“Hujan lagi”gerutu Nicky.
Langit diluar tampak sangat gelap. Tak bersahabat. Ia menyembunyikan bintang dan rembulan. Hanya jutaan panah air yang setia menemaninya. Nicky menarik kain jendela, menutupnya. Lalu melangkah mendekati Azka yang duduk membelakanginya.
“Kamu sudah makan Az?”
“Sudah. Tadi Dahlia baru saja membelikanku makanan”
Nicky meng-“ooow” pelan. Ia memang baru tiba lima menit yang lalu. Ia melirik keluar dari pintu kamar yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Ia berjaga-jaga siapa tahu Dahlia ada disekitar mereka.
“Lalu bagaimana dengan Dahlia? Apakah Ia bisa menjaga rahasia kita?”
“Bisa. Aku percaya Dahlia akan menjaga semua ini. Dahlia itu anak yang baik jadi nggak mungkin dia berbuat macam-macam”
“Baguslah kalau begitu”
Kemudian hening. Cukup lama tanpa suara dari mereka berdua.
“kamu kok berubah begini? Kamu kenapa AZ?”suara Nicky tiba-tiba meninggi.
Azka membalikan tubuhnya, memandangi sosok pujaan hatinya.
“Aku nggak apa-apa. Aku nggak berubah sama sekali.”
“Tapi kamu berubah Az. Apa ini ada kaitannya dengan kejadian malam itu?”
“Kamu bicara apa sih Nic? Ini nggak ada kaitannya sama sekali dan aku baik-baik saja”
“Bohong! Kamu pikir aku ini siapa? Aku ini pacarmu. Dua tahun waktu yang lebih dari cukup buatku mengenali karaktermu jadi nggak usah berusaha untuk membohongiku. Aku tahu kamu masih syok dengan kejadian malam itu. Tapi mau sampai kapan? Cepat atau lambat semua orang juga akan tahu hubungan kita. Kita nggak mungkin sembunyi-sembunyi seperti ini terus”
“Nicky...”
“atau... jangan-jangan kamu mencintai Dahlia? Iya?”
“Nggak mungkin. Aku nggak mungkin mencintai perempuan. Hanya kamu Nick, aku hanya mencintaimu”
Nicky mendesah kesal. Ia tidak menemukan jawaban yang tepat. Dengan kasar Ia mengambil jaketnya yang terletak di sofa ruang tengah dan berniat pulang. Hawa di apartemen mulai terasa panas.
“Kamu mau kemana?”
“Aku mau pulang. Nggak ada gunanya aku disini. Sepertinya kamu nggak menghargai aku sama sekali”
“Nicky tunggu”Cergah Azka. Ia menarik tangan Nicky, mencegahnya agar tidak pulang.
“Aku mohon jangan tinggalkan aku”
“aku kesal denganmu. Ini baru Dahlia yang tahu belum semua orang dan sikapmu sudah berubah. Aku kecewa”
“Jujur memang aku belum siap”Azka melongos panjang. Melepaskan tangan Nicky lalu mengusap wajah.
“Lalu sampai kapan?”
Ehm...
Seseorang berdehem pelan tidak jauh dari mereka. Kompak mereka mengalihkan pandangan. Dahlia? Dia lagi. Ada dan mendengar percakapan mereka berdua.
“Oh maaf kalau menganggu. Dahlia hanya ingin kebawah. Ada yang harus Dahlia beli. Maaf ya”Ujar Dahlia sambil berusaha tersenyum. Meski hatinya berkata lain : sakit.
Tidak peduli pada siapa pujaan hatinya melabuhkan cintanya. Entah berlabuh pada pelabuhan atau menempel pada kapal yang sama. Yang jelas cinta tidak pernah mengenal batas atau apalah. Cinta tidak mengenal apa dan siapa. Cinta tidak paham mengapa dan dimana. Dahlia tidak mungkin membohongi hatinya. Dahlia cemburu.
Cinta itu bagian dari cemburu. Jadi tak perlu menanti cinta yang wajar untuk merasakan cemburu. Dahlia mulai merasakan itu. Meski Ia tahu cinta azka dan Nicky itu tidak wajar tapi Ia tetap merasakan sesak dilubuk hatinya.
Ia melangkah keluar. Menutup pintu lalu menghembuskan nafas kuat diluar. Matanya menghangat. Sekali saja Ia mengerjapkan mata maka air itu akan mengalir dipipinya.
