Nadia menatap jendela kecil apartemen mereka, memperhatikan tetesan hujan yang menari di atas kaca. Suara hujan yang berirama seolah menjadi latar musik dalam kehidupannya yang baru, bersama Raka. Meski apartemen mereka sederhana, tempat itu terasa seperti surga baginya. Di sinilah ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan status sosial yang kerap mengikat langkahnya.
“Nadia, mau teh hangat?” Raka memanggilnya dari dapur kecil mereka, suaranya penuh kehangatan yang selalu berhasil menenangkan hati Nadia.
“Boleh, Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum. Ia berjalan menuju dapur, tempat Raka sedang sibuk menyiapkan dua cangkir teh. Setiap gerakan Raka begitu tenang dan penuh perhatian, seolah ia selalu memastikan bahwa Nadia merasa dicintai dan diperhatikan.
“Mas, terima kasih ya, untuk semuanya.” Nadia mengambil cangkir teh yang disodorkan Raka. Pandangannya bertemu dengan mata suaminya, mata yang selalu memancarkan ketulusan yang tak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu.
“Apa pun untuk kamu, Na,” jawab Raka dengan senyum lembutnya. Mereka duduk bersebelahan di sofa kecil, menikmati teh hangat sambil mendengarkan hujan yang masih turun di luar. Dalam kesederhanaan ini, Nadia merasakan kebahagiaan yang begitu murni, seakan-akan dunia di luar sana tidak ada artinya lagi.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama ketika bunyi ketukan pintu mengusik keheningan mereka. Nadia merasakan firasat tidak enak. Dan benar saja, ketika pintu terbuka, wajah dingin Bu Retno, ibu Nadia, muncul di baliknya.
“Nadia,” suara Bu Retno terdengar tegas, penuh otoritas yang sudah biasa Nadia dengar sejak kecil. “Aku ingin bicara denganmu.”
Nadia menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyeruak. Raka, yang sudah mengantisipasi situasi ini, segera berdiri dan menyambut Bu Retno dengan senyum sopan.
“Ibu, silakan masuk,” kata Raka dengan nada ramah, meskipun Nadia bisa merasakan ada ketegangan tipis dalam suaranya.
Bu Retno melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling apartemen dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi Nadia tahu persis apa yang sedang dipikirkan ibunya. Dia tahu bahwa Bu Retno sedang menilai segala sesuatu dari perabotan sederhana hingga ruang yang sempit dan pasti merasa bahwa tempat ini tidak layak untuk putrinya.
“Nadia, Ibu ingin bicara empat mata,” kata Bu Retno akhirnya, memotong keheningan yang menggantung di antara mereka.
Nadia melihat ke arah Raka, yang membalasnya dengan anggukan kecil, memberinya kepercayaan diri yang dia butuhkan. Dengan enggan, Nadia mengikuti ibunya ke ruang tamu kecil, meninggalkan Raka di dapur.
“Nadia,” Bu Retno mulai berbicara begitu mereka duduk, suaranya rendah namun penuh tekanan, “kamu tahu ibu tidak pernah setuju dengan pilihanmu menikah dengan Raka. Dan lihatlah sekarang, apa yang sudah kamu capai? Hidup di tempat kecil seperti ini, bersama pria yang tak punya apa-apa.”
Hati Nadia terasa perih mendengar kata-kata ibunya. Dia sudah tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ibunya tetap saja menyakitkan. Nadia berusaha menahan air matanya, tetapi sulit bagi dirinya untuk tidak merasa tersakiti.
“Bu, aku bahagia dengan Raka. Kami tidak membutuhkan banyak untuk merasa bahagia. Cukup dengan saling mencintai dan mendukung, itu sudah lebih dari cukup bagi kami,” jawab Nadia, suaranya sedikit gemetar, tetapi penuh keyakinan.
Bu Retno menggelengkan kepalanya dengan sikap tidak setuju. “Nadia, kebahagiaan itu tidak cukup. Kamu butuh stabilitas, status, dan masa depan yang jelas. Ibu tidak ingin kamu terjebak dalam kehidupan seperti ini, terperangkap dalam kemiskinan hanya karena kamu memutuskan untuk menikah dengan pria yang tidak bisa memberikan apa-apa untukmu.”
Nadia mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba menahan kemarahan yang mulai mendidih di dalam dirinya. Dia tahu bahwa ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi kata-kata itu terasa seperti serangan terhadap pilihan dan kehidupannya bersama Raka.
“Kami sedang membangun kehidupan kami, Bu. Kami punya rencana, dan Raka bekerja keras untuk itu. Hanya butuh waktu, dan aku yakin kami bisa melalui semuanya bersama-sama,” kata Nadia, mencoba mempertahankan ketenangannya.
Bu Retno mendesah berat, seolah-olah kata-kata Nadia tidak masuk akal baginya. “Nadia, dengarkan Ibu. Kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Ibu bisa mengenalkan kamu dengan seorang pria yang jauh lebih baik, yang bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu. Kamu tidak perlu menderita seperti ini.”
Kata-kata ibunya itu adalah pukulan terakhir. Nadia merasa hatinya pecah, tetapi dia menolak untuk menyerah. Dia tahu bahwa jika dia mengikuti keinginan ibunya, dia akan kehilangan segalanya cinta yang telah dia bangun bersama Raka, dan kebahagiaan sederhana yang mereka ciptakan bersama.
“Maaf, Bu, tapi aku tidak akan meninggalkan Raka. Aku memilihnya karena cinta, dan aku akan bertahan bersamanya apapun yang terjadi,” kata Nadia dengan tegas.
