Hidup sebagai remaja yatim piatu selama ini membuat dada Zero bergemuruh ketika seseorang datang dan mengatakan akan menjadi ayahnya. Lelaki itu mengulurkan tangan dan meminta Zero berdiri.
“Selamat datang ... aku adalah Atalla Gladiolus, yang memanggilmu ke dunia ini.” Atalla menyambut Zero dan memecah keheningan di antara mereka, ia kemudian mengajak Zero beranjak dari sana.
“Se-sebenarnya aku masih tidak mengerti,” kata Zero seraya menggaruk kepalanya. Ada senyum kecil di wajah yang salah tingkah itu.
“Nanti kau pasti akan mengerti, dan aku juga tidak memiliki niat jahat padamu. Singkatnya kau dipanggil ke sini karena aku dan penduduk kota ini membutuhkanmu,” jelas Atalla. Ah, rupanya masih tak dapat mengusir tanda tanya di kepala Zero.
“Dan aku akan lebih senang jika kau menerima nama pemberianku dan bersedia menjadi anakku,” lanjut Atalla. Mereka berdua berjalan pelan melewati gerbang kota. Zero melihat pemandangan yang membuatnya berdecak kagum. Ia terpesona.
Di dekat gerbang berjejer pohon bunga wisteria, di dalamnya terhampar rerumputan hijau dan bunga gladiol ditanam rapi membentuk jalan berliku-liku, dan tepat di tengah-tengah ada sebuah taman dengan danau kecil yang dikelilingi oleh bunga lupin.
Di seberang sana tampak tiga istana megah yang saling berdekatan, lalu ada banyak rumah penduduk dan pohon cemara serta pinus. Di beberapa sudut tumbuh dengan subur pohon apel yang berbuah lebat.
“Baiklah, aku akan menerimanya dan memanggilmu ayah,” tutur Zero kemudian. Ia sama sekali tak menyangka akan menanggalkan nama lamanya, terlebih nama yang diberikan Atalla seperti mengakuinya sebagai seorang pahlawan saja.
"Hero Gladiolus," batinnya. Ia pun tersenyum. Di sini ia merasa lebih tenang seperti perasaan seorang anak perantauan yang akhirnya bisa pulang ke kampung halaman. Apa benar ini adalah kehidupan setelah kematian?
“Hm, apa semua orang yang mati akan ke sini?” tanyanya pada Atalla.
“Tidak, ini bukan dunia setelah kematian seperti dugaanmu, Hero. Ini adalah Kota Gardraff, dunia lain yang hanya bisa dimasuki manusia tertentu saja. Kau belum mati, Hero. Mungkin ada yang sedikit berubah pada penampilanmu, itu disebabkan penyembuhan dan pemanggilan yang kulakukan,” jelas Atalla.
Hero mengangguk-angguk pelan meski ia masih tak benar-benar paham. Ia tahu bahwa ada beberapa pertanyaan yang tak bisa ditemukan jawabannya dalam sehari. Apa pun yang akan terjadi nanti Hero ingin menyusun langkahnya sekali lagi. Mendapati kenyataan bahwa ia belum mati, Hero merasa seperti terlahir kembali.
Ia sama sekali tak pernah memikirkan bahwa ada dunia lain yang berdampingan dengan dunia manusia. Mengingat tak setiap manusia bisa memasuki dunia ini, Hero berpikir mungkin saja ini adalah dunia seperti yang tertera dalam buku dongeng yang pernah dibacanya.
Hero ingin melepaskan ribuan tanya yang mendera, nanti ia pasti akan mencari tahu jawabannya walau harus membaca gunungan buku sekalipun.
***
“Suasana apa ini? Seperti ingin rapat saja,” batin Hero saat melihat beberapa orang duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Ia masih tak mengira bisa menginjakkan kaki di istana semegah ini. Menurut penjelasan Atalla, istana ini adalah rumahnya dan juga akan menjadi tempat tinggal Hero.
“Hero, duduklah ....” Suara lembut dari seorang perempuan menyambut kedatangan Hero dan Atalla. “Mana ... namaku Mana Gladiolus, istri Atalla,” jelas perempuan itu dan menuntaskan rasa penasaran Hero. “Itu berarti aku adalah Ibumu,” lanjut Mana. Ia tersenyum ramah pada Hero.
