Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s
Nadia menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, sambil memeluk dirinya sendiri di balkon kamar. Angin dingin membelai wajahnya, seolah ikut merasakan keresahan yang bergejolak di dalam hatinya. Malam ini terasa lebih sunyi, seperti menanti sesuatu yang tak terduga. Raka, suaminya, belum juga pulang, dan Nadia semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan cemas dan bingung terus menghantui benaknya, mengingat perubahan Raka akhir-akhir ini.Suara pintu yang terbuka perlahan memecah keheningan. Nadia menoleh dan melihat Raka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan yang mencolok dalam tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Nadia, memandang langit yang sama. Keheningan yang menggantung di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan."Raka," Nadia akhirnya membuka percakapan, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Raka menarik napas dalam, mengumpulkan keberan
Nadia duduk di tepi ranjang, memandangi apartemen sederhana yang menjadi rumahnya bersama Raka. Sinar matahari sore masuk melalui celah tirai, menyoroti setiap sudut ruangan yang meski kecil, terasa hangat dan penuh cinta. Namun, di balik hangatnya cahaya itu, Nadia merasakan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sejak percakapan mereka yang terakhir, banyak hal berubah. Raka menjadi lebih sering menghilang tanpa penjelasan, dan Nadia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.Pikirannya berkelana pada percakapan yang baru saja terjadi di rumah orang tuanya."Masih belum terlambat, Nak," ucap Pak Surya dengan nada dingin. "Kamu bisa kembali ke rumah, kita bisa bicarakan soal perceraian ini dengan baik-baik. Ayah dan Ibumu tidak ingin melihatmu hidup susah."Nadia menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak butuh kehidupan yang mewah, Ayah. Aku hanya ingin bersama Raka, kita sudah memulai semuanya dari awal, dan aku percaya dia. Kenapa kalian
Pagi itu, di apartemen sederhana yang telah menjadi tempat tinggal Nadia dan Raka selama dua tahun pernikahan mereka, suasana begitu tenang. Hanya terdengar suara lembut panci yang beradu dengan spatula saat Nadia menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng menguar memenuhi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah udara pagi yang masih dingin. Nadia, dengan gerakan yang luwes, memasak sambil sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam lebih sepuluh menit.Di ruang depan, Raka sedang mengenakan dasi, menatap cermin kecil yang tergantung di dekat pintu masuk. Ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan, mencoba terlihat rapi untuk hari kerja yang baru. “Apakah kamu sudah siap untuk hari ini?” tanya Nadia sambil membawa sepiring nasi goreng ke meja makan kecil mereka.Raka menoleh, tersenyum lembut, lalu mengangguk. “Selalu siap, sayang. Terima kasih untuk sarapannya.” Ia menghampiri meja, mencium kening Nadia dengan penuh kasih, dan duduk di kursi yang selalu menjad
Hari itu, cuaca di luar tampak suram, seolah-olah memantulkan suasana hati Nadia yang berat ketika dia melangkah keluar dari rumahnya yang sederhana. Meski hatinya dipenuhi kekhawatiran, Nadia tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk menghadapi pertemuan dengan ibunya, Bu Retno. Sejak menikah dengan Raka, hubungan Nadia dengan keluarganya tidak pernah sama lagi. Tekanan yang dirasakan Nadia dari keluarganya, terutama dari Bu Retno, seakan-akan menjadi beban yang semakin berat untuk dipikul setiap harinya.Saat Nadia memasuki rumah orang tuanya, aroma khas rempah-rempah yang selalu mengingatkannya pada masa kecil segera menyambutnya. Tetapi, nostalgia manis itu dengan cepat memudar ketika dia mendengar langkah-langkah berat ibunya mendekat. Nadia tahu betul apa yang akan terjadi; sindiran-sindiran tajam yang selama ini menjadi kebiasaan ibunya sejak dia menikah dengan Raka."Ah, Nadia, akhirnya kamu datang juga," suara Bu Retno terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. "Aku pikir kam
Nadia berjalan dengan langkah ringan menuju dapur, meski hatinya terasa berat setelah percakapan singkat dengan ibunya. Terselip perasaan lelah menghadapi sikap sinis yang terus-menerus ia terima setiap kali berkunjung. Namun, ia berusaha menenangkan diri. Dapur selalu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa merenung tanpa banyak gangguan.Ketika Nadia masuk ke dapur, aroma teh melati yang harum menyambutnya. Di sana, Mbok Mirah, pembantu rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarga mereka, sedang menyiapkan cangkir-cangkir teh dengan tangan yang terampil. Nadia tersenyum kecil melihat wanita paruh baya itu, yang sudah seperti keluarga sendiri.“Mbak Nadia, mari duduk dulu. Saya buatkan teh,” ucap Mbok Mirah dengan senyum ramah yang tulus.“Terima kasih, Mbok,” balas Nadia sambil mengambil kursi dan duduk di meja dapur. Matanya memperhatikan gerakan tenang Mbok Mirah, yang seperti biasa, penuh kasih sayang dan perhatian. Nadia merasa lega karena ada seseorang ya