Share

Bab 53

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-03 10:39:39

Di sebuah sore yang sejuk, seorang pria paruh baya dengan jubah sederhana duduk di salah satu sudut Rumah Makan Sekar Kedaton, pasar Kemusuk. Ia adalah Tuan Andar , seorang ahli sastra dari Negeri Angin, yang kebetulan singgah untuk beristirahat setelah perjalanan panjang.

Di hadapannya, sebuah gulungan naskah didinding bata merah dengan kayu berukir. Matanya menelusuri kata setiap dengan penuh perhatian. Sesekali ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. Tulisan dalam naskah itu begitu dalam, namun tetap ringan untuk dipahami.

Tuan Andar (berbisik pada dirinya sendiri): "Siapa yang menulis ini? Bahasanya sederhana, tetapi maknanya begitu luas. Ini bukan sekadar untaian kata, melainkan cerminan dari jiwa yang bijak."

Ia meneguk teh hangatnya perlahan, masih tenggelam dalam tulisan tersebut. Hingga akhirnya, seorang saudagar kaya yang duduk tak jauh darinya ikut memperhatikan.

Saudagar 1: "Tuan tampak begitu terpikat oleh naskah itu. Bolehkah kami tahu, apa isinya?"

Tuan Andar mengangka
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 54

    Di pagi hari yang cerah, angin sepoi-sepoi bertiup lembut menyapu Desa Kali Bening. Di balai desa , para pejabat desa dan para pemuda berkumpul dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka duduk melingkar, menunggu dengan sabar di bawah atap bangunan megah dengan pilar-pilar tinggi yang berdiri kokoh di tengah desa.Di hadapan mereka, Raka berdiri dengan tenang, memegang gulungan naskah di tangannya. Hari ini, ia akan memperkenalkan sesuatu yang belum pernah didengar oleh orang-orang di Negeri Surya Manggala— syair .Ia membukanya, menatap sekilas, lalu menatap orang-orang di hadapannya. Suaranya tenang namun penuh keyakinan saat ia mulai membacakan karyanya:Langit tinggi tak bertepi, Laut luas bagai tak berbatas, Hidup ini perjuangan hakiki, Tanpa ilmu kita akan terbatas.Jangan gentar melangkah maju, Meski rintangan menghadang di jalan, Ilmu bak cahaya mencapai kalbu, Membuka dunia, menyingkap awan.Suasana hening. Setiap kata yang diucapkan Raka menggema di dalam hati pa

    Last Updated : 2025-04-03
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 55

    Desa Kali Bening diselimuti suasana yang penuh suka cita. Di rumah Raka , yang berdiri megah di atas aliran Kali Bening, persiapan syukuran telah selesai dilakukan. Para tetua desa, pejabat kecamatan, serta penduduk Desa Kali Bening dan Desa Anggur telah berkumpul di balai depan rumahnya.Aina, istri pertama Raka , kini tengah mengandung anak pertama mereka, dan usia kandungannya telah memasuki bulan kesembilan. Sebagai bentuk rasa syukur, Raka mengadakan upacara syukuran, mengundang para tetua dan sahabatnya untuk bersama-sama mengumpulkan doa demi keselamatan Aina dan bayi yang dikandungnya .Di halaman rumah, para wanita desa sibuk menyiapkan hidangan, sementara para pria duduk berkelompok, berbincang tentang pesatnya kemajuan desa. Rumah Raka, yang berdiri di atas dataran tinggi, menawarkan pemandangan yang begitu indah—hamparan sawah yang hijau, pemukiman yang tersusun rapi, serta aliran sungai yang jernih membelah desa.Kades Zeno, Raka, berdiri di sisi kanan balai, memandangi k

    Last Updated : 2025-04-03
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 56

    Malam telah larut, namun di kediaman Raka Wironegoro, cahaya lampu minyak masih menerangi ruangan. Ia tengah memeriksa beberapa catatan pembangunan desa ketika seorang pengawal datang dengan napas memburu.Pengawal: "Tuan Raka, ada seseorang yang datang mencarimu. Ia menunggu di balai desa dengan sikap menantang."Raka mengangkat alisnya.Raka: "Siapa dia?"Pengawal: "Mandor Kuat, tuan."Mata Raka sedikit menyipit. Nama itu bukan nama asing baginya. Mandor Kuat adalah seorang pemimpin buruh kasar dari daerah lain yang dulu pernah bermusuhan dengannya. Dendamnya kepada Raka masih berakar kuat, karena Raka pernah menggagalkan usaha kotor yang ia jalankan—memeras rakyat kecil dengan upah yang tidak layak.Tanpa banyak bicara, Raka bangkit dari duduknya. Dengan tenang, ia mengenakan surban dan menyampirkan keris pusaka di pinggangnya.Raka: "Bawa aku ke sana."Pertemuan di Balai DesaDi balai desa Kali Bening, Mandor Kuat berdiri dengan kedua tangannya bertolak pinggang. Wajahnya garang,

