Nadia duduk di belakang Raka, memeluk erat pinggang suaminya yang mengenakan jaket usang. Motor tua mereka bergemuruh sepanjang jalan menuju rumah keluarganya. Angin malam yang dingin menusuk kulit, tapi yang lebih membuat Nadia khawatir adalah pertemuan yang menanti mereka. Bayangan wajah ibunya, Bu Retno, dengan tatapan tajam dan penuh penilaian, tak bisa lepas dari benaknya.
Saat mereka tiba di rumah besar keluarganya, suasana langsung berubah tegang. Seperti yang sudah diduga, kehadiran mereka tak disambut hangat. Pintu besar yang terbuka memperlihatkan interior rumah yang mewah, namun tidak ada kehangatan yang terasa. Tatapan dingin dari keluarga yang sudah berkumpul di ruang tamu langsung menyelimuti mereka berdua. Nadia bisa merasakan tekanan yang menghimpitnya, membuat langkah kakinya terasa berat.
"Ah, Nadia dan Raka sudah datang," suara Bu Retno terdengar tanpa emosi, meskipun senyum tipis terpampang di wajahnya. Nadia tahu betul, senyum itu penuh dengan kepura-puraan.
Mereka berjalan menuju meja makan yang panjang dan penuh dengan hidangan lezat. Raka menarikkan kursi untuk Nadia, dan dia duduk di samping suaminya dengan hati-hati. Tatapan mata saudara-saudaranya, terutama Arman, membuat Nadia merasa tak nyaman. Malam itu, pertemuan keluarga yang seharusnya hangat berubah menjadi pertempuran batin bagi Nadia.
Percakapan awal berlangsung tenang, meski dipenuhi dengan ejekan tersirat. Raka, dengan ketenangan dan kesederhanaannya, menjawab setiap pertanyaan dengan sopan. Namun, Nadia tahu, di balik senyumnya yang lembut, suaminya merasakan hinaan yang disembunyikan di balik setiap kata.
"Jadi, Raka," Arman memulai dengan nada yang terdengar akrab namun menusuk, "Bagaimana rencanamu ke depan? Maksudku, dengan keadaanmu sekarang, tentu kau punya rencana untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Nadia, bukan?"
Raka tetap tenang, tersenyum sambil mengangguk. "Tentu saja, Arman. Aku selalu berusaha yang terbaik untuk Nadia."
Namun, Arman tidak berhenti di situ. "Hanya saja, aku tidak yakin pekerjaanmu sekarang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukankah begitu, Nadia?"
Nadia menahan napasnya. Hinaan yang begitu terang-terangan di depan seluruh keluarga ini memicu amarah yang sejak tadi dia tahan. Dia menatap Raka, yang masih mencoba tersenyum, meskipun dia tahu suaminya pasti merasa tersinggung.
"Arman, cukup!" Suara Nadia terdengar gemetar, tapi kali ini dia tidak bisa lagi menahan perasaannya. "Raka mungkin tidak memiliki kekayaan seperti yang kau miliki, tapi dia suamiku. Dia pria yang baik, yang selalu berusaha keras untuk kami."
Ruangan itu langsung hening. Semua mata tertuju pada Nadia, termasuk Bu Retno, yang tampak tak percaya melihat putrinya berani melawan.
"Nadia," suara Bu Retno terdengar dingin, "Kita hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami tahu, kau pantas mendapatkan lebih."
"Lebih? Apa maksud Ibu dengan lebih?" Nadia berdiri, suaranya semakin keras. "Hidup bukan hanya tentang uang dan harta. Aku menikahi Raka karena aku mencintainya, dan itu lebih berharga daripada apapun yang bisa kalian tawarkan."
Kemarahan di wajah Arman semakin nyata. "Nadia, kau naif jika berpikir cinta saja cukup untuk hidup. Lihatlah kenyataannya. Raka tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu. Kau pantas mendapatkan lebih dari ini!"
Nadia merasa hatinya semakin sakit. Dia menatap Raka, yang hanya diam mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan kepadanya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan dalam mata Raka yang belum pernah Nadia lihat sebelumnya. Seolah-olah suaminya sudah siap untuk menghadapi semua ini.
"Saya mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang mewah," kata Raka akhirnya, suaranya tenang namun tegas. "Tapi saya berjanji akan selalu berusaha untuk membahagiakan Nadia. Mungkin saya tidak memiliki banyak uang, tapi saya punya cinta dan kesetiaan yang tidak bisa diukur dengan materi."
Nadia terdiam, merasakan kehangatan yang mengalir dalam hatinya mendengar kata-kata suaminya. Namun, di saat yang sama, dia merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri Raka. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Baiklah, jika itu yang kau yakini," Bu Retno berkata dingin, menutup percakapan dengan nada yang jelas menunjukkan ketidaksetujuannya. Namun, Nadia tahu bahwa malam itu hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
Malam itu mereka meninggalkan rumah keluarga Nadia dengan motor butut mereka, namun di hati Nadia, ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa cinta. Ada misteri yang mulai muncul, pertanyaan yang menggantung di benaknya. Siapa sebenarnya Raka? Kenapa dia tidak marah atau tersinggung dengan hinaan itu? Dan dari mana asal perubahan yang tiba-tiba ini?