Lagi-lagi Hero salah tingkah, kenyataan bahwa perempuan cantik ini akan menjadi ibunya dan Atalla yang gagah akan menjadi ayahnya membuat wajah Hero memerah. Ia menahan rasa bahagia sekaligus malu.
Berbeda dengan Atalla yang hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang putih, beberapa lelaki di ruangan ini mengenakan baju zirah lengkap dengan sebilah pedang di pinggang. Hero bergidik ngeri, itu adalah pedang sungguhan. Sementara Mana dan beberapa perempuan lain di dalam ruangan ini mengenakan gaun mewah. Mana tampak menawan dengan gaun kuning pucat dan rambut hitamnya yang tergerai rapi.
Hero duduk tepat di sebelah Atalla dan Mana. Di atas meja terhidang berbagai jenis makanan dan buah-buahan yang tak pernah dicicipi Hero sebelumnya. Rasa lapar pun kembali bergejolak, namun ia tahan sebisanya.
“Selamat datang, Hero Gladiolus!” Salah seorang lelaki mengarahkan pedang pada Hero, tepat di antara kedua mata Hero yang tak berkedip. Ia gugup dan menelan ludah, bulir keringat pun menetes. Hero merasa nyawanya bagai berada di ujung pedang ini.
“Dryas, bercandamu sangat berlebihan,” tegur Atalla lalu memerhatikan wajah Hero yang memucat tegang. “Minumlah ....” Atalla memberikan segelas air pada Hero. Lelaki yang bernama Dryas itu sontak tertawa terbahak-bahak, seolah ia puas sekali sudah mengerjai Hero.
“Hahaa ... rileks, Hero. Aku bukan musuhmu,” ucap Dryas sambil mengacak-acak rambut Hero. Setelah keadaan lebih tenang, Dryas mengenalkan keluarganya. Lelaki berwajah ramah ini bersama istrinya Arma Wisteria, putri sulungnya Seema Wisteria, dan putranya Genio Wisteria yang berumur 9 tahun.
“Kami berharap banyak padamu, Hero,” kata lelaki lainnya yang turut berkenalan pada Hero. Dia adalah Argana Lupine, duduk di sebelahnya sang istri Xalma Lupine, anak-anak mereka Leander Lupine dan Eireena Lupine.
“Hero, Leander, Seema, dan Eireena ... usia kalian tak berbeda jauh, jadilah teman yang baik satu sama lain.” Argana memberikan petuahnya. Ia dapat membaca kebingungan di wajah Hero, namun Argana sungguh-sungguh mengatakan bahwa mereka berharap banyak pada Hero.
“Hero, ini adalah Farrabi. Dia yang akan mengajarimu menggunakan pedang.” Atalla menunjuk Farrabi yang duduk di seberangnya. Hero mengangguk dan melihat Farrabi, wajahnya tenang dan ia tampak bijaksana.
Meski ada banyak pertanyaan yang bergelantungan di benaknya, Hero dapat membaur. Ia bahkan ikut tertawa saat Dryas melontarkan canda, kehangatan dan kebersamaan seperti ini tak pernah Hero alami sebelumnya. Rasa bahagia seakan ingin meledak dalam hatinya. Apa ini yang dinamakan keluarga?
Semua orang di sini menyambut Hero dengan ramah, namun ia masih tak tahu apa tujuan Atalla memanggilnya dan apa yang diharapkan mereka dari Hero?
Di dalam ruangan luas bernuansa keemasan yang tampak kokoh dan megah ini, sebuah ikatan pun terjalin kuat. Tirai jendela yang berwarna merah tua bergerak pelan tertiup angin seolah baru saja turut mengucapkan selamat datang pada Hero.
Duduk bersama anggota keluarga seperti inilah yang pernah diimpikan Hero saat di panti asuhan. Makan bersama seraya bertukar cerita menciptakan kehangatan tersendiri di dalam hati.
“Apa tidak masalah jika aku merasa sebahagia ini?” tanya Hero dalam hatinya. Ia sempat merasa ragu bahwa dirinya benar-benar pantas berada di keluarga yang sempurna.
Setelah pertemuan itu, beberapa orang pelayan mengantarkan Hero ke kamarnya. Sangat jauh berbeda dengan kontrakan kecil yang ia sewa dulu, terlampau jauh perbedaannya. Menghadapi cermin yang lebih tinggi darinya, Hero berkaca dan terdiam.