    Last Updated : 2025-04-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 57

    Malam itu, langit di Kecamatan Kemusuk tampak mendung. Angin berembus pelan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Di dalam Rumah Makan Sekar Kedaton, suasana masih ramai oleh para pelanggan yang menikmati hidangan khas. Namun, di kejauhan, beberapa bayangan bergerak mencurigakan di antara pepohonan.Tak lama kemudian, suara perkelahian pecah terdengar memecah keheningan malam. Sekelompok orang bertopeng menerobos masuk dengan senjata tajam di tangan.Perampok: "Jangan ada yang bergerak! Serahkan semua uang dan perhiasan!"Para pelayan dan tamu rumah makan tersentak kaget. Beberapa orang menunduk ketakutan, sementara yang lain menatap perampok itu dengan waspada.Seorang pria berbadan besar, yang tampaknya pemimpin kelompok, melangkah ke depan.Pemimpin Perampok: "Kami hanya butuh uang! Serahkan semua yang ada di laci kasir dan tidak akan ada yang terluka!"Tanpa banyak bicara, seorang pegawai dipaksa membuka laci kasir. Seketika, karung yang mereka bawa terisi penuh dengan koin ema

    Last Updated : 2025-04-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 58

    Hiruk-pikuk di Rumah Makan Sekar Kedaton kini telah mereda. Setelah peristiwa perampokan, banyak orang mengira Raka akan mengalami kerugian besar. Namun, kenyataan berbicara sebaliknya. Dengan kecerdikannya, ia justru mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kejadian tersebut.Di Desa Kali Bening, Raka berdiri di depan Balai Desa bersama Kades Zeno. Di hadapan mereka, belasan nelayan dari Desa Petir menundukkan kepala dengan penuh hormat. Mereka yang sebelumnya hanya pesuruh Mandor Kuat dan Aryo, kini bersumpah setia kepada desa yang memberi mereka kehidupan baru.Seorang nelayan tua, Ki Toro, berbicara dengan suara bergetar.Ki Toro: “Tuan Raka, Kades Zeno… kami telah melihat keadilan yang sejati di desa ini. Kami sadar, selama ini hanya diperalat. Jika Tuan berkenan, kami ingin hidup di sini, bekerja di sini, dan menjadi bagian dari Desa Kali Bening.”Kades Zeno mengelus janggutnya, memandang nelayan-nelayan itu dengan mata penuh pertimbangan.Kades Zeno: “Kalian sadar dengan keputu

    Last Updated : 2025-04-04
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 59

    Di tengah ketenangan desa yang mulai berkembang pesat, Raka menyadari bahwa setiap keberhasilan selalu membawa tantangan baru.Tidak hanya Mandor Kuat dan Aryo yang masih menyimpan dendam, tetapi juga para pedagang dan saudagar dari kecamatan lain yang mulai merasa tersaingi dengan kemajuan usahanya. Berbagai upaya licik mulai bermunculan—dari harga pasar yang sengaja dimainkan, hingga kabar-kabar bohong yang disebarkan untuk merusak nama baiknya.Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap keluarganya. Aina, yang tengah hamil besar, sering menerima tatapan tak bersahabat dari orang-orang asing yang tak dikenalnya. Beberapa kali, orang suruhan yang mencurigakan terlihat mondar-mandir di sekitar rumah mereka.Raka memutar otak. Ia tak ingin mengambil risiko.“Untuk sementara, kita akan pindah ke Pavilion Puri,” ucapnya tegas kepada Aina.Aina terdiam sejenak, tetapi ia memahami keputusan suaminya. Pavilion Puri yang berada di Kampung Puri jauh lebih aman, dikelilingi oleh

    Last Updated : 2025-04-05
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 60