“Aku harus pulang. Mungkin kamu butuh waktu untuk menyendiri”Kata Nicky lalu meninggalkan Azka.
Sendiri.
Azka tidak pernah merasakan sepi seperti ini. Tiba-tiba apartemen terasa mencekam. Cinta memang terlalu rumit untuk dimengerti banyak orang...
*_*_*
“Kak Nicky?”Pekik Dahlia terkejut. Saat itu ia masih berdiri diluar apartemen.
Nicky memandangnya tajam. Rautnya tak bersahabat. Wajahnya yang putih mulus tak bisa menyembunyikan rona marah dan kesal.
“Kak Nicky mau kemana? Kak Azka mana?”
“Bukan urusanmu”Jawab Nicky kemudian berlalu begitu saja.
Dahlia sontak mengernyitkan alis. Ini pasti ada yang terjadi diantara Nicky dan Azka. Apakah mereka sedang marahan?
*_*_*
Azka duduk bersandar pada pinggiran tempat tidur. Perlahan, semuanya mulai tampak kepermukaan. Satu persatu yang ia bayangkan dulu kini mulai terjadi. De javu. Pikirannya kacau balau.
Oh tuhan, apakah ini bagian dari konsekwensi yang harus aku jalani? Mengapa cintaku begitu rumit untuk dijelaskan. Mengapa banyak yang nggak mengerti dengan cinta ini,Azka membatin.
Sesaat ia menoleh. Menatap ponselnya yang berkedip-kedip. Entah sudah berapa kali Sergio menelepon dan Ia sengaja mengsilentkan ponselnya. Tidak ingin diganggu. Ia ingin sendiri. Cuti sehari yang dimintanya terasa percuma. Ia tidak mendapatkan apa-apa.
Azka berdiri kemudian pergi. Ia tidak mau terkurung dalam situasi seperti ini. Ia tidak ingin setan datang membisikan sesuatu. Bunuh diri. Ini jelas sangat konyol.
*_*_*
Mobil bergaya sporty dengan warna black metalic membelah jalanan yang basah. Orang dibalik kemudi itu tampak bingung mau kemana. Berkali-kali ia menepi di dekat kelab, Pub dan sejenis lalu kemudian pergi. Orang itu tidak lain adalah Azka.
Ia tidak boleh masuk ke tempat itu. Ia tidak akan menemukan ketenangan disana. Ia harus sendiri. Menjauh dari hiruk pikuk dan dentaman musik malam. Apalagi ia benci bau alkohol dan kepulan asap rokok.
Ia lebih memilih membawa mobilnya ke sebuah bangunan sederhana namun tampak berkesan. Rasanya sudah lama sekali ia tidak masuk ketempat ini. Pertama dan terakhir kalinya pada saat itu. Saat ia masih kecil dan bertemu dengan... anak laki-laki itu. Yang pertama kali membuat ia merasakan ada yang aneh pada hatinya.
Sekian tahun ternyata bangunan ini sudah banyak berubah. Bagian luarnya terlihat lebih elegan meski desainnya minimalis. Dari kaca tebal didekat pintu terlihat jelas tata letak meja dan kursi yang lebih modern. Konsep resto - kafe.
Meski tidak yakin tempat ini masih buka atau sudah tutup Azka tetap memilih untuk masuk. Setidaknya dengan membayangkan kejadian masa lalu itu membuat pikirannya menjadi tenang. Tempat ini, kenangan terindah itu berawal.
*_*_*
“Diluar masih hujan deras. Kamu nggak minta dijemput lagi sama si Brian?”Celetuk Patty dari dapur.
Melita menggeleng keras. Jelas ia tidak akan meminta bantuan lagi dari laki-laki itu.
“Kamu masih marah padanya?”
“Nggak. Cuma aku nggak mau saja memberikan harapan palsu padanya. Aku nggak mau kalau permintaan tolongku itu diartikan bahwa aku suka padanya”
“Loh, dari mana kamu tahu dia akan berpikiran seperti itu?”
“semua laki-laki seperti itu. Cuma dimintai tolong eh sudah besar kepala.”
Patty hanya terkekeh dari dapur.
Sudah dua puluh menit melenceng dari jam sepuluh. Kafe sudah tutup sejak lima belas menit yang lalu. Semua pelayan sudah pulang kecuali Patty. Yah, Patty bisa tidur diruang kerja seperti biasanya kalau sedang turun hujan.
