tantangan baru.Tidak hanya Mandor Kuat dan Aryo yang masih menyimpan dendam, tetapi juga para pedagang dan saudagar dari kecamatan lain yang mulai merasa tersaingi dengan kemajuan usahanya. Berbagai upaya licik mulai bermunculan—dari harga pasar yang sengaja dimainkan, hingga kabar-kabar bohong yang disebarkan untuk merusak nama baiknya.Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap keluarganya. Aina, yang tengah hamil besar, sering menerima tatapan tak bersahabat dari orang-orang asing yang tak dikenalnya. Beberapa kali, orang suruhan yang mencurigakan terlihat mondar-mandir di sekitar rumah mereka.Raka memutar otak. Ia tak ingin mengambil risiko.“Untuk sementara, kita akan pindah ke Pavilion Puri,” ucapnya tegas kepada Aina.Aina terdiam sejenak, tetapi ia memahami keputusan suaminya. Pavilion Puri yang berada di Kampung Puri jauh lebih aman, dikelilingi oleh
Raka duduk di balai desa, Bersama dengan Paman Zeno menatap lembaran kayu ukir yang berisi sketsa rencana baru untuk usaha dagang dan pengelolaan hasil bumi. Ia tahu, dunia yang kini ia pijak penuh dengan persaingan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga kecerdikan dan strategi. Strategi dari Dunia Modern Dalam pemikirannya, Raka mengingat berbagai strategi bisnis dari kehidupan lamanya di dunia modern. Ia mulai menerapkan sistem distribusi yang lebih efisien, memastikan barang dagangan dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur dapat masuk ke pasar kecamatan tanpa hambatan. Ia juga memperkenalkan metode penyimpanan hasil panen yang lebih baik, memastikan tidak ada bahan pangan yang terbuang sia-sia. Gudang-gudang yang dulunya hanya menggunakan bata merah, kini diperkuat dengan campuran semen alami dan batu sungai, menciptakan penyimpanan yang lebih tahan lama. Para pedagang yang dulunya ragu kini mulai percaya, mereka melihat bagaimana pasar-pasar yang bekerja sama den
Raka Wironegoro berdiri tegap di atas menara benteng Desa Kali Bening. Ia menatap ke kejauhan, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Malam ini, ia tak sekadar menikmati sepoi angin malam, tetapi mengawasi hasil karyanya yang baru saja rampung: panah semi-otomatis.Senjata ini adalah buah pikirannya yang telah lama ia rancang. Berbeda dengan panah biasa, alat ini mampu menembakkan tiga busur sekaligus dengan mekanisme tuas sederhana. Di setiap menara benteng, telah ia tempatkan beberapa panah besar yang mampu menjangkau musuh dari kejauhan.Ketika prajuritnya pertama kali mencoba senjata itu, suara deru anak panah yang melesat membelah angin terdengar begitu menggetarkan. Busur-busur itu meluncur dengan kecepatan mengagumkan, menusuk papan sasaran hingga tembus. Para pasukan desa bersorak, kekaguman meliputi wajah mereka. Tak hanya mereka, para pejabat desa kali bening pun tertegun termasuk sang paman kades Zeno melihat kehebatan senjata baru itu.Tak berhenti sampai d
Malam itu, suasana di rumah makan Sekar Kedaton terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena angin malam yang berhembus dari celah-celah jendela kayu, melainkan karena kemurkaan yang terpancar dari wajah dua bersaudara, Riko dan Roni . Mereka berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, menatap seorang lelaki tua yang menghadap ke depan mereka.Lelaki itu adalah Seto , kepala dapur yang telah bekerja di Sekar Kedaton sejak rumah makan itu pertama kali berdiri. Tangannya gemetar, bukan karena usia, melainkan karena kesadaran bahwa dirinya telah tertangkap basah melakukan kesalahan besar.“Kau berani berkhianat, Seto?” suara Riko menggema, penuh amarah yang tertahan.Seto masih tak bersuara. Tubuhnya membungkuk semakin ke dalam, seolah ingin menghilang dari dalamnya."Kami mempercayakan seluruh dapurmu!" Roni ikut berseru, tangannya mengepal di tubuhnya. "Dan kau membalasnya dengan mencuri resep lalu menjualnya pada pesaing kita?!"Raka Wironegoro yang sejak tadi duduk di kursi ka