Bu Retno hanya menatap Nadia dengan pandangan kecewa, sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. “Baiklah, kalau itu keputusanmu, tapi jangan salahkan Ibu kalau semuanya berakhir buruk. Ibu sudah memperingatkanmu, Nadia.”
Setelah berkata demikian, Bu Retno pergi meninggalkan apartemen, meninggalkan Nadia yang duduk terpaku dengan perasaan campur aduk. Setelah kepergian ibunya, Nadia menatap pintu yang tertutup, merasakan beban berat di dadanya.
Raka, yang diam-diam mendengar percakapan tersebut, berjalan mendekati Nadia dan merangkulnya. “Maaf, Na, aku tidak bisa melakukan lebih banyak untuk membuat ibu percaya padaku,” katanya lirih.
Nadia menatap Raka dengan mata berkaca-kaca. “Bukan salahmu, Mas. Kita hanya perlu terus berjalan bersama, dan suatu hari nanti mereka akan melihat betapa kuatnya cinta kita.”
Raka mengangguk, kemudian mengecup kening Nadia dengan lembut. “Kita akan melalui ini bersama, Na. Aku janji.”
Dalam pelukan Raka, Nadia merasa sedikit lebih tenang. Namun, di lubuk hatinya, dia tidak bisa mengabaikan rasa khawatir yang terus menghantui. Konflik dengan keluarganya mungkin baru saja dimulai, dan dia tahu, ujian terbesar dalam pernikahan mereka mungkin masih menunggu di depan. Tapi dengan Raka di sisinya, Nadia yakin mereka bisa menghadapi apapun bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke dalam rahasia yang mungkin selama ini disembunyikan Raka darinya.
To Be Continued....
Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya."Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya."Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidi
Nadia duduk di belakang Raka, memeluk erat pinggang suaminya yang mengenakan jaket usang. Motor tua mereka bergemuruh sepanjang jalan menuju rumah keluarganya. Angin malam yang dingin menusuk kulit, tapi yang lebih membuat Nadia khawatir adalah pertemuan yang menanti mereka. Bayangan wajah ibunya, Bu Retno, dengan tatapan tajam dan penuh penilaian, tak bisa lepas dari benaknya.Saat mereka tiba di rumah besar keluarganya, suasana langsung berubah tegang. Seperti yang sudah diduga, kehadiran mereka tak disambut hangat. Pintu besar yang terbuka memperlihatkan interior rumah yang mewah, namun tidak ada kehangatan yang terasa. Tatapan dingin dari keluarga yang sudah berkumpul di ruang tamu langsung menyelimuti mereka berdua. Nadia bisa merasakan tekanan yang menghimpitnya, membuat langkah kakinya terasa berat."Ah, Nadia dan Raka sudah datang," suara Bu Retno terdengar tanpa emosi, meskipun senyum tipis terpampang di wajahnya. Nadia tahu betul, senyum itu penuh dengan kepura-puraan.Merek
Nadia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus malam yang hening. Raka belum pulang. Sudah larut, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara kesunyian. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap ada pesan atau telepon darinya, tetapi layar tetap bisu. Raka yang ia kenal adalah pria yang selalu memberitahunya setiap kali ada urusan mendadak. Tetapi, sejak Nadia membuka diri tentang tekanan yang ia hadapi dari keluarganya, segalanya berubah.Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Nadia dengan hati-hati memilih kata-katanya saat berbicara dengan Raka, namun air matanya tak bisa ditahan ketika menceritakan betapa ibu dan saudara-saudaranya tak henti-henti merendahkannya. Raka hanya mendengarkan tanpa menyela, matanya tajam namun bibirnya tertutup rapat. Setelah Nadia menyelesaikan ceritanya, Raka menarik napas panjang, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Terima kasih sudah memberitahu aku, Nad. Aku janji, aku akan selalu ada di sisimu,”
Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s
Nadia menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, sambil memeluk dirinya sendiri di balkon kamar. Angin dingin membelai wajahnya, seolah ikut merasakan keresahan yang bergejolak di dalam hatinya. Malam ini terasa lebih sunyi, seperti menanti sesuatu yang tak terduga. Raka, suaminya, belum juga pulang, dan Nadia semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan cemas dan bingung terus menghantui benaknya, mengingat perubahan Raka akhir-akhir ini.Suara pintu yang terbuka perlahan memecah keheningan. Nadia menoleh dan melihat Raka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan yang mencolok dalam tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Nadia, memandang langit yang sama. Keheningan yang menggantung di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan."Raka," Nadia akhirnya membuka percakapan, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Raka menarik napas dalam, mengumpulkan keberan
Nadia duduk di tepi ranjang, memandangi apartemen sederhana yang menjadi rumahnya bersama Raka. Sinar matahari sore masuk melalui celah tirai, menyoroti setiap sudut ruangan yang meski kecil, terasa hangat dan penuh cinta. Namun, di balik hangatnya cahaya itu, Nadia merasakan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sejak percakapan mereka yang terakhir, banyak hal berubah. Raka menjadi lebih sering menghilang tanpa penjelasan, dan Nadia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.Pikirannya berkelana pada percakapan yang baru saja terjadi di rumah orang tuanya."Masih belum terlambat, Nak," ucap Pak Surya dengan nada dingin. "Kamu bisa kembali ke rumah, kita bisa bicarakan soal perceraian ini dengan baik-baik. Ayah dan Ibumu tidak ingin melihatmu hidup susah."Nadia menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak butuh kehidupan yang mewah, Ayah. Aku hanya ingin bersama Raka, kita sudah memulai semuanya dari awal, dan aku percaya dia. Kenapa kalian