Share

4. Hinaan yang Terus Menerus

Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya.

"Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."

Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."

Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya.

"Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidikan, lebih segalanya! Buanglah kebodohanmu ini sebelum terlambat!"

Kata-kata itu bergaung di kepalanya, menambah berat langkah-langkahnya menuju kamar tidur. Nadia duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tersembunyi di antara kedua telapak tangannya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya mengalir deras.

Tak lama, Raka masuk ke kamar, melihat istrinya yang sedang menunduk dalam keputusasaan. Hatinya ikut tersayat melihat Nadia seperti itu. Perlahan ia mendekat, duduk di sampingnya, dan meraih tangan Nadia.

"Nad," suaranya lembut tapi penuh ketegasan. "Apa yang terjadi? Tolong ceritakan padaku."

Nadia terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Ia menatap Raka, mencari kehangatan yang selalu ia temukan dalam sorot matanya.

"Mas, ibu... ibu bilang hal-hal yang tidak menyenangkan tentang kita," Nadia berkata lirih, suaranya bergetar. "Tentangmu."

Raka menarik napas dalam-dalam, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mendadak menghantam hatinya. Tapi, dia tetap tenang, menggenggam tangan Nadia lebih erat. "Apa yang dikatakan ibu?"

"Ibu bilang..." Nadia terdiam, matanya menatap lantai. "Ibu bilang bahwa Mas hanya akan menjadi beban untukku. Bahwa aku bisa menikah dengan pria yang lebih baik, lebih kaya..."

Sebuah jeda. Hening yang menegangkan.

Raka tak menjawab seketika. Dia menatap Nadia dengan mata yang begitu dalam, seolah mencari jawaban di lubuk hatinya yang terdalam. Ia tahu bahwa ucapan-ucapan seperti itu sering terlontar dari mulut keluarga Nadia. Tapi mendengarnya langsung dari Nadia sendiri, itu seperti menerima pukulan keras tepat di dada.

"Aku hanya ingin kita bahagia, Mas," lanjut Nadia, kali ini tanpa henti. "Aku tak peduli dengan uang atau harta, aku hanya ingin bersamamu. Tapi kata-kata ibu... mereka menyakiti hatiku."

Raka tersenyum kecil, senyum yang lebih menyerupai sebuah upaya untuk menenangkan perasaan Nadia daripada cerminan dari apa yang ia rasakan. "Nad, aku tahu aku bukan yang terbaik di mata keluargamu. Tapi aku janji, aku akan melakukan segalanya untuk membuatmu bahagia. Mereka mungkin tidak akan pernah mengerti kenapa kamu memilihku, tapi yang penting adalah apa yang kita rasakan satu sama lain."

Nadia menatap mata Raka yang penuh keteguhan, dan untuk sejenak ia merasa lebih kuat. Tetapi di sudut pikirannya, ada sebuah kekhawatiran yang semakin lama semakin sulit ia abaikan. Dari mana Raka bisa begitu yakin? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui?

"Mas... Aku tahu kamu bekerja keras untuk kita," Nadia berkata dengan suara yang lebih tenang. "Tapi aku mulai merasa... ada sesuatu yang berbeda. Kamu jarang di rumah akhir-akhir ini, dan... aku melihatmu berbicara dengan orang-orang yang aku tak kenal."

Raka terdiam. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan melintas di matanya sejenak, sebelum ia mengalihkan pandangan dan tersenyum kecil. "Mereka hanya rekan kerja, Nad. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Nadia mengangguk, tapi hatinya masih belum tenang. Ada perasaan aneh yang menyelinap di sudut hatinya, seolah ada rahasia besar yang disembunyikan Raka darinya.

"Mas, aku percaya padamu," katanya, meskipun ia sendiri meragukan ucapannya. "Tapi tolong, jangan sembunyikan apapun dariku."

Raka hanya tersenyum, kali ini tanpa kata. Ia meraih Nadia dalam pelukan hangat, seolah berusaha menutupi semua kekhawatiran dengan kehangatan tubuhnya. Namun, di balik pelukan itu, Raka tahu bahwa rahasia yang selama ini ia simpan semakin sulit untuk disembunyikan.

Di tengah malam itu, ketika Nadia sudah terlelap, Raka bangkit dari tempat tidur. Ia keluar dari kamar, berhati-hati agar tidak membangunkan istrinya. Dengan langkah pelan, ia menuju balkon apartemen mereka, menatap langit malam yang berhiaskan bintang.

Dari balik sakunya, Raka mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Wajahnya yang biasanya lembut dan penuh kasih kini berubah serius, menampilkan sisi lain yang tak pernah dilihat Nadia.

"Semua sudah diatur," kata Raka dengan suara rendah, hampir seperti berbisik. "Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Aku tidak ingin ada yang mengetahui jati diriku yang sebenarnya... terutama Nadia."

Setelah panggilan itu selesai, Raka menatap langit lagi, matanya berkilat penuh tekad. Di dalam apartemen, Nadia tertidur lelap, tidak tahu bahwa kehidupan yang ia pikir telah ia ketahui mulai terbuka ke arah yang tak terduga.

To Be Continued....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status