Nadia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengamati dirinya sendiri dengan cermat. Gaun putih sederhana dengan potongan halus itu menempel sempurna pada tubuhnya, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan. Meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Nadia mencoba untuk tersenyum. Baginya, hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru—meski bukan tanpa tantangan.
"Ibu akan sangat marah," gumamnya pelan, membiarkan pikirannya melayang pada sosok ibu yang keras dan tegas, yang selama ini memegang kendali atas setiap aspek kehidupannya.
Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," katanya sambil berbalik, memperlihatkan senyum kecil saat adik perempuannya, Alya, menyelinap masuk ke dalam ruangan.
"Nadia, kau sangat cantik!" seru Alya dengan mata berbinar-binar, kagum pada kecantikan kakaknya yang tampak sempurna dalam balutan gaun pengantin sederhana itu.
"Terima kasih, Alya. Aku harap semua akan berjalan lancar," Nadia membalas dengan lembut, meski dalam hatinya bergejolak dengan perasaan campur aduk.
"Apa kau benar-benar yakin, Kak?" tanya Alya dengan nada ragu, matanya menatap Nadia dengan serius. "Maksudku, menikah dengan Raka... Ayah dan Ibu jelas tidak setuju. Mereka bahkan tak mau datang."
Nadia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku yakin, Alya. Aku mencintai Raka, dan aku yakin dia adalah pria yang tepat untukku. Mereka hanya butuh waktu untuk mengerti."
Alya mengangguk pelan, meski wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Aku tahu kau kuat, Kak, tapi... kupikir kau harus siap. Dunia ini tak seindah yang kita bayangkan."
Nadia tersenyum pahit. "Aku tahu, Alya. Tapi aku percaya pada Raka. Dia adalah seseorang yang berbeda. Dia punya hati yang baik, dan itu lebih berharga daripada semua kekayaan yang diinginkan oleh keluarga kita."
Saat itu, suara gemuruh pelan di luar menandakan bahwa para tamu mulai berkumpul. Nadia menarik napas panjang lagi, merasa sedikit cemas. Meski hanya beberapa orang yang hadir, setiap langkah ke altar terasa berat. Dia tahu, hari ini adalah pertaruhan besar dalam hidupnya.
Setelah memastikan bahwa semuanya siap, Nadia keluar dari kamarnya dan mulai melangkah menuju aula kecil tempat upacara pernikahan akan dilangsungkan. Ruangan itu sederhana, hanya dihiasi dengan bunga-bunga putih dan pita emas yang elegan. Beberapa orang dari keluarga Nadia tampak hadir, meskipun wajah mereka menunjukkan ketidaksetujuan yang jelas. Nadia bisa merasakan tatapan dingin mereka, tapi dia berusaha untuk tidak terganggu.
Di ujung ruangan, berdiri Raka. Pria yang telah mencuri hatinya dengan kesederhanaan dan kebaikannya. Raka mengenakan setelan hitam yang rapi, namun tetap sederhana, sama seperti kehidupannya yang tidak pernah menonjolkan kemewahan. Matanya yang tajam namun penuh kelembutan menatap Nadia dengan penuh cinta, seolah memberinya kekuatan untuk terus maju.
Saat Nadia mendekatinya, Raka mengulurkan tangan dan menyambutnya dengan senyum hangat. "Kau terlihat sangat cantik, Nad."
Nadia hanya tersenyum kecil, menatap Raka dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada kebahagiaan, tapi juga kekhawatiran. Mereka tahu, jalan di depan mereka tidak akan mudah.
"Kau yakin tentang ini, Raka?" tanya Nadia pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku tahu kau mencintaiku, tapi keluarga kita... mereka tidak akan membuatnya mudah."
Raka menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca isi hatinya. "Aku tahu, Nadia. Tapi aku mencintaimu. Aku siap menghadapi apa pun, asalkan kita bersama."
Mendengar itu, Nadia merasa sedikit lega. Kata-kata Raka, meskipun sederhana, memberikan keyakinan bahwa mereka bisa melewati semua rintangan ini bersama.
Upacara pernikahan berlangsung dengan khidmat. Meskipun hanya dihadiri segelintir orang, momen itu tetap berharga bagi Nadia dan Raka. Mereka mengucapkan sumpah dengan tulus, berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit.
Ketika ciuman pertama mereka sebagai suami istri selesai, Nadia merasakan sesuatu yang berbeda. Dia merasa seolah-olah telah melangkah ke dunia yang baru, dunia yang penuh dengan misteri dan ketidakpastian, tapi juga penuh dengan cinta yang mendalam.
Setelah upacara selesai, Raka menggenggam tangan Nadia erat-erat, seolah ingin memastikan bahwa dia tidak akan pernah melepaskannya. "Kita akan baik-baik saja, Nad. Aku janji."
