November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya.
Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minimal tiga puluh menit sekali untuk mengistirahatkan matanya. Juga tidak peduli pada gadis disampingnya.
“Hei!!”
Melita tidak bereaksi.
Ia biarkan gadis disamping terus berkicau tiada henti. Meski Ia sadari, kicauan Nuril memang terdengar sangat mengganggu. Merusak konstentrasinya.
“Melita?”
“Hmm…”
“Melita???”
Melita berdecak pelan. Wajahnya masih menatap layar laptop dengan serius. Sesekali Ia memperbaiki letak gagang kacamatanya. Kalau saja diluar tidak hujan, pasti Nuril sudah disuruh pulang sejak satu jam yang lalu. Menganggu.
“MELITA!!!”
Melita tersentak kaget. Ia memutar kepala lalu memelototi Nuril. Gadis dengan rambut dikucir satu itu malah tersenyum. Namun Melita tidak. Ia tidak tersenyum sama sekali. Melainkan, Melita memasang raut wajah kesal.
“Jangan marah ya? Hehehe”Nuril terkekeh pelan.
“Aku nggak tuli. Jadi kamu nggak perlu berteriak seperti itu”Melita mendesah panjang.
“Salah kamu sendiri. Dipanggil dari tadi tapi nggak ada respon sama sekali. Ya udah, aku teriak aja. Lagipula, sekencang apapun aku berteriak toh nggak bakalan ngalahin suara petir diluar kan?”
Nuril benar. Petir yang menggelegar tanpa ampun diluar sana memang lebih besar dari teriakannya tadi. Berpuluh kali lebih besar. Maka dari itu Ia tidak takut untuk berteriak meski sebenarnya ia tahu, diruang tamu ada rekan bisnisnya orang tua melita.
“Kamu kenapa? Pengen pulang? Kamu nggak tahu diluar hujan deras?”
“Bukan itu. Siapa juga yang pengen pulang sekarang? Aku itu belum makan, jadi belum boleh pulang. Begitu sih kata Mama kamu. Hehehe”Nuril kembali terkekeh.
“Lalu kenapa?”
Melita menyudahi ketikannya dalam satu tanda titik. Selesai. Ia mematikan laptop, meletakannya di meja kecil samping tempat tidur, kemudian beranjak menutup jendela kamar.
“Kamu harus baca ini”Nuril meloncat dari atas tempat tidur lalu menyerahkan ponselnya pada Melita.
AKU BERHAK MENCINTAI SIAPA SAJA. TAK PEDULI PADA BATAS YANG DICIPTAKAN MANUSIA.
“Lalu? Ada apa dengan tulisan itu?”Melita mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Itu akun twitter artis favoritmu.”
“Aku tahu”
“Kamu masih nggak ngerti juga?”
Melita menggeleng pelan.
“Artis favoritmu itu? dia itu seorang…”Nuril menghentikan kalimatnya ketika pintu kamar Melita dibuka. Wanita berambut sebatas bahu berdiri disana. Itu mamanya Melita.
“Melita, jangan lupa pesan mama tadi. Jam tujuh nanti kamu harus ke kafe, mama ada urusan penting. mendadak. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban “ya” atau “tidak” dari Melita, Mama langsung menutup pintu. Melita mendesah pelan. Ia sudah terlanjur janji pada Mama untuk pergi ke kafe milik mamanya malam nanti. Itu berarti, selama beberapa jam tersisa Ia akan menjadi seorang bos.
“Kamu harus percaya ini Melita. Aku nggak mungkin bohong. Analisaku pasti tepat”
“Kalau analisamu tepat, kenapa kamu nggak kuliah jurusan ekonomi atau ilmu pemerintahan saja? kenapa malah memilih jurusan sastra?”
“Nggak penting. Ini yang penting sekarang.”
“STOP. Aku bosan mendengarkan kata-katamu tentang dia. Sekali menjadi artis favortiku, ia akan tetap menjadi artis favoritku. Dan satu lagi, aku nggak peduli dia itu persis dengan apa yang kamu pikirkan. Itu bukan urusanku. Ia memang benar, ia berhak mencintai siapa saja”
Melita keluar kamar. Meninggalkan Nuril seorang diri yang masih sibuk mencerna kalimat di handphonenya. Tweet yang dikirimkan oleh orang itu mengandung makna tersembunyi. Yah, ada sesuatu yang disembunyikan. Nuril sangat yakin.