Kedua bola mata hitam kecokelatan miliknya memancarkan kebahagiaan, Hero kembali tersenyum. Mulai saat ini ia bisa tidur di kasur yang empuk, bisa makan tiga kali sehari atau sebanyak yang ia mau, bisa mengenakan baju bagus setiap hari, dan yang terpenting mulai saat ini Hero memiliki ibu dan ayah. Lalu tadi ia juga berkenalan dengan beberapa orang teman.
“Hero ....” Suara lembut itu lagi, Hero bisa dengan mudah mengenalinya. Jujur saja ia masih kaku untuk menyebut ibu.
Mana masuk setelah Hero membukakan pintu, lengkung senyum itu tak pernah lepas di wajahnya. Ia perempuan yang memiliki jiwa keibuan dengan tutur katanya yang lemah lembut. Mana datang untuk menjelaskan beberapa hal seperti jadwal belajar dan latihan berpedang yang akan dilakukan Hero.
“Hero, mulai sekarang kau bisa menceritakan apapun pada Ibu. Katakan jika ada yang bisa Ibu bantu, pada ayah pun begitu. Semua orang di kota ini bahkan tak akan menolak jika dimintai bantuan,” ujar Mana.
“Se-sebenarnya aku merasa ini seperti mimpi, seolah aku tidak pantas mendapatkan ini semua,” ucap Hero terbata-bata. Air matanya sekuat tenaga ia bendung.
“Ini bukan mimpi, Hero. Dan takdir yang memilihmu menjadi keluarga kami.” Kata-kata yang diucapkan Mana bagai mantra penenang bagi Hero. Jika ia dapat membuat bintang bercahaya saat ini, Hero akan mengambil dan menghadiahkan satu untuk Mana. Seperti itulah yang dirasakan Hero setelah mendengar ucapan Mana.
“Yo! Apa yang sedang kaupikirkan?” Leander menepuk bahu Hero dan membuyarkan lamunannya.“Kau pasti tahu ada banyak hal yang membuatku bingung,” jawab Hero pelan.Leander yang mengenakan pakaian santai itu mengambil sesuatu dari saku celananya. “Ini pakailah! Wajahmu tampak kusut dengan rambut begitu, atau kaupotong pendek saja sepertiku,” saran Leander lalu menyodorkan karet gelang untuk Hero.Hero tersenyum mengingat ia tidak merapikan rambutnya yang tumbuh lebih panjang saat tiba di Gardraff. Selesai merapikan setengah bagian rambutnya yang menghalangi pandangan, Hero mengucapkan terima kasih. Leander tampak bersahabat dan ramah, tak butuh waktu lama mereka pun bisa akrab.“Lean ... oh, ayolah! Kenapa kau bisa lupa kegiatan hari ini?” Seema datang dari belakang.“Hei! Aku tidak lupa, ini baru saja mau mengajak Hero,” sanggah Leander.“Ayo, cepat! Kita berangkat,” ajak
“Oh iya, Lean ... apa manusia yang dipanggil ke sini memiliki kriteria tertentu?” Hero tak henti meluncurkan pertanyaan di sepanjang jalan.“Kami tidak tahu terlalu banyak tentang masalah orang dewasa, Hero. Namun dari penyelidikanku selama ini ada dua hal penting yang harus ada di diri manusia itu, suka menolong dan kebaikan hatinya murni,” jelas Leander seraya tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Ia kembali menepuk bahu Hero seolah menegaskan bahwa Hero memang pantas berada di Gardraff.“Saat Kota Gardraff resmi berdiri, paman Atalla melakukan pemanggilan. Setiap tahun begitu, dan mereka para manusia itu sudah mengajari kami banyak hal,” lanjut Lean.Mereka kemudian berhenti sejenak, sebelah Timur Kota Gardraff sangatlah indah. Di sini semua penduduk memiliki ladang, daerah Timurlah yang menopang kebutuhan makanan pokok semua penduduk kota. Sayur, buah, hingga berbagai macam bunga tumbuh subur. Daerah Timur Kota Gardraf
Mereka bertiga berjalan pelan menuju istana. Hero mendongak melihat langit Kota Gardraff tak berubah sama sekali, masih tampak sendu seperti kemarin. Tak bisa membedakan siang dan malam di sini, para penduduk hanya dapat melihat jam seperti yang diajarkan oleh manusia yang pernah datang.“Menjelang jam malam, apa ada tanda khusus di kota ini?” tanya Hero, mengingat sejak kedatangannya ke sini Hero belum pernah tidur. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal sehingga ia selalu terjaga di kamarnya.“Sebentar lagi kau akan melihat ada cahaya yang menyala,” jawab Leander. Dan benar saja, di depan rumah setiap penduduk menyala bola-bola api kecil berwarna ungu pucat.“Itu ide adikku, dan ayah yang mewujudkannya,” ujar Seema dengan wajah bangga. Ia terlihat bahagia karena Genio bisa memikirkan ide cemerlang. Ini dimulai sejak Seema membakar habis tanaman Leander empat tahun lalu. Genio memang masih anak-anak, tapi menurutnya jika
“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero. “Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu
Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang ak
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d
Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk
Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-
Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&
Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu
Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.