Nadia menatap langit malam yang gelap, menyadari bahwa perjalanannya dengan Raka baru saja memasuki babak baru yang penuh dengan misteri dan ketegangan. Mungkin malam ini adalah awal dari pengungkapan yang akan mengubah segalanya.
To Be Continued....
Nadia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus malam yang hening. Raka belum pulang. Sudah larut, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara kesunyian. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap ada pesan atau telepon darinya, tetapi layar tetap bisu. Raka yang ia kenal adalah pria yang selalu memberitahunya setiap kali ada urusan mendadak. Tetapi, sejak Nadia membuka diri tentang tekanan yang ia hadapi dari keluarganya, segalanya berubah.Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Nadia dengan hati-hati memilih kata-katanya saat berbicara dengan Raka, namun air matanya tak bisa ditahan ketika menceritakan betapa ibu dan saudara-saudaranya tak henti-henti merendahkannya. Raka hanya mendengarkan tanpa menyela, matanya tajam namun bibirnya tertutup rapat. Setelah Nadia menyelesaikan ceritanya, Raka menarik napas panjang, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Terima kasih sudah memberitahu aku, Nad. Aku janji, aku akan selalu ada di sisimu,”
Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s
Nadia menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, sambil memeluk dirinya sendiri di balkon kamar. Angin dingin membelai wajahnya, seolah ikut merasakan keresahan yang bergejolak di dalam hatinya. Malam ini terasa lebih sunyi, seperti menanti sesuatu yang tak terduga. Raka, suaminya, belum juga pulang, dan Nadia semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan cemas dan bingung terus menghantui benaknya, mengingat perubahan Raka akhir-akhir ini.Suara pintu yang terbuka perlahan memecah keheningan. Nadia menoleh dan melihat Raka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan yang mencolok dalam tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Nadia, memandang langit yang sama. Keheningan yang menggantung di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan."Raka," Nadia akhirnya membuka percakapan, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Raka menarik napas dalam, mengumpulkan keberan
Nadia duduk di tepi ranjang, memandangi apartemen sederhana yang menjadi rumahnya bersama Raka. Sinar matahari sore masuk melalui celah tirai, menyoroti setiap sudut ruangan yang meski kecil, terasa hangat dan penuh cinta. Namun, di balik hangatnya cahaya itu, Nadia merasakan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sejak percakapan mereka yang terakhir, banyak hal berubah. Raka menjadi lebih sering menghilang tanpa penjelasan, dan Nadia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.Pikirannya berkelana pada percakapan yang baru saja terjadi di rumah orang tuanya."Masih belum terlambat, Nak," ucap Pak Surya dengan nada dingin. "Kamu bisa kembali ke rumah, kita bisa bicarakan soal perceraian ini dengan baik-baik. Ayah dan Ibumu tidak ingin melihatmu hidup susah."Nadia menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak butuh kehidupan yang mewah, Ayah. Aku hanya ingin bersama Raka, kita sudah memulai semuanya dari awal, dan aku percaya dia. Kenapa kalian
Pagi itu, di apartemen sederhana yang telah menjadi tempat tinggal Nadia dan Raka selama dua tahun pernikahan mereka, suasana begitu tenang. Hanya terdengar suara lembut panci yang beradu dengan spatula saat Nadia menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng menguar memenuhi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah udara pagi yang masih dingin. Nadia, dengan gerakan yang luwes, memasak sambil sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit.Di ruang depan, Raka sedang mengenakan dasi, menatap cermin kecil yang tergantung di dekat pintu masuk. Ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, mencoba terlihat rapi untuk hari kerja yang baru. “Apakah kamu sudah siap untuk hari ini?” tanya Nadia sambil membawa sepiring nasi goreng ke meja makan kecil mereka.Raka menoleh, tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Selalu siap, sayang. Terima kasih untuk sarapannya.” Ia menghampiri meja, mencium kening Nadia dengan penuh kasih, dan duduk di kursi yang selalu menjad
Hari itu, cuaca di luar tampak suram, seolah-olah memantulkan suasana hati Nadia yang berat ketika dia melangkah keluar dari rumahnya yang sederhana. Meski hatinya dipenuhi kekhawatiran, Nadia tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk menghadapi pertemuan dengan ibunya, Bu Retno. Sejak menikah dengan Raka, hubungan Nadia dengan keluarganya tidak pernah sama lagi. Tekanan yang dirasakan Nadia dari keluarganya, terutama dari Bu Retno, seakan-akan menjadi beban yang semakin berat untuk dipikul setiap harinya.Saat Nadia memasuki rumah orang tuanya, aroma khas rempah-rempah yang selalu mengingatkannya pada masa kecil segera menyambutnya. Tetapi, nostalgia manis itu dengan cepat memudar ketika dia mendengar langkah-langkah berat ibunya mendekat. Nadia tahu betul apa yang akan terjadi; sindiran-sindiran tajam yang selama ini menjadi kebiasaan ibunya sejak dia menikah dengan Raka."Ah, Nadia, akhirnya kamu datang juga," suara Bu Retno terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. "Aku pikir kam