*_*_*
Dua gadis itu melangkah cepat memasuki kafe. Desain interior kafe yang modern pop menyambut kedatangan mereka. Cukup ramai meski diluar hujan masih saja mengguyur tanpa ampun. Melita melepaskan jaketnya yang sudah basah lalu membawanya ke ruang kantor ibunya. Nuril mengikuti dari belakang sambil memeluk dadanya. Sesekali ia menggelembungkan pipinya. Dingin. Menggigil.
Melita menggantungkan jaket pada gantungan yang ada disamping pintu kemudian melangkah menyalakan penghangat ruangan. Ini sudah seperti di eropa. Kalau saja Jakarta bukan bagian dari indonesia yang beriklim tropis pasti besok jalanan sudah dipenuhi gundukan salju.
“Dingin”Ucap Nuril pelan sambil menggosok-gosokan telapak tangannya.
“Kau mau minum apa?”
“Apa saja yang penting hangat”
Melita mengerti. Ia bersiap membuka pintu namun terkejut ketika pintu dibuka oleh seseorang. Gadis cantik berambut hitam lurus sebahu berdiri disana. Patty namanya. Teman Melita yang sekarang bekerja di kafe milik Ibunya.
“Sepertinya kalian kedinginan. Mau minum apa? biar aku buatkan”Ujar Patty menawarkan.
Sebenarnya Melita ingin menolak sebab Ia tidak ingin merepotkan temannya itu. Patty pasti sangat lelah bekerja seharian. Melita bisa buat sendiri kalau hanya minuman hangat. Tapi keburu diiyakan Nuril.
“Tadi aku juga baru buat almond browniess. Kalian pasti suka. Tunggu sebentar”
Patty langsung menghilang begitu saja.
Melita kembali ketempat duduk, meraih remote lalu menyalakan Tivi. Acara talkshow Live. Bibirnya langsung menyungging. Tersenyum lebar. Rona matanya jelas sangat bahagia. Pemuda tampan yang sedang diwawancarai oleh presenter cantik itu artis idolanya.
Di acara itu, pemuda tampan itu bercerita tentang masa kecilnya. Penuh keharuan. Bocah lelaki yang belum tahu apa-apa ditinggalkan begitu saja oleh ibunya bersama seorang ayah yang tidak jelas pekerjaannya. Kerja keras ayah untuk menyekolahkannya, membiayai kebutuhan hidupnya hingga akhirnya menjadikannya seperti ini. Penyanyi pendatang baru yang sangat sukses.
Melita tidak bisa menahan haru ketika pemuda itu terisak, tertahan beberapa kali saat mengucapkan terima kasih pada ayah yang sudah seperti ibunya. Papa. Lelaki tangguh yang juga berubah menjadi lelaki lembut baginya.
Klik…
Melita terhenyak kaget. Layar tivi mendadak hitam. Gelap. Melongo sekian detik dan akhirnya menyadari sesuatu. Ia menghela nafas panjang, menyiapkan tenaga untuk memarahi Nuril yang sengaja mematikan tivi.
“Kamu apa-apaan sih? kalau kamu nggak suka nonton acara itu, kamu boleh keluar dari sini!”Bentak Melita dengan tegas.
“Kamu nggak pantas mengidolakan artis macam dia”
“Kamu nggak pantas menilai seseorang itu pantas dijadikan idola atau nggak. Lagipula aku bukan fans fanatik yang mendewakan idolanya. Jadi berhenti mengangguku. Kembalikan remotnya.”Balas Melita lalu dengan kasar merebut kembali remote tivi dari tangan Nuril.
“Tadaa…”
Patty masuk sambil membawa nampan berisi tiga gelas minuman hangat. Jelas karena asapnya masih mengepul. Menari-nari bersama hembusan pelan angin. Dan sepiring brownies bertaburan almond. Ini pasti nikmat. Nuril sudah tidak sabar untuk mencicipinya.
