“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.
“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.
Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero.
“Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.
“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.
“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.
“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu. “Ibu hanya bisa menjawab dua pertanyaan pertama, pertanyaan yang paling penting itu tidak diceritakan pada kalian,” tegas mana dengan suara lembutnya.
“Benar, dulu Ibu juga manusia biasa. Saat menikah dengan Ibu 16 tahun lalu, ayahmu memang memiliki sayap, sepasang sayapnya berwarna perak dan berkilauan, Ibu pernah sekali melihatnya dan benar-benar mengagumkan. Tetapi, setelah hari pernikahan kami ... dia kehilangan sayap itu-”
“Karena menjalin ikatan dengan manusia?” tanya Hero memotong cerita Mana.
“Bukan, Anakku. Bukan karena itu, nanti akan Ibu ceritakan lagi saat kau sudah pandai berpedang,” ujar Mana membuat kesepakatan kecil pada Hero. Putra angkatnya itu pun mengangguk yakin.
***
Bola-bola api kecil di depan rumah setiap penduduk kota sudah padam, itu berarti waktu bergerak dan seharusnya sinar matahari dengan gagah menyapa di sebelah Timur. Namun harapan untuk melihat sang surya harus disimpan dalam-dalam, saat ini yang perlu Hero lakukan adalah latihan agar dia cukup kuat dan tak hanya menjadi beban.
Mereka latihan berpedang tak jauh dari area berkuda. Guru Farrabi juga melatih belasan remaja seusia Hero, ia pasti bertemu lebih banyak teman hari ini.
“Hero, ayo naik! Kita harus tiba lebih dulu sebelum Seema,” ajak Leander yang duduk di atas singa jantan peliharaannya. Hero dibuat terkejut sampai napasnya tertahan sejenak.
“Oh iya, ini Lyonell. Dia tidak akan mengigitmu, Hero.” Lean tersenyum lebar sambil mengelus Lyonell yang besarnya tiga kali dari singa biasa. Sesaat Hero bergidik ngeri terlebih taringnya panjang dan sorot matanya menyeramkan.
Warna rambut pendek Lean dan warna surai Lyonell jelas tak ada bedanya. Hero menggeleng-gelengkan kepala karena takjub dan heran.
Setibanya di tempat latihan, Leander meminta Lyonell segera pulang sebelum datang teman-teman yang lain, ia tidak ingin Lyonell berakhir main tangkap bola lagi dengan teman-teman Leander.
Di kota ini, hanya karena Lean dan Seema adalah keturunan bangsawan, bukan berarti mereka mendapat perlakuan khusus. Guru Farrabi tidak pilih-pilih dalam memperlakukan muridnya.
Hero dan Lean berharap bisa hadir lebih dulu dari Seema, namun gadis itu justru terkekeh melihat dua temannya baru saja tiba.
“Lean, Seema ternyata sudah di sana.” Hero menunjuk Seema yang berdiri di sebelah guru Farrabi. Sebagai pemanasan latihan, pagi ini Seema bersiap-siap melawan Arion.
“Jangan-jangan nanti Seema kalah lagi dari Arion,” tebak Lean saat melihat Seema mulai memasang kuda-kuda. “Hero, di antara murid guru Farrabi, Arion yang paling jago menggunakan pedang,” beritahu Leander.
“Dia pasti latihan dengan gigih,” ujar Hero sambil memperhatikan kuda-kuda Arion.
“Benar, dia putra tunggal dari keluarga Primrose. Ayahnya kepala keamanan kota, kuat dan setia,” kata Lean membenarkan kegigihan Arion dalam latihan berpedang.
“Satu tahun lalu Seema pernah memberikan tanaman bunga primrose pada Arion, instingku mengatakan sebenarnya Seema menyukai Arion,” ucap Leander yakin. Baginya, tindakan Seema mudah sekali ditebak.
“Sepertinya sekarang kita lebih baik memperhatikan mereka,” saran Hero yang tak melepaskan pandangannya dari gerak-gerik Arion.
“Hero, sebenarnya latihan pedang tidak wajib selama kau yakin dapat melindungi diri tanpanya,” Leander turut memperhatikan pergerakan Arion, namun ia masih berbicara, “Dan aku sangat yakin, tapi karena kau serius perihal ini dan Seema juga selalu hadir tepat waktu saat latihan, rasanya aku juga harus mulai fokus,” Leander turut membulatkan tekad.
Sejauh ini Arion lebih banyak menangkis serangan Seema, ia belum terlihat melancarkan serangan yang berarti. Napasnya teratur dan raut wajah Arion sangat tenang. Mereka latihan dengan pedang kayu, pedang sungguhan yang terbuat dari besi hanya digunakan oleh orang dewasa yang berlatih bersama Atalla, Dryas, dan Argana.