    Raka duduk di balai desa, Bersama dengan Paman Zeno menatap lembaran kayu ukir yang berisi sketsa rencana baru untuk usaha dagang dan pengelolaan hasil bumi. Ia tahu, dunia yang kini ia pijak penuh dengan persaingan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga kecerdikan dan strategi. Strategi dari Dunia Modern Dalam pemikirannya, Raka mengingat berbagai strategi bisnis dari kehidupan lamanya di dunia modern. Ia mulai menerapkan sistem distribusi yang lebih efisien, memastikan barang dagangan dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur dapat masuk ke pasar kecamatan tanpa hambatan. Ia juga memperkenalkan metode penyimpanan hasil panen yang lebih baik, memastikan tidak ada bahan pangan yang terbuang sia-sia. Gudang-gudang yang dulunya hanya menggunakan bata merah, kini diperkuat dengan campuran semen alami dan batu sungai, menciptakan penyimpanan yang lebih tahan lama. Para pedagang yang dulunya ragu kini mulai percaya, mereka melihat bagaimana pasar-pasar yang bekerja sama den

    Last Updated : 2025-04-05
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 61

    Raka Wironegoro berdiri tegap di atas menara benteng Desa Kali Bening. Ia menatap ke kejauhan, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Malam ini, ia tak sekadar menikmati sepoi angin malam, tetapi mengawasi hasil karyanya yang baru saja rampung: panah semi-otomatis.Senjata ini adalah buah pikirannya yang telah lama ia rancang. Berbeda dengan panah biasa, alat ini mampu menembakkan tiga busur sekaligus dengan mekanisme tuas sederhana. Di setiap menara benteng, telah ia tempatkan beberapa panah besar yang mampu menjangkau musuh dari kejauhan.Ketika prajuritnya pertama kali mencoba senjata itu, suara deru anak panah yang melesat membelah angin terdengar begitu menggetarkan. Busur-busur itu meluncur dengan kecepatan mengagumkan, menusuk papan sasaran hingga tembus. Para pasukan desa bersorak, kekaguman meliputi wajah mereka. Tak hanya mereka, para pejabat desa kali bening pun tertegun termasuk sang paman kades Zeno melihat kehebatan senjata baru itu.Tak berhenti sampai d

    Last Updated : 2025-04-05

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 100

    Suara genderang kayu dipukul tiga kali di pendopo Desa Kali Bening, menandakan rapat tetua dimulai. Para sesepuh dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur duduk melingkar, jubah panjang dan ikat kepala mereka tampak berwibawa. Raka berdiri di tengah, menggenggam selembar lontar berisi rencana pembentukan desa baru yang telah disusunnya selama berbulan-bulan.“Para tetua sekalian,” kata Raka sambil membungkuk hormat, “saya mengajukan wacana resmi pemisahan Kampung Puri dari Kali Bening. Wilayah ini tumbuh pesat, jumlah penduduknya terus bertambah, dan letaknya strategis di jalur pelabuhan. Saya rasa sudah waktunya dipersiapkan menjadi desa mandiri.”Kakek Bango dari barat Kali Bening mengelus jenggotnya. “Anak muda, langkahmu besar, tapi tidak terburu-buru. Itu bagus. Namun, apakah rakyat siap?”Raka menunduk hormat. “Belum. Maka dari itu, saya mohon ini jadi rencana jangka panjang. Lima atau tujuh tahun ke depan. Saya tak ingin terburu-buru, hanya ingin bersiap sejak sekarang.”Cakra, kep

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 99

    Langit di atas Kota Madya Utama pagi itu diselimuti mendung tipis. Di dalam balai kota yang megah dengan tiang-tiang batu berukir lambang Surya Manggala, Raka berdiri tegak di hadapan para pejabat. Di atas meja panjang terbentang lembar-lembar peta yang ia bawa sendiri dari Desa Kali Bening.Dengan suara tenang, ia memulai, “Saya datang bukan hanya sebagai wakil dari Kali Bening, tapi sebagai utusan dari masa depan. Ini peta wilayah yang kami rancang… pemekaran dari dusun menjadi desa, dan penggabungan dua desa menjadi cikal bakal kota kecil.”Para pejabat duduk dengan tangan terlipat. Beberapa tampak tertarik, namun sebagian lain mulai tersenyum simpul. Salah satu pejabat tua dengan suara lantang menimpali,“Jadi… kau ingin menjadikan daerah sawah dan ladang kerbau itu menjadi kota? Wah, sungguh berani anak muda ini!”Terdengar tawa kecil bersahutan.“Jangan-jangan kau juga berniat bangun istana emas di tengah kolam lumpur?” sambung yang lain dengan nada mengejek.Raka tetap tenang.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 98