Cumi Panggang dan Cumi Sayur PedasUntuk menu kelas atas, Raka menghadirkan cumi panggang bumbu madu dan cumi sayur pedas .Cumi Panggang Bumbu Madu : Cumi-cumi segar direndam dalam campuran madu, bawang putih, dan sedikit air jeruk nipis, lalu dipanggang hingga kecokelatan. Teksturnya kenyal, dengan rasa manis yang berpadu dengan aroma asap dari panggangan.Cumi Sayur Pedas : Cumi yang dimasak bersama sayuran seperti terong, labu siam, dan cabai merah, menghasilkan hidangan berkuah pedas yang menggugah selera.“Cumi sayur pedas ini pasti disukai para bangsawan,” ujar Roni sambil mengusap keringat di dahi akibat kepedasan yang menggigit.Ayam Kremasi: Gurih dan GaringRaka juga memperkenalkan Ayam Kremasi , sebuah teknik memasak ayam yang belum pernah ada di wilayah itu.Ayam direbus dengan bumbu rempah hingga empuk, kemudian digoreng dengan api kecil hingga bagian luar menjadi renyah dan kering sementara bagian dalamnya tetap lembut dan juicy.Disajikan dengan sambal terasi dan lalap
Di pagi hari yang cerah, Raka Wironegoro duduk bersama istri ketiga—Aina, Aini, dan Andini—di serambi belakang rumah. Secangkir wedang jahe mengepul di hadapannya, sementara istrinya sibuk mengiris rempah dan mencatat sesuatu di daun lontar.“Kanda,” ujar Aini sambil meletakkan ulekan yang masih berbau harum kunyit dan ketumbar. “Beta berpikir, kenapa kita tidak membuat racikan bumbu yang siap digunakan? Dengan begitu, siapa pun bisa memasak seperti di Sekar Kedaton.”Andini yang sedari tadi menggiling merica hitam menimpali, "Benar adanya! Banyak istri saudagar yang datang kemari mengeluh tak pandai meracik bumbu. Jika kita menjual rempah siap saji, mereka tak perlu bersusah payah menakar dan menghaluskan sendiri."Raka tersenyum, matanya berbinar. "Kalian sungguh cerdik. Dengan ini, tak hanya rumah makan kita yang semakin dikenal, tapi kita juga bisa memperluas usaha ke pasar-pasar yang lebih besar."Aina yang sejak tadi diam kini angkat bicara. "Namun, Kanda, bagaimana caranya bumb
Angin bertiup pelan membawa aroma khas rempah yang sedang disangrai di dapur Sekar Kedaton. Namun, di balik ketenangan malam, hati Raka Wironegoro bergejolak. Ia baru saja mendapat kabar dari Riko bahwa ada sesuatu yang mencurigakan di balik pencurian resep rumah makannya.Di serambi belakang, Raka duduk dengan wajah serius. Riko dan Roni berdiri di hadapannya, keduanya tampak murka.“Paman Raka, kini terang sudah siapa dalang di balik kejahatan itu,” ujar Riko dengan nada geram."Siapa?" Raka mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Riko."Keluarga Anom dan Mawar!" Roni menjawab dengan tegas. "Mereka menyuruh Seto, kepala dapur yang dahulu kita percaya, untuk menyalin semua resep Sekar Kedaton!"Raka menggenggam tangan. Seto adalah orang yang telah bekerja lama bersamanya, seseorang yang ia anggap sebagai saudara dalam usaha ini. Namun ternyata, kepercayaannya telah disalahgunakan.“Anom dan Mawar memang sudah lama iri dengan kejayaan rumah makan kita,” kata Roni. "Sekarang, mereka
Dalam beberapa pekan terakhir, Rumah Makan Sekar Kedaton mulai mendapat kabar miring. Para pelanggan setia mulai mendengar desas-desus bahwa makanan di sana tidak lagi dilihat sebelumnya, bahan-bahannya sudah tidak segar, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa dapurnya tidak bersih.Rumor itu tidak muncul begitu saja. Keluarga Anom dan Mawar berada di baliknya. Mereka tidak puas hanya dengan mencuri resep, kini mereka ingin menghancurkan reputasi Raka dengan cara yang lebih licik.Seorang pedagang sayur yang biasa menabung ke dapur Sekar Kedaton datang dengan wajah gusar. "Tuan Raka, saya mendengar orang-orang di pasar membicarakan rumah makan ini. Mereka bilang, ada orang-orang yang diupah untuk menyebarkan fitnah."Raka menatap tajam. "Siapa yang melakukannya?"Pedagang itu menghela napas. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku melihat orang-orang yang biasa berduka dengan keluarga Anom ikut menyebarkan kabar itu.”Bantuan Kepada PejabatTidak hanya itu, keluarga Anom juga mulai menyuap bebe
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu
Hari itu, langit di atas Desa Dalam Raja memancarkan cahaya keemasan. Panji-panji Kerajaan Surya Manggala berkibar di setiap sudut, bunyi gamelan dan tabuhan kendang bersahut-sahutan mengisi udara. Di tengah alun-alun desa, sebuah panggung kayu didirikan, dikelilingi bunga kenanga, kemenyan, dan dupa yang mengepul halus ke langit.Hari itu, bukan hari biasa. Hari itu adalah Upacara untuk Raka.Penduduk dari berbagai dusun datang membawa sesajen dan buah-buahan, menaruhnya di meja panjang, berjejer dengan nasi tumpeng setinggi lutut orang dewasa.Seorang tetua desa—berjubah putih dengan tongkat ukiran ular kembar—berdiri dan mengangkat suaranya, "Mulai hari ini, Raka... bukan lagi hanya seorang pelajar. Tapi ia telah sejajar dengan para bangsawan muda Surya Manggala, meski usianya belum lagi lewat seperempat abad!"Orang-orang bersorak. Anak-anak berlarian, mengangkat miniatur pedang kayu dan meneriakkan nama Raka sambil tertawa.Raka sendiri duduk bersila di atas panggung, mengenakan
