Nadia duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya yang terpantul di cermin besar di sudut kamar. Malam ini, ia mengenakan gaun panjang berwarna gading, sederhana namun elegan, yang menonjolkan kecantikannya yang alami. Rambut hitamnya tergerai lepas, hanya sedikit disematkan di bagian belakang dengan jepit kecil berwarna perak. Sorot matanya yang biasanya penuh keyakinan tampak bimbang, mencerminkan gejolak emosi yang ia rasakan.
"Nadia, kamu siap?" Suara ibunya terdengar dari luar kamar, mengetuk pintu dengan lembut. Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sebentar, Bu."
Ia kembali menatap cermin, mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik. "Ini hidupku," gumamnya pelan, seakan berusaha meyakinkan bayangan dirinya sendiri. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tulus dan murni, bukan sekadar transaksi sosial seperti yang selalu diajarkan oleh keluarganya.
Pikirannya kembali melayang ke saat pertama kali bertemu dengan Raka, pria yang kini menjadi suaminya. Pertemuan mereka terjadi di sebuah acara Dies Natalis yang diadakan oleh universitas tempat Nadia kuliah. Nadia, yang saat itu menjadi ketua panitia, sibuk mengatur segala persiapan agar acara berjalan lancar. Sementara itu, Raka hanyalah seorang relawan yang kebetulan ditugaskan untuk membantu Nadia.
"Maaf, bisa bantu saya angkat ini?" suara Raka menyela konsentrasi Nadia yang sedang memeriksa daftar tugas di ponselnya. Ketika Nadia mengangkat wajah, ia melihat seorang pria berpenampilan sederhana, dengan kemeja putih yang terlihat sudah sedikit pudar warnanya, namun rapi. Matanya yang hangat dan senyumnya yang tulus membuat Nadia sejenak terpaku. "Tentu, apa yang bisa saya bantu?" jawab Nadia akhirnya, sedikit tergagap.
Mereka berdua bekerja sama sepanjang hari itu. Meski awalnya hanya saling berbicara untuk urusan pekerjaan, Nadia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Raka. Pria ini tidak seperti orang-orang yang biasa dia temui di lingkaran sosialnya. Raka tampak tulus, tanpa ada sedikitpun sikap berpura-pura atau mencoba untuk menyenangkan hati. Setiap ucapannya sederhana namun penuh makna, membuat Nadia merasa nyaman dan aman.
Saat acara berakhir dan tugas mereka selesai, Raka dan Nadia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus yang mulai sepi. "Terima kasih sudah bantuin hari ini," kata Nadia, mencoba mengisi keheningan di antara mereka.
"Tidak masalah, aku senang bisa membantu," jawab Raka dengan senyuman yang lagi-lagi membuat Nadia merasa hangat. Ada sesuatu dalam tatapan mata Raka yang membuat Nadia merasa dilihat, benar-benar dilihat, bukan sebagai gadis cantik dari keluarga terpandang, tetapi sebagai dirinya sendiri.
Mereka terus berjalan dalam diam, namun bukan keheningan yang canggung. Nadia merasakan ada koneksi yang tak terucap di antara mereka, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Hati Nadia mulai berdebar lebih kencang, sebuah perasaan yang jarang sekali dia rasakan.
"Kalau kamu bisa memilih, apa yang akan kamu lakukan dalam hidup ini?" tanya Nadia, mencoba menggali lebih dalam pikiran Raka.
Raka berhenti sejenak, menatap langit yang mulai gelap sebelum menjawab, "Aku ingin hidup sederhana, tidak terlalu banyak yang diinginkan. Asalkan aku bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia, itu sudah cukup."
Jawaban Raka membuat Nadia tertegun. Bukan jawaban yang dia harapkan, tapi justru itulah yang membuatnya semakin tertarik pada pria ini. "Bagaimana dengan kamu?" tanya Raka balik, kini menatap Nadia dengan pandangan yang penuh rasa ingin tahu.
Nadia tersenyum kecil, namun matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. "Aku... tidak tahu. Selama ini, hidupku selalu diatur oleh harapan orang lain. Mungkin aku hanya ingin bebas, bebas untuk menjadi diriku sendiri."
Kata-kata itu terlontar begitu saja, seakan Nadia telah lama menyimpannya dalam hati. Raka mengangguk pelan, seolah memahami perasaan yang Nadia coba sembunyikan. "Mungkin kita bisa mencari kebebasan itu bersama," kata Raka dengan nada suara yang lembut namun pasti.
