Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya.
"Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."
Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."
Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya.
"Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidikan, lebih segalanya! Buanglah kebodohanmu ini sebelum terlambat!"
Kata-kata itu bergaung di kepalanya, menambah berat langkah-langkahnya menuju kamar tidur. Nadia duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tersembunyi di antara kedua telapak tangannya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya mengalir deras.
Tak lama, Raka masuk ke kamar, melihat istrinya yang sedang menunduk dalam keputusasaan. Hatinya ikut tersayat melihat Nadia seperti itu. Perlahan ia mendekat, duduk di sampingnya, dan meraih tangan Nadia.
"Nad," suaranya lembut tapi penuh ketegasan. "Apa yang terjadi? Tolong ceritakan padaku."
Nadia terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Ia menatap Raka, mencari kehangatan yang selalu ia temukan dalam sorot matanya.
"Mas, ibu... ibu bilang hal-hal yang tidak menyenangkan tentang kita," Nadia berkata lirih, suaranya bergetar. "Tentangmu."
Raka menarik napas dalam-dalam, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mendadak menghantam hatinya. Tapi, dia tetap tenang, menggenggam tangan Nadia lebih erat. "Apa yang dikatakan ibu?"
"Ibu bilang..." Nadia terdiam, matanya menatap lantai. "Ibu bilang bahwa Mas hanya akan menjadi beban untukku. Bahwa aku bisa menikah dengan pria yang lebih baik, lebih kaya..."
Sebuah jeda. Hening yang menegangkan.
Raka tak menjawab seketika. Dia menatap Nadia dengan mata yang begitu dalam, seolah mencari jawaban di lubuk hatinya yang terdalam. Ia tahu bahwa ucapan-ucapan seperti itu sering terlontar dari mulut keluarga Nadia. Tapi mendengarnya langsung dari Nadia sendiri, itu seperti menerima pukulan keras tepat di dada.
"Aku hanya ingin kita bahagia, Mas," lanjut Nadia, kali ini tanpa henti. "Aku tak peduli dengan uang atau harta, aku hanya ingin bersamamu. Tapi kata-kata ibu... mereka menyakiti hatiku."
Raka tersenyum kecil, senyum yang lebih menyerupai sebuah upaya untuk menenangkan perasaan Nadia daripada cerminan dari apa yang ia rasakan. "Nad, aku tahu aku bukan yang terbaik di mata keluargamu. Tapi aku janji, aku akan melakukan segalanya untuk membuatmu bahagia. Mereka mungkin tidak akan pernah mengerti kenapa kamu memilihku, tapi yang penting adalah apa yang kita rasakan satu sama lain."
Nadia menatap mata Raka yang penuh keteguhan, dan untuk sejenak ia merasa lebih kuat. Tetapi di sudut pikirannya, ada sebuah kekhawatiran yang semakin lama semakin sulit ia abaikan. Dari mana Raka bisa begitu yakin? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui?
"Mas... Aku tahu kamu bekerja keras untuk kita," Nadia berkata dengan suara yang lebih tenang. "Tapi aku mulai merasa... ada sesuatu yang berbeda. Kamu jarang di rumah akhir-akhir ini, dan... aku melihatmu berbicara dengan orang-orang yang aku tak kenal."
Raka terdiam. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan melintas di matanya sejenak, sebelum ia mengalihkan pandangan dan tersenyum kecil. "Mereka hanya rekan kerja, Nad. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Nadia mengangguk, tapi hatinya masih belum tenang. Ada perasaan aneh yang menyelinap di sudut hatinya, seolah ada rahasia besar yang disembunyikan Raka darinya.
"Mas, aku percaya padamu," katanya, meskipun ia sendiri meragukan ucapannya. "Tapi tolong, jangan sembunyikan apapun dariku."
Raka hanya tersenyum, kali ini tanpa kata. Ia meraih Nadia dalam pelukan hangat, seolah berusaha menutupi semua kekhawatiran dengan kehangatan tubuhnya. Namun, di balik pelukan itu, Raka tahu bahwa rahasia yang selama ini ia simpan semakin sulit untuk disembunyikan.
Di tengah malam itu, ketika Nadia sudah terlelap, Raka bangkit dari tempat tidur. Ia keluar dari kamar, berhati-hati agar tidak membangunkan istrinya. Dengan langkah pelan, ia menuju balkon apartemen mereka, menatap langit malam yang berhiaskan bintang.
Dari balik sakunya, Raka mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Wajahnya yang biasanya lembut dan penuh kasih kini berubah serius, menampilkan sisi lain yang tak pernah dilihat Nadia.
"Semua sudah diatur," kata Raka dengan suara rendah, hampir seperti berbisik. "Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Aku tidak ingin ada yang mengetahui jati diriku yang sebenarnya... terutama Nadia."
Setelah panggilan itu selesai, Raka menatap langit lagi, matanya berkilat penuh tekad. Di dalam apartemen, Nadia tertidur lelap, tidak tahu bahwa kehidupan yang ia pikir telah ia ketahui mulai terbuka ke arah yang tak terduga.