    udara di balai pusat Desa Kali Bening begitu segar, seolah embusan angin membawa semangat baru. Raka duduk di ruang dalam balai dengan tumpukan naskah di hadapannya. Di tangan kanannya, sebilah pena bulu ayam yang dicelup dalam tinta hitam. Ia sedang menyusun surat penting yang akan ditujukan kepada Bupati Kota Madya Utama."Kalau desa ini makin besar, banyak hal akan terbagi dua. Ronda, pasar, bahkan pengairan," gumam Raka pada dirinya sendiri. "Mungkin ini saatnya memekarkan desa… jadi dua wilayah."Mirna, yang berdiri di dekat jendela sambil menyusun laporan hasil panen, menoleh. “Apa tidak terlalu cepat, Tuan?”Raka tersenyum. “Bukan soal cepat atau lambat. Tapi soal bagaimana kita menata arah. Dua desa bisa lebih fokus dalam mengatur jalannya rakyat.”Beberapa jam kemudian, surat rampung. Segel desa ditempel, dan dua orang pengawal berkuda ditugaskan membawa surat itu ke kadipaten.Beberapa hari berselang, Raka sendiri yang menghadiri panggilan ke Kadipaten. Ruang pertemuan di ka

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 97

    Angin pagi bertiup sejuk saat utusan dari Desa Anggur datang menunggang kuda cokelat berpelana kain tenun. Ia membawa sepucuk surat bersampul kulit pohon jati, ditujukan langsung kepada Raka.Surat itu singkat namun padat. Isinya, usulan dari Kades Cakra agar kedua desa, Kali Bening dan Anggur, membentuk satu kota baru yang mewakili kemajuan besar yang kini mereka alami. Kota itu akan memiliki balai pusat, pasar agung, dan perwakilan rakyat desa.Raka membacanya sambil duduk di bale-bale bambu rumahnya di Kampung Puri, mengenakan kain tenun kasual dan ikat kepala sederhana. Di depannya, Mirna berdiri, memegangi peta jalur desa.“Cakra memang berani,” gumam Raka. “Tapi usulannya seperti petir siang bolong.”Mirna tertawa kecil. “Petirnya menyala karena langit kita bersih. Tidak banyak desa yang bisa tumbuh secepat ini.”Raka menghela napas. “Kota baru bukan hanya soal bangunan. Tapi juga orang-orangnya, aturannya, makannya dari mana, minumnya dari mana. Apa kita sudah siap?”Hari itu j

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 96

    Tak ada yang menyangka bahwa jalan tanah lebar yang menghubungkan Desa Kali Bening dan Desa Anggur akan membawa perubahan sebesar ini. Dulu hanya berupa jalur setaTuan berkerikil, kini jalan itu sudah ditata rapi, diperkeras dengan batu-batu lempeng dari sungai, dan di kiri-kanannya ditanami pohon turi serta lampu minyak gantung yang dinyalakan tiap malam.Sejak jalan itu dibuka, desa terasa seperti hidup kembali. Kuda-kuda pedagang berdatangan membawa hasil bumi, kain, rempah, logam, dan barang-barang dari wilayah lain. Gerobak-gerobak kayu berseliweran, dan anak-anak kecil sering berdiri di tepi jalan, bersorak tiap kali rombongan saudagar lewat.Suatu pagi, di sebuah warung sederhana di pinggir jalan, seorang pedagang tua duduk sambil menyeruput wedang jahe. Ia menatap lalu lalang orang dengan senyum tipis.“Tempat ini,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang berdebu halus, “rasanya lebih ramai dari alun-alun kota pelabuhan di utara.”Di depannya, pemilik warung, seorang ibu mu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 95

    Pagi masih berselimut kabut ketika suara benturan kayu terdengar dari Balai Pelatihan Pasukan. Di sana, Raka berdiri dengan baju pelatihan sederhana, memegang tongkat kayu panjang, sementara puluhan pemuda dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur berdiri berbaris, napas mereka mengembun dalam udara pagi.“Aku tak butuh prajurit yang hanya pandai mengangkat senjata,” seru Raka lantang. “Yang kubutuhkan adalah penjaga sejati. Yang tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus menahan diri.”Para pemuda mendengarkan dengan mata menyala-nyala. Mereka tahu, ini bukan pelatihan untuk perang besar, tapi untuk menjaga kehidupan yang telah dibangun dengan susah payah. Jembatan kayu besar yang menghubungkan dua desa kini menjadi urat nadi perdagangan, dan rumah makan Sekar Kedaton telah menjadi tempat persinggahan para saudagar dan pelancong dari jauh. Keamanan bukan lagi urusan tetua desa saja—semua harus turut menjaga.Raka tak bekerja sendirian. Ia dibantu Cakra, sahabatnya yang ahli dalam taktik

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 94

    Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 93

    Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 92

    Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status