Percakapan mereka malam itu menjadi awal dari perjalanan cinta yang penuh dengan liku-liku. Nadia yang terbiasa dengan segala sesuatu yang mewah dan teratur, menemukan diri jatuh cinta pada kesederhanaan Raka. Sementara Raka, pria yang tidak pernah peduli dengan status sosial, perlahan menyadari bahwa Nadia adalah perempuan yang istimewa, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena hatinya yang murni.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung tanpa tantangan. Nadia tahu bahwa keluarganya, terutama ibunya, tidak akan pernah menerima pilihan hidupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Nadia? Kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari ini!" tegur ibunya ketika Nadia mencoba memberi tahu tentang hubungannya dengan Raka.
"Aku mencintainya, Bu," jawab Nadia tegas, meski hatinya terasa sakit mendengar ketidaksetujuan ibunya.
"Ini bukan soal cinta, ini soal masa depanmu!" suara ibunya meninggi, membuat Nadia merasa terpojok.
Namun, meski menghadapi penolakan dari keluarganya, Nadia tidak mundur. Baginya, cinta yang ia rasakan untuk Raka adalah sesuatu yang nyata dan berharga. Ia yakin bahwa mereka berdua bisa menghadapi segala rintangan, asalkan tetap bersama.
To Be Continued.....
Nadia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengamati dirinya sendiri dengan cermat. Gaun putih sederhana dengan potongan halus itu menempel sempurna pada tubuhnya, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan. Meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Nadia mencoba untuk tersenyum. Baginya, hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru—meski bukan tanpa tantangan."Ibu akan sangat marah," gumamnya pelan, membiarkan pikirannya melayang pada sosok ibu yang keras dan tegas, yang selama ini memegang kendali atas setiap aspek kehidupannya.Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," katanya sambil berbalik, memperlihatkan senyum kecil saat adik perempuannya, Alya, menyelinap masuk ke dalam ruangan."Nadia, kau sangat cantik!" seru Alya dengan mata berbinar-binar, kagum pada kecantikan kakaknya yang tampak sempurna dalam balutan gaun pengantin sederhana itu."Terima kasih, Alya. Aku harap semua akan berjalan lancar," Nadia membalas dengan lembut, meski dalam ha
Nadia menatap jendela kecil apartemen mereka, memperhatikan tetesan hujan yang menari di atas kaca. Suara hujan yang berirama seolah menjadi latar musik dalam kehidupannya yang baru, bersama Raka. Meski apartemen mereka sederhana, tempat itu terasa seperti surga baginya. Di sinilah ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, tanpa tekanan status sosial yang kerap mengikat langkahnya.“Nadia, mau teh hangat?” Raka memanggilnya dari dapur kecil mereka, suaranya penuh kehangatan yang selalu berhasil menenangkan hati Nadia.“Boleh, Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum. Ia berjalan menuju dapur, tempat Raka sedang sibuk menyiapkan dua cangkir teh. Setiap gerakan Raka begitu tenang dan penuh perhatian, seolah ia selalu memastikan bahwa Nadia merasa dicintai dan diperhatikan.“Mas, terima kasih ya, untuk semuanya.” Nadia mengambil cangkir teh yang disodorkan Raka. Pandangannya bertemu dengan mata suaminya, mata yang selalu memancarkan ketulusan yang tak pernah berubah sejak pertama kali merek
Hari itu matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Nadia terasa begitu kelam. Ia duduk di ruang tamu apartemennya, mencoba menenangkan diri setelah kunjungan terakhir Bu Retno, ibunya. Di sebelahnya, Raka sedang sibuk dengan buku-bukunya, mencoba mencari ketenangan dalam kesibukan yang tak pernah mengkhianatinya."Mas," Nadia akhirnya membuka suara, berusaha terdengar ceria meskipun hatinya terasa berat. "Apa kita bisa pergi jalan-jalan nanti sore? Aku butuh udara segar."Raka menoleh dan tersenyum, senyum yang selalu berhasil meredakan kekhawatiran Nadia. "Tentu, Sayang. Kita bisa pergi ke taman kota. Sudah lama kita tidak ke sana."Nadia mengangguk pelan. Namun, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata ibunya yang tadi pagi seperti duri menghunjam jantungnya."Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Nadia! Raka itu hanya akan membebanimu. Lihat dia! Apa yang bisa dia berikan padamu? Hanya kesederhanaan dan kekurangan! Kamu bisa menikah dengan pria yang lebih kaya, lebih berpendidi