“itu mobil siapa lagi? Dia nggak tahu kalau kafe sudah tutup?”
“mungkin mobil Brian”
“Brian?”
“Iyap. Yah kamu tahulah kalau laki-laki sedang pedekate, nggak diminta tapi sering nawarin.”
Seseorang turun dari mobil kemudian melangkah cepat mendekatinya. Gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Ia menggunakan jaket hitam dengan penutup kepala nyaris menutupi wajahnya. Tiba-tiba saja jantung Melita berdetak sangat cepat. Orang ini pasti penjahat. Ia akan mencuri uang dan membunuh mereka. Oh tidak, Melita berjongkok mencari sesuatu yang bisa dipukulkan pada orang itu.
Melita berpikir sejenak. Ia harus bagaimana? Ia tidak mendapatkan apa-apa. Apakah suara minta tolongnya dapat terdengar hingga keluar sana? Kalaupun sampai pasti hanya sayup-sayup. Diluar itu hujan deras.
Melita mendesah panjang, menahan nafas, menghirupnya panjang lagi. Mencoba menenang pikirannya. Trying to positive thinking. Laki-laki itu pasti seseorang yang kelaparan lalu terlambat datang. Atau bisa saja orang yang hanya ingin berteduh, eh tapi dimobil kan dia tidak basah? Atau itu Brian? Bisa saja. Sekilas posturnya sangat mirip Brian.
“Permisi. Saya mau pesan”
Melita muncul tiba-tiba dari balik meja dan mengejutkan orang itu. Laki-laki itu bahkan sampai mundur beberapa langkah. Bukan hanya laki-laki itu yang terkejut. Melita juga. Ia menjerit antara takut dan senang. Entahlah yang pastinya ia ikut menjerit. Meraba dadanya.
Ia tidak percaya pada siapa yang berdiri dihadapannya sekarang. Azka?
“Maaf, bolehkah saya pesan sesuatu?”Azka mengulang pertanyaannya.
Melita tak berkedip sama sekali. Tidak ada yang bisa Ia lakukan. Bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa. Lidahnya kelu. Otaknya beku.
“Hallo??”Azka mengibaskan tangannya didepan Melita.
“Ooh iya. Mau pesan apa?”Melita menghela nafas panjang. Mengendalikan dirinya agar tidak terlihat aneh didepan idolanya. Ia bukan tipe fans fanatik tapi dimana-mana yang namanya fans tetap fans. Gugup kalau bertemu artis idolanya. Tidak terkecuali Melita.
“MELITA KATAKAN SUDAH TUTUP! BALIK SAJA BESOK PAGI”teriak Patty dari dapur.
“ohh sudah tutup ya? Maaf kalau begitu, saya pulang saja”
Belum jauh Azka melangkah Melita langsung mencegatnya,
“eeh belum,,, anu iya sebenarnya kami sudah tutup. Tapi kalau kamu mau pesan, boleh kami layani. Kamu baca itu…”Melita menunjuk ke tulisan yang menempel disalah satu sudut kafe.
Azka mengikuti telunjuk Melita.
“CUSTOMER IS NUMBER ONE”
“ooowh”
“Jadi mau pesan apa?”
“Jus alpukat saja. Ada kan?”
“dingin-dingin gini pesan jus? Ada kok. Ada lagi?”
“roti panggang satu, itu saja”
“Baiklah, kamu boleh menunggu”
Azka melangkah berjalan kesalah satu meja disudut kafe. Jika diperhatikan tempat itu memang yang paling sudut. Jauh dari meja-meja lainnya. Terkesan sendiri dan diasingkan. Seperti keadaannya sekarang, sendiri dan mulai merasakan diasingkan oleh alam. Ia memilih tempat itu karena cocok dengan perasaannya.
*_*_*
“Siapa itu? Kok kamu semangat sekali. Nggak biasanya”Tanya Patty.
Mereka sedang berada didapur. Melita sibuk menyiapkan bahan membuat jus. Untuk Azka, ia akan menyajikan minuman special. Ia tidak boleh gagal. Maka ia meraciknya dengan teliti dan telaten. Mengeruk isi alpukat agar kulit dalam tidak ikut masuk kedalam blender. Mencampurkannya dengan es batu dan susu kental manis. Sementara roti panggang ia serahkan pada Patty. I tidak ingin pelanggannya kabur gara-gara roti angus buatannya.
