Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang.
Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh.
Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
Karena kehilangan keseimbangan Ia juga ikut jatuh menimpa lantai. Beruntung, saat itu ditempatnya tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya dan dua anak lainnya yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Seorang diantara mereka berlari mendekat kemudian membantunya berdiri. Anak itu sepertinya jauh lebih tua dibandingkannya. Selisih lima tahun. Ia berdiri, merapikan pakaiannya, lalu memandangi sosok didepan. Tersenyum.&n
November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya. Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minima
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
Malam semakin larut. Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan. Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya ke
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang. Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh. Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
“Hujan lagi”gerutu Nicky. Langit diluar tampak sangat gelap. Tak bersahabat. Ia menyembunyikan bintang dan rembulan. Hanya jutaan panah air yang setia menemaninya. Nicky menarik kain jendela, menutupnya. Lalu melangkah mendekati Azka yang duduk membelakanginya. “Kamu sudah makan Az?”
Malam semakin larut. Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan. Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya ke
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya. Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minima