Hening menyelimuti langit Akademi Utama Kerajaan. Riuh para penonton yang tadi menggema di tanah latihan, kini terganti dengan desau angin dan napas para siswa yang masih tersisa. Tubuh-tubuh kelelahan bergelimpangan di pinggir arena. Namun satu sosok masih berdiri tegap di tengah lingkaran batu raksasa itu: Raka.Tubuhnya penuh memar. Biru keunguan menghiasi lengan, pundak, bahkan bagian samping wajahnya. Namun langkahnya tetap kokoh, napasnya masih teratur, dan sorot matanya masih setajam awal pertandingan.Seorang guru mendekatinya dengan ragu, lalu berbisik, "Raka... kau yakin tak perlu pengobatan dari tabib istana?"Raka hanya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa mengubah nada suaranya,"Syukurlah tubuh ini cepat menyembuh. Sedikit nyeri seperti ini... takkan membuatku tumbang."Di atas podium kehormatan, Maha Patih Maheswara, panglima tertinggi yang mengawasi ujian itu, mematung dalam diam. Raut wajahnya kaku, mata menatap kosong ke arah Raka. Di balik jubah emasnya yang berat,
Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke
Hari itu, halaman utama Akademi Surya Manggala ramai luar biasa. Langit bersih, tapi ketegangan seperti menggantung di udara. Para murid berdesakan, tak ingin melewatkan ujian bela diri tingkat tinggi—yang akan mempertemukan Raka dengan Master Resi Kumara dalam pertandingan resmi di depan seluruh guru besar.Resi Kumara berdiri gagah, tongkatnya menyentuh tanah, dan suaranya bergema.“Raka dari kelas S. Ujian ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kehormatan seluruh angkatan. Jangan kira aku akan menahan diri.”Raka mengangguk hormat. “Aku tidak ingin menang dengan belas kasihan.”Lonceng ujian berdentang. Dalam sekejap, Resi Kumara menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tapi Raka sudah bersiap. Ia tak hanya menangkis—ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum lawan, dan selalu menghindar Ketika resi kumara menyerang dengan keahlian resi yang di atas rata-rata penduduk Kerajaan surya manggala, namun tidak bagi raka.Raka terus mengelak hingga membuat resi jengkel dan mengeluarkan jurus
Langit Surya Manggala mulai menguning. Angin sore membawa bau tanah dan daun kering dari taman belakang Akademi Kerajaan. Suasana yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi arena sorak-sorai. Di tengah halaman utama, Raka berdiri dengan napas tenang, dikelilingi oleh murid-murid dari kelas A yang penuh amarah.Teknik Rahasia“Raka! Kau terlalu sombong! Kelas S seharusnya tahu diri!” bentak Darwa, pemimpin kelas A, sembari mengayunkan serangan cepat ke arah dada Raka.Raka menghindar tipis, langkahnya ringan seperti angin musim semi. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangkat tangan kanan, menekuk jari-jari dengan formasi aneh yang belum pernah dilihat siapa pun.“Ap—apa itu?” bisik salah satu murid di kerumunan.Dalam sekejap, Darwa terpental ke belakang. Suara desis halus terdengar, seperti angin memecah udara. Raka memutar badannya, tiga lawan lainnya terjatuh sebelum mereka sempat menyentuh jubahnya.Teknik itu... bukan berasal dari Surya Manggala.“Teknik apa itu, Raka?” tanya Ni
Kabut pagi masih tipis menyelimuti halaman utama Akademi Surya Manggala. Hari itu, suasana terasa berbeda. Hari ujian kerajaan — momen penting di mana beberapa siswa terbaik dari berbagai kelas diundang untuk mengikuti seleksi lanjutan yang bisa menentukan masa depan mereka. Termasuk satu sesi rahasia: pertukaran sandera antar wilayah kekuasaan untuk misi diplomatik.Namun semua tak berjalan seperti rencana.Di lorong timur akademi, suara langkah kaki panik terdengar.“Cepat! Panggil tabib! Dia pingsan!” seru seorang penjaga.Seorang pelajar dari kelas B — bernama Dawa — tergeletak, darah merembes dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ujian pun dihentikan seketika.Di sisi lain halaman, suara benturan terdengar keras. Di bawah tangga batu utama, Raka tergeletak sambil meringis menahan sakit. Tangannya menggantung tidak wajar.“Rakaaa!” Temon berteriak, berlari dari arah perpustakaan. “Apa yang terjadi? Siapa yang dorong kau?”Raka menahan rasa nyeri sambil mencoba bangk