“Azka”
“Azka? Penyanyi terkenal itu?”Sorak Patty tidak percaya.
“Iya”
“Nggak mungkin. Orang itu pasti hanya mirip”
“Terserah. Aku nggak minta kamu untuk percaya atau nggak. Tapi sebagai fans, aku pasti kenal mana yang asli dan mana yang KW”
Patty menuangkan jus ke gelas tinggi yang sebelumnya sudah dilumuri coklat. Tidak lupa ia mengambil satu skop ice cream coklat lalu menaruhnya tepat dipuncak jus. Diatasnya, membentuk gundukan kecil. Lalu terakhir menaburkan butiran coklat diatasnya. Sempurna.
“WOW. Apa namanya melita?”Patty mendekatinya.
Tampilan yang luar biasa menggoda. Patty sering membuat jus alpukat tapi tidak seistimewa itu.
“Ini namanya… hmm… Chocovocado. Campuran coklat dan alpukat.”
“Sepertinya enak. Boleh aku cicipi?”
“Oh sorry yah. Ini hanya untuk Azka. Special. Kalau kamu mau, silahkan saja buat jus alpukat yang standart itu.”
“iih sombongnya. Huuh…”
Melita tergelak. Berhasil membuat patty penasaran pada minuman buatannya. Ia melangkah hati-hati menuju tempat duduk Azka. Lelaki itu tampak merenungkan sesuatu. Memandang kosong kedepan.
“Silahkan dinikmati”Kata Melita kemudian duduk dihadapan Azka.
“Terima kasih”
Azka mencomot potongan roti panggang langsung dengan tangannya. Tidak perlu berpura-pura, jaga imej dan sebagainya. Ia memang seperti ini. Tidak mencoba perfeksionis tapi tetap terkesan elegan dan keren. Melita tersenyum melihatnya.
Merasa terlalu diperhatikan oleh gadis didepannya, Azka lalu bertanya “Kamu kok masih disini? kamu nggak kerja?”
“Aku harus menjagamu. Memastikan kamu menikmati chocovocado pertama buatanku. Jujur ya, itu idenya datang begitu saja tadi. Saat aku melihatmu. Dan aku nggak perlu kerja lagi, kafe sudah tutup sejak tiga puluh menit yang lalu. Apa lagi yang harus aku kerjakan?”
“Jadi begitu? Kamu kok belum pulang? Kamu pasti karyawan teladan di kafe ini”
“nggak juga. Aku bukan pelayan tapi anak dari pemilik kafe ini”
“ooh. Eh tapi, tunggu dulu. aku seperti mengenali wajahmu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Ya. Kamu menolongku saat aku hampir jatuh waktu itu didepan supermarket.”
“Oh iya benar. Aku belum sempat minta maaf tapi kamu sudah pulang. Maafkan aku nggak sengaja menabrakmu”Akhirnya Azka menemukan orang itu. Gadis yang menghilang ditelan hujan beberapa saat lalu.
“Sudah ku maafkan. Oh iya, boleh aku minta sesuatu?”
“Apa?”azka meletakan potongan roti yang sudah siap meluncur ke mulutnya.
“Aku boleh nggak minta tanda tangan dan foto bersama?Aku ini penggemar beratmu”
“Benarkah?”
“Iya. Sumpah, aku sangat mengidolakanmu”
“Boleh”
“Baiklah tunggu sebentar”
Dengan gesit Melita berlari menuju dapur. Azka tersenyum melihat tingkah gadis itu. Sangat bersahabat. Tidak kaku seperti kebanyakan penggemarnya. Mungkinkah gadis itu tidak terpesona padanya seperti yang lainnya? Ah entahlah. Namun yang pasti Azka perlahan mulai bisa melupakan masalahnya.
Melita kembali bersama Patty, kamera dan pulpen.
“Tanda tangan disini”Melita menunjuk bagian pundak belakang kaos yang dipakainya. Azka berdiri dan menuruti permintaan Melita.
“Ohh patty tolong fotokan aku dan Azka”
Patty meraih kamera. Menunggu azka dan melita untuk bergaya lalu memotretnya. Selesai. Patty kembali ke ruang kerja untuk istirahat. Ia membiarkan sahabatnya itu menemani sang artis idola.