To Be Continued....
Nadia duduk di belakang Raka, memeluk erat pinggang suaminya yang mengenakan jaket usang. Motor tua mereka bergemuruh sepanjang jalan menuju rumah keluarganya. Angin malam yang dingin menusuk kulit, tapi yang lebih membuat Nadia khawatir adalah pertemuan yang menanti mereka. Bayangan wajah ibunya, Bu Retno, dengan tatapan tajam dan penuh penilaian, tak bisa lepas dari benaknya.Saat mereka tiba di rumah besar keluarganya, suasana langsung berubah tegang. Seperti yang sudah diduga, kehadiran mereka tak disambut hangat. Pintu besar yang terbuka memperlihatkan interior rumah yang mewah, namun tidak ada kehangatan yang terasa. Tatapan dingin dari keluarga yang sudah berkumpul di ruang tamu langsung menyelimuti mereka berdua. Nadia bisa merasakan tekanan yang menghimpitnya, membuat langkah kakinya terasa berat."Ah, Nadia dan Raka sudah datang," suara Bu Retno terdengar tanpa emosi, meskipun senyum tipis terpampang di wajahnya. Nadia tahu betul, senyum itu penuh dengan kepura-puraan.Merek
Nadia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus malam yang hening. Raka belum pulang. Sudah larut, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara kesunyian. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap ada pesan atau telepon darinya, tetapi layar tetap bisu. Raka yang ia kenal adalah pria yang selalu memberitahunya setiap kali ada urusan mendadak. Tetapi, sejak Nadia membuka diri tentang tekanan yang ia hadapi dari keluarganya, segalanya berubah.Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Nadia dengan hati-hati memilih kata-katanya saat berbicara dengan Raka, namun air matanya tak bisa ditahan ketika menceritakan betapa ibu dan saudara-saudaranya tak henti-henti merendahkannya. Raka hanya mendengarkan tanpa menyela, matanya tajam namun bibirnya tertutup rapat. Setelah Nadia menyelesaikan ceritanya, Raka menarik napas panjang, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Terima kasih sudah memberitahu aku, Nad. Aku janji, aku akan selalu ada di sisimu,”
Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s
Nadia menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, sambil memeluk dirinya sendiri di balkon kamar. Angin dingin membelai wajahnya, seolah ikut merasakan keresahan yang bergejolak di dalam hatinya. Malam ini terasa lebih sunyi, seperti menanti sesuatu yang tak terduga. Raka, suaminya, belum juga pulang, dan Nadia semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan cemas dan bingung terus menghantui benaknya, mengingat perubahan Raka akhir-akhir ini.Suara pintu yang terbuka perlahan memecah keheningan. Nadia menoleh dan melihat Raka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan yang mencolok dalam tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Nadia, memandang langit yang sama. Keheningan yang menggantung di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan."Raka," Nadia akhirnya membuka percakapan, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Raka menarik napas dalam, mengumpulkan keberan
Nadia duduk di tepi ranjang, memandangi apartemen sederhana yang menjadi rumahnya bersama Raka. Sinar matahari sore masuk melalui celah tirai, menyoroti setiap sudut ruangan yang meski kecil, terasa hangat dan penuh cinta. Namun, di balik hangatnya cahaya itu, Nadia merasakan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sejak percakapan mereka yang terakhir, banyak hal berubah. Raka menjadi lebih sering menghilang tanpa penjelasan, dan Nadia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.Pikirannya berkelana pada percakapan yang baru saja terjadi di rumah orang tuanya."Masih belum terlambat, Nak," ucap Pak Surya dengan nada dingin. "Kamu bisa kembali ke rumah, kita bisa bicarakan soal perceraian ini dengan baik-baik. Ayah dan Ibumu tidak ingin melihatmu hidup susah."Nadia menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak butuh kehidupan yang mewah, Ayah. Aku hanya ingin bersama Raka, kita sudah memulai semuanya dari awal, dan aku percaya dia. Kenapa kalian
Pagi itu, di apartemen sederhana yang telah menjadi tempat tinggal Nadia dan Raka selama dua tahun pernikahan mereka, suasana begitu tenang. Hanya terdengar suara lembut panci yang beradu dengan spatula saat Nadia menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng menguar memenuhi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah udara pagi yang masih dingin. Nadia, dengan gerakan yang luwes, memasak sambil sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit.Di ruang depan, Raka sedang mengenakan dasi, menatap cermin kecil yang tergantung di dekat pintu masuk. Ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, mencoba terlihat rapi untuk hari kerja yang baru. “Apakah kamu sudah siap untuk hari ini?” tanya Nadia sambil membawa sepiring nasi goreng ke meja makan kecil mereka.Raka menoleh, tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Selalu siap, sayang. Terima kasih untuk sarapannya.” Ia menghampiri meja, mencium kening Nadia dengan penuh kasih, dan duduk di kursi yang selalu menjad