Helldan melahap jiwa peri penjaga kota yang ditangkapnya. Sayatan di kaki Helldan pun perlahan sembuh dan racun yang telah menyebar tak lagi bereaksi. Tawa iblis pengikut itu menggelegar memecah kedalaman hutan larangan.Helldan terbang ke sana ke mari seolah mengejek tiga remaja yang terduduk lemas karena menyaksikan salah satu penduduk Kota Gardraff telah gugur. Ia pun menghilang setelah melemparkan baju zirah penjaga kota ke arah Hero kemudian tertawa puas.Sementara itu, Hero, Seema, dan Leander nyaris tak mampu berdiri karena terkejut. Keberanian yang selama ini mengalir di diri mereka seketika menciut saat melihat kematian di depan mata untuk pertama kalinya.Hero terduduk sambil memegang baju zirah penjaga kota yang dijatuhkan Helldan. Tubuh penjaga itu telah sirna saat jiwanya ditelan.Pepohonan yang bergerak hampir menjauhkan posisi karena mereka bertiga hanya berdiam diri, tetapi Lyonell datang dan langsung melemparkan ketiga remaja itu ke pungg
Sembilan pedang suci terus berlatih mengasah kemampuan mereka. Melewati hari demi hari dengan latihan tanpa henti, Hector dan Argana bahkan pernah dibuat takjub akan kemampuan sembilan remaja itu.Namun, saat kebosanan mencapai puncak, beberapa orang di antara mereka diam-diam pergi ke pusat kota karena rindu pada suasana keramaian di sana.“Hero, kenapa berhenti?” tanya Seema ketika melihat Hero tertinggal di tengah-tengah pusat perbelanjaan kota.“Seema, Leander ... ayo, ikut aku!” ajak Hero kemudian menjauh dari keramaian. “Aku merasakan keberadaan aura itu lagi,” ucap Hero dan mengingatkan kedua temannya pada pertarungan Dryas melawan Helldan.“Di mana?” tanya Leander berbisik.Hero menunjuk hutan larangan dan kedua temannya pun terdiam sejenak. “Tunggu apa lagi? Ayo!” ajak Seema dan mereka pun kembali memasuki hutan larangan.Deretan pepohonan mulai bergerak secara acak. Mereka
Dryas menemui Atalla setelah melatih sembilan pedang suci. Ia pun menanyakan beberapa hal karena terusik dengan ucapan Helldan yang menyebutkan kutu pengganggu. Awalnya, Dryas berpikir maksud sebutan itu tertuju pada Farrabi sebab Farrabi adalah satu-satunya manusia di Kota Gardraff.Namun, sejak belasan tahun Farrabi berada di Kota Gardraff, para iblis tak menganggu sesering belakangan ini. Ia pun akhirnya sadar bahwa tak hanya Farrabi, melainkan Hero juga seorang manusia meskipun Atalla sudah mengangkatnya sebagai anak.Sementara itu, Atalla tidak merasakan ada sesuatu yang janggal di diri Hero. Remaja lelaki itu datang ke Kota Gardraff karena ia memenuhi syarat seperti manusia-manusia yang datang sebelum Hero.Dryas yang masih belum puas pun mendatangi Hero di malam hari. Mereka berbincang empat mata dan Dryas ingin mendengarkan cerita Hero selama di dunia manusia.“Sebelumnya aku tak terlalu peduli dengan manusia yang dipanggil Atalla ke kota in