“Terima kasih ya. Sekarang kamu boleh mencicipi chocovoado itu, aku berharap kamu memberikan nilai atas karyaku itu. Dan… sedikit komentar. Boleh??”
Gadis yang banyak permintaan. Namun Azka suka. Meski ada sesuatu yang menjanggal dipikirannya. Ia harus menanyakan hal itu. Sekarang.
“Oh iya, kenapa kamu tidak memelukku tadi saat berfoto bersama? Nggak seperti kebanyakan fans. Padahal kamu punya kesempatan besar malam ini”
“Oh itu? nantilah kalau kamu datang lagi kesini. Itu nggak penting, yang penting aku sudah dapat tanda tangan dan foto bersamamu. Aku nggak mau foto kita berdua menimbulkan gossip baru. Aku nggak mau dikejar-kejar wartawan. Aku belum siap terkenal”Jawabnya sambil tergelak tawa.
“Darimana kamu yakin aku akan kembali kesini?”
“Dari gelas itu. Chocovocado akan membuatmu kembali lagi. aku percaya”
“Aku suka kepercayaan diri itu”
Azka mengancungkan jempol untuk Melita lalu meneguk chocovocado buatan melita.
Matanya langsung terbelalak. Ada sesuatu yang menjalar dilidahnya kemudian mencekik tenggorokannya. Apa ini? Mana alpukatnya? Pahit. Coklatnya terlalu banyak. Azka memandangi melita. Antara jujur atau tidak.
“Bagaimana enak?”
Azka enggan menjawab. Kalau Ia jawab tidak Melita pasti kecewa. Tapi kalau ia berbohong pasti lebih parah lagi.
“Azka? Enak nggak?”
“Maaf tapi aku harus jujur. Untuk choconya aku kasih nilai enam. Tapi untuk avocadonya, aku kasih nilai tiga. Aku nggak merasakan alpukat sama sekali. Yang ada hanya coklat dan pahit”Ucap Azka ragu. Takut Melita akan marah.
Tapi ternyata tidak. Melita hanya mengangguk pelan.
“Begitu ya? Jadi bagaimana? Apakah kamu akan kembali lagi kesini?”
“Untuk apa?”
“Untuk kembali memberikan nilai pada chocovocado ini.”
“Semoga saja”
Melita kemudian tertawa. Azka juga. Malam itu berakhir dengan tawa mereka.
Pertemuan singkat antara artis dan penggemarnya yang kemudian berlanjut pada pertemanan kecil. Melita memang tidak yakin Azka akan kembali lagi tapi bukankah setiap orang berhak yakin dan percaya pada apa saja. Ia percaya, sesuatu akan membawa Azka kembali lagi.
Melita melambaikan tangan pada mobil yang perlahan menjauh. Ia berdiri sendiri diluar kafe. Hujan sudah reda. Jarum jam diruang kerja berdenting dua belas kali. Waktunya istirahat. Melita masuk lalu mengunci pintu kafe dari dalam. Menggemboknya agar tak ada lagi pelanggan tengah malam yang datang. Tapi kalau Azka yang datang lagi, Ia pasti membukanya.
Ia tersenyum mengingat kejadian barusan. Ternyata tidak sulit untuk berbincang akrab dengan sang artis idola. Apalagi artis itu adalah Azka, penyanyi keren yang sedang naik daun tapi tidak terjangkit star syndrome. Luar biasa. Ia berterima kasih pada tuhan yang telah memberinya hujan malam ini.
Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang. Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh. Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
Karena kehilangan keseimbangan Ia juga ikut jatuh menimpa lantai. Beruntung, saat itu ditempatnya tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya dan dua anak lainnya yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Seorang diantara mereka berlari mendekat kemudian membantunya berdiri. Anak itu sepertinya jauh lebih tua dibandingkannya. Selisih lima tahun. Ia berdiri, merapikan pakaiannya, lalu memandangi sosok didepan. Tersenyum.&n
November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya. Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minima
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang. Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh. Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
“Hujan lagi”gerutu Nicky. Langit diluar tampak sangat gelap. Tak bersahabat. Ia menyembunyikan bintang dan rembulan. Hanya jutaan panah air yang setia menemaninya. Nicky menarik kain jendela, menutupnya. Lalu melangkah mendekati Azka yang duduk membelakanginya. “Kamu sudah makan Az?”
Malam semakin larut. Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan. Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya ke
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya. Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minima