Nadia mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. "Aku berharap begitu, Raka. Aku berharap begitu."
Namun, jauh di dalam hatinya, Nadia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Tapi satu hal yang pasti, dia akan menghadapi semuanya bersama dengan Raka, apa pun yang terjadi.
Dengan hati yang penuh tekad dan cinta, mereka melangkah keluar dari aula itu, meninggalkan masa lalu mereka di belakang, dan memasuki masa depan yang penuh dengan misteri dan tantangan yang menanti.
To Be Continued....
Nadia menatap jendela kecil apartemen mereka, memperhatikan tetesan hujan yang menari di atas kaca. Suara hujan yang berirama seolah menjadi latar musik dalam kehidupannya yang baru, bersama Raka. Meski apartemen mereka sederhana, tempat itu terasa seperti surga baginya. Di sinilah ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan status sosial yang kerap mengikat langkahnya.“Nadia, mau teh hangat?” Raka memanggilnya dari dapur kecil mereka, suaranya penuh kehangatan yang selalu berhasil menenangkan hati Nadia.“Boleh, Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum. Ia berjalan menuju dapur, tempat Raka sedang sibuk menyiapkan dua cangkir teh. Setiap gerakan Raka begitu tenang dan penuh perhatian, seolah ia selalu memastikan bahwa Nadia merasa dicintai dan diperhatikan.“Mas, terima kasih ya, untuk semuanya.” Nadia mengambil cangkir teh yang disodorkan Raka. Pandangannya bertemu dengan mata suaminya, mata yang selalu memancarkan ketulusan yang tak pernah berubah sejak pertama kali merek
Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya."Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya."Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidi
Nadia duduk di belakang Raka, memeluk erat pinggang suaminya yang mengenakan jaket usang. Motor tua mereka bergemuruh sepanjang jalan menuju rumah keluarganya. Angin malam yang dingin menusuk kulit, tapi yang lebih membuat Nadia khawatir adalah pertemuan yang menanti mereka. Bayangan wajah ibunya, Bu Retno, dengan tatapan tajam dan penuh penilaian, tak bisa lepas dari benaknya.Saat mereka tiba di rumah besar keluarganya, suasana langsung berubah tegang. Seperti yang sudah diduga, kehadiran mereka tak disambut hangat. Pintu besar yang terbuka memperlihatkan interior rumah yang mewah, namun tidak ada kehangatan yang terasa. Tatapan dingin dari keluarga yang sudah berkumpul di ruang tamu langsung menyelimuti mereka berdua. Nadia bisa merasakan tekanan yang menghimpitnya, membuat langkah kakinya terasa berat."Ah, Nadia dan Raka sudah datang," suara Bu Retno terdengar tanpa emosi, meskipun senyum tipis terpampang di wajahnya. Nadia tahu betul, senyum itu penuh dengan kepura-puraan.Merek
Nadia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus malam yang hening. Raka belum pulang. Sudah larut, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara kesunyian. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap ada pesan atau telepon darinya, tetapi layar tetap bisu. Raka yang ia kenal adalah pria yang selalu memberitahunya setiap kali ada urusan mendadak. Tetapi, sejak Nadia membuka diri tentang tekanan yang ia hadapi dari keluarganya, segalanya berubah.Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Nadia dengan hati-hati memilih kata-katanya saat berbicara dengan Raka, namun air matanya tak bisa ditahan ketika menceritakan betapa ibu dan saudara-saudaranya tak henti-henti merendahkannya. Raka hanya mendengarkan tanpa menyela, matanya tajam namun bibirnya tertutup rapat. Setelah Nadia menyelesaikan ceritanya, Raka menarik napas panjang, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Terima kasih sudah memberitahu aku, Nad. Aku janji, aku akan selalu ada di sisimu,”
Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s
Nadia menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, sambil memeluk dirinya sendiri di balkon kamar. Angin dingin membelai wajahnya, seolah ikut merasakan keresahan yang bergejolak di dalam hatinya. Malam ini terasa lebih sunyi, seperti menanti sesuatu yang tak terduga. Raka, suaminya, belum juga pulang, dan Nadia semakin tenggelam dalam pikirannya. Perasaan cemas dan bingung terus menghantui benaknya, mengingat perubahan Raka akhir-akhir ini.Suara pintu yang terbuka perlahan memecah keheningan. Nadia menoleh dan melihat Raka melangkah masuk, wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan yang mencolok dalam tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping Nadia, memandang langit yang sama. Keheningan yang menggantung di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan."Raka," Nadia akhirnya membuka percakapan, suaranya lembut namun dipenuhi kekhawatiran. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Raka menarik napas dalam, mengumpulkan keberan