Nadia duduk di belakang Raka, memeluk erat pinggang suaminya yang mengenakan jaket usang. Motor tua mereka bergemuruh sepanjang jalan menuju rumah keluarganya. Angin malam yang dingin menusuk kulit, tapi yang lebih membuat Nadia khawatir adalah pertemuan yang menanti mereka. Bayangan wajah ibunya, Bu Retno, dengan tatapan tajam dan penuh penilaian, tak bisa lepas dari benaknya.Saat mereka tiba di rumah besar keluarganya, suasana langsung berubah tegang. Seperti yang sudah diduga, kehadiran mereka tak disambut hangat. Pintu besar yang terbuka memperlihatkan interior rumah yang mewah, namun tidak ada kehangatan yang terasa. Tatapan dingin dari keluarga yang sudah berkumpul di ruang tamu langsung menyelimuti mereka berdua. Nadia bisa merasakan tekanan yang menghimpitnya, membuat langkah kakinya terasa berat."Ah, Nadia dan Raka sudah datang," suara Bu Retno terdengar tanpa emosi, meskipun senyum tipis terpampang di wajahnya. Nadia tahu betul, senyum itu penuh dengan kepura-puraan.Merek
Nadia duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus malam yang hening. Raka belum pulang. Sudah larut, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara kesunyian. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap ada pesan atau telepon darinya, tetapi layar tetap bisu. Raka yang ia kenal adalah pria yang selalu memberitahunya setiap kali ada urusan mendadak. Tetapi, sejak Nadia membuka diri tentang tekanan yang ia hadapi dari keluarganya, segalanya berubah.Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Nadia dengan hati-hati memilih kata-katanya saat berbicara dengan Raka, namun air matanya tak bisa ditahan ketika menceritakan betapa ibu dan saudara-saudaranya tak henti-henti merendahkannya. Raka hanya mendengarkan tanpa menyela, matanya tajam namun bibirnya tertutup rapat. Setelah Nadia menyelesaikan ceritanya, Raka menarik napas panjang, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Terima kasih sudah memberitahu aku, Nad. Aku janji, aku akan selalu ada di sisimu,”
Malam itu terasa berbeda. Nadia terus teringat dengan kejadian tadi malam saat Raka pulang bersama seorang pria yang mengenakan setelan mahal, memberi salam penuh hormat kepada suaminya. Hingga kini, kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, "Pak Raka." Suatu panggilan yang tak biasa ia dengar dari orang-orang sekitar mereka. Nadia penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak langsung bertanya saat itu juga.Pagi harinya, saat sarapan, Nadia tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Mas," ucap Nadia sambil menatap Raka yang sedang sibuk membaca koran. "Aku ingin tanya soal pria yang kemarin malam. Kenapa dia terlihat begitu hormat padamu?"Raka menurunkan korannya, menatap Nadia dengan senyuman yang menenangkan. "Oh, itu teman lama, Sayang. Dia memang suka bergurau seperti itu. Kami dulu sering bekerja bersama. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan masa-masa itu.""Tapi, Mas, dia memanggilmu 'Pak' dengan begitu sopan. Rasanya aneh saja."Raka tertawa kecil, menggelengkan kepal
Nadia berdiri di tepi jendela ruang tamu, matanya menatap ke luar dengan perasaan yang tak menentu. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sejuknya angin tidak mampu meredakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Sejak beberapa minggu terakhir, Nadia semakin sering melihat pria-pria berpakaian rapi dan berwibawa mengunjungi rumahnya. Setiap kali, mereka disambut dengan penuh hormat oleh Raka, dan setiap kali pula Raka menghindari pertanyaan-pertanyaan Nadia dengan jawaban singkat yang membuatnya semakin penasaran."Siapa mereka, Mas?" tanya Nadia lembut saat pertama kali pria-pria itu datang.Raka hanya tersenyum, menepuk punggung Nadia dengan lembut. "Hanya teman-teman bisnis, Sayang. Tidak perlu khawatir," jawabnya, sebelum cepat-cepat pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu-tamunya.Malam ini, Nadia kembali merasa gelisah. Pria-pria itu kembali datang, kali ini membawa kendaraan yang lebih mewah
Suasana di rumah Pak Surya sudah memanas sejak pagi. Ketegangan meliputi setiap sudut ruangan. Nadia duduk di sofa dengan tangan terlipat di pangkuannya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Raka, yang berdiri di sampingnya, mencoba terlihat tenang, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Pak Surya, Bu Retno, dan Arman sudah siap untuk pertemuan ini, seperti hakim yang menunggu untuk menjatuhkan vonis. Sementara itu, Alya duduk di sudut ruangan, merasa tidak nyaman dengan apa yang akan terjadi.Pak Surya memulai percakapan dengan nada dingin, "Nadia, kami sudah cukup bersabar. Keluarga ini memiliki reputasi, dan kami tidak bisa lagi membiarkanmu terus bersama Raka. Kami telah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan keputusan kami sudah final."Nadia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya terasa jauh lebih menyakitkan. "Ayah, ibu, kak Arman, tolong dengarkan aku. Raka adalah s