“Silahkan menikmati”Ujar patty bergaya ala-ala pelayan.
“Terima kasih”kata Nuril.
“Thanks ya Pat”Lanjut Melita.
“sama-sama”balas patty kemudian bergabung dengan mereka.
Satu persatu potongan almond brownies mulai lenyap dari hadapan mereka. Patty memang jagoan kalau membuat kue-kue. Tidak heran jika Ibunya melita mempertahankan patty di kafe itu. Tidak jarang juga Ibunya melita membanding-bandingkannya dengan Melita. Dan jika sudah membahas hal itu, maka satu jawaban melita,
“Melita juga bisa Cuma lagi malas saja”
“Kamu memang hebat Patty. Almond Browniesnya enak sekali. Lain kali, kalau aku mau aku pesan sama kamu yaa…”Nuril mengangkat dua jempol tangannya sambil tersenyum.
“Terima kasih.”
Usai menikmati brownies bersama Patty pamit kembali bekerja. Meskipun berteman dengan anak pemilik kafe Ia tetap harus menjunjung tinggi profesionalitasnya sebagai karyawan.
“Patty emang jagoan kalau buat kue. Jauh dibandingkan kamu.”Sindir Nuril sambil melirik kearah Melita.
Melita hanya diam tidak menyahut. Ia sudah biasa dibanding-bandingkan seperti itu. Lalu kenapa? Semua orang itu punya passion yang berbeda-beda. Meskipun mamannya pengusaha kafe, bukan berarti anaknya harus bisa masak kan?
Ia saja masih heran dengan Ibunya yang sampai detik ini masih tidak bisa membuat kue seenak buatan Patty. Jujur selama kafe ini berdiri Ibunya hanya bergantung pada seorang chef. Melita bisa memastikan suatu saat nanti ketika Chef di kafe itu berhenti, kafe itu pasti akan tutup. Mereka akan kehilangan pelanggan setia yang sudah akrab dengan makanan dan minuman racikan para chef terbaik kafe itu, ternasuk Patty.
Melita teringat kejadian beberapa tahun lalu.
Kafe itu sempat tutup ketika professional chef di kafe itu mengundurkan diri. Dulunya kafe itu berbentuk restoran. Hanya menjual makanan berat saja. Maka berbulan-bulan ibunya dilanda kegalauan luar biasa. Tidak ada yang bisa memasak makanan sebaik masakan chefnya itu.
Melita yang waktu itu duduk dibangku SMU kelas tiga mengusulkan ide. Restoran itu harus diubah konsepnya menjadi kafe. Jualannya makanan ringan dan aneka minuman ringan. Memang tidak mudah untuk meyakinkan Ibunya. Merubah restoran yang sudah tutup menjadi kafe? Apa bisa? Ibunya pesimis.
Beruntung ada Patty. Kehebatan dan kreatifitasnya dalam meracik makanan sangat meyakinkan Ibunya Melita. Konsep dirubah total menjadi modern kafe. Targetnya anak sekolahan dan anak kuliahan. Tak disangka, kebanyakan pengunjung merupakan para pekerja, karyawan dan eksekutif muda. Setiap jam makan siang, kafe itu penuh. Dari situlah kemudian Ibunya kembali memasukan menu makanan yang pernah dijual di restoran dulu tapi tentunya telah mengalami perubahan karena kreatifitas Patty.
Melita tersenyum tipis kearah Nuril yang masih menikmati secangkir capucino hangatnya. Melita memang tidak perlu menceritakan semua hal pada sahabatnya itu. Termasuk ide cemerlangnya yang mengubah konsep restoran menjadi kafe. Juga pertemuan Patty dan Ibunya yang semua telah direncanakannya.
Memang kenyataannya Patty lebih baik dalam urusan masak memasak jika dibandingkan dengannya. Ia akui itu. Patty juga merupakan asset penting kafe itu. Tapi, dibalik itu semua, Melita adalah pencetus ide itu. Cemerlang.
Seperti ponsel yang berkembang sekarang. Tentunya jika graham bell tidak menemukan alat komunikasi berupa telepon, maka sampai sekarang kita tidak mengenal alat kecil yang bisa dibawa kemana-mana untuk berkomunikasi tanpa bertatap muka itu.
“Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu?”
“Terserah aku dong. Lah, ini kan wajahku, ini bibirku, jadi terserah aku”Sahut Melita sambil menyentuh pipinya kemudian menggerakan telunjuknya ke bibirnya yang mungil.
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
Malam semakin larut. Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan. Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya ke
“Hujan lagi”gerutu Nicky. Langit diluar tampak sangat gelap. Tak bersahabat. Ia menyembunyikan bintang dan rembulan. Hanya jutaan panah air yang setia menemaninya. Nicky menarik kain jendela, menutupnya. Lalu melangkah mendekati Azka yang duduk membelakanginya. “Kamu sudah makan Az?”
Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang. Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh. Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
“Aku nggak mungkin pergi meninggalkan keluargaku” “…” “Dengarkan aku Azka. Kita nggak perlu lari dari masalah ini, kita berdua harus menghadapinya. Kita berdua, aku dan kamu” Nicky benar. Mereka tidak perlu lari dari kenyataan. Mereka harus mencoba untuk tidak peduli pad
Rumah itu tampak mencekam. Suasananya menakutkan. Ada hawa mistis terpancar dari tiap sudut di rumah itu. Azka menunduk pasrah diruang keluarga. Matanya berkaca-kaca. Tidak pernah Ia melihat ayah semarah ini padanya. Mengaum tidak jelas. Suaranya kasar dan tidak ramah seperti biasanya. “Aku minta maaf Pah. Aku mohon, maafkan aku pah” “Apa yang terjadi denganmu Azka? APA ADA YANG SALAH DALAM CARA MENDIDIKKU? KENAPA KAMU MELAKUKAN SEMUA INI?”Suara Rando kembali meninggi. Menegan
Satu minggu berlalu dan Nicky tidak memberi kabar sama sekali. Jelas Azka panik dan cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada lelaki terindah kedua dalam hidupnya. Bagaimanapun, Nicky adalah cinta sucinya. Tempat ia mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang. Satu minggu di Australia Ia tidak mendapatkan kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Entah masih marah atau ingin menjauh atau bisa saja gabungan dari keduanya. Marah dan ingin menjauh. Azka sudah mencoba untuk menghubunginya tapi tidak berhasil.
“Hujan lagi”gerutu Nicky. Langit diluar tampak sangat gelap. Tak bersahabat. Ia menyembunyikan bintang dan rembulan. Hanya jutaan panah air yang setia menemaninya. Nicky menarik kain jendela, menutupnya. Lalu melangkah mendekati Azka yang duduk membelakanginya. “Kamu sudah makan Az?”
Malam semakin larut. Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan. Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya ke
Hujan. Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian. Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan
“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita. “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat. Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.
Driazka Hendrianto. Pemuda itu berdiri didepan cermin. Memandangi tiap lekuk tubuhnya yang hanya dibalut handuk. Air masih menetes dari rambutnya. Tidak ada yang kurang. Wajah yang tampan, kulit putih bersih, mulus tanpa noda sedikitpun. Tubuhnya atletis. Tangguh bak penantang badai. Siapa yang tidak akan tergila-gila pada pesona ketampanannya? Jikapun Ia hanya orang biasa pasti banyak gadis yang akan tergila-gila. Berlutut untuk meminta dijadikan kekasih meski hanya semalam. Namun segalanya lebih da
November selalu diawali dengan rintik hujan. Pelan namun pasti. Menyerbu bumi bagaikan jutaan anak panah. Tanpa ampun. Tak ada jeda bahkan sedetikpun. Entah siapa yang lebih dulu mempopulerkan, tapi nyatanya istilah NovemberRain kini sangatlah tenar. Mulai dari status di Facebook, twitter hingga dijadikan pesan pribadi di Messenger. Lebih dari satu orang yang menggunakannya. Hujan masih setia menemani senja. Tak ada jeda. Seperti jemari lentik Melita yang tiada jeda menari-nari diatas keyboard laptopnya. Tak peduli sekian jam ia dalam posisi begitu. Duduk bersila sambil bersandar pada tempok dibelakangnya. Tak peduli pada saran mama yang memintanya untuk berhenti mengetik minima