“Hero, apa kau ingin mencoba?” tanya Farrabi yang menghampiri Hero. Sempat ragu sebab tak pernah sekali pun ia latihan seperti ini, namun kaki Hero refleks berdiri.
Seema masih tak bisa menang dari Arion. “Bagaimana denganku yang hanya pernah memegang pisau dapur ini?” lirih Hero. Namun tidak ada salahnya mencoba, tadi ia juga sudah mempelajari gerakan Arion meskipun tak langsung mempraktikkan.
Bruukk!
Belum apa-apa Hero sudah terjatuh saat menangkis ayunan pedang Arion.
“Tidak masalah, kau hanya perlu berlatih lebih keras lagi,” ujar Arion, lelaki yang memiliki dua bola mata berwarna biru itu pun tersenyum. Ekspresinya bersahabat dan wibawanya bahkan sudah terlihat di usia yang tak beda jauh dengan Hero.
Arion mengulurkan tangan, Hero pun menyambutnya kemudian berdiri. Dalam keadaan seperti ini, ingatan Hero kembali melayang ke masa lalunya. Kala itu teman-temannya memanggil dengan sebutan Zero dan meneriakinya sebagai lelaki yang lemah.
Dalam hatinya Hero kesal, tapi ia sama sekali tak membenci teman-temannya. Ia hanya merutuk diri dan menyesalkan kenapa dirinya lemah.
“Dalam hal apa pun dia jelas lebih hebat dariku,” gumam Hero lalu kembali fokus pada pertarungan.
Telapak tangannya memerah bahkan terasa seolah ingin meledak pecah saat berusaha menangkis dan bertahan dari serangan Arion. “Kuat sekali lelaki ini,” pikir Hero, ia meringis dengan napas bergemuruh. Keringat menetes di wajah Hero dan detak jantungnya terpacu lebih cepat. Ia bersemangat.
“Suatu hari nanti, mampukah aku menandingi kemampuan Arion?” batinnya sambil sekuat tenaga bertahan.
“Hero, jangan memaksakan diri. Kau harus tenang dan memahami pergerakan lawan sebelum menyerang,” ucap Guru Farrabi saat melihat serangan Hero mulai acak.
“Aku sudah memperhatikan gerakan Arion sejak tadi, tapi aku masih tak bisa mengalahkannya,” gerutu Hero.
“Sudah kubilang kau harus berlatih lebih keras lagi mulai hari ini. Pedang sudah seperti sahabat bagiku sejak usia 6 tahun, jika hari ini jadi latihan pertamamu, jelas proses kita tidak bisa disamakan,” kata Arion di sela-sela bergerak menangkis serangan acak dari Hero.
“Jika kau ingin serius, saranku kau harus memiliki tekad yang kuat, miliki sebuah alasan yang bisa menjadikanmu kuat,” serangan Hero memang tak berarti apa-apa bagi Arion, napasnya masih tenang bahkan ia masih sempat memberikan nasihat pada Hero di tengah-tengah pertarungan.
“Bagaimana denganmu, Arion? Apa alasanmu?” Hero bertanya meski napasnya terengah-engah dan wajah putih pucatnya pun memerah.
“Aku ingin lebih kuat dari ayahku, aku ingin melindungi Kota Gardraff.” Tekad penuh keyakinan yang tumbuh dalam diri Arion bergema di alam bawah sadar Hero, sedetik ia lengah dan Arion pun mengayunkan pedang.
Sekakmat!
Hero terjatuh, pedang kayunya bahkan terlepas. Arion mengarahkan mata pedang tepat di antara kedua mata Hero, ini seperti deja vu. Benar saja, Hero pernah mengalami ini sebelumnya, di hari pertamanya menginjakkan kaki di istana Dryas pernah bercanda dengan melakukan gerakan tak terduga.
Arion tersenyum lalu menarik pedang kayunya. “Ayo bangun, apa kau mau tertidur di sini?” katanya lalu mengulurkan tangan.
“Sebentar saja, aku benar-benar lelah. Kuakui kau hebat, Arion.” Hero merebahkan tubuhnya di tanah. Ia nyaris kewalahan namun senang sebab terasa seperti uji nyali yang memacu adrenalin dan menghidupkan semangatnya dari dalam.
Berdiri di dekat Seema dan Leander, Farrabi cukup kagum pada Hero. Ini adalah latihan pertama, ia sama sekali belum mengajari Hero gerakan dasar, meski tadi ada beberapa gerakan acak, muridnya itu sudah cukup mumpuni mengingat Hero langsung terjun melawan Arion.
Hero masih terkapar, hanya saja sekarang ia tertawa lepas, teman-temannya yang melihat pun keheranan. Hero hanya senang, terlebih alasan kuat yang diungkapkan Arion membuat Hero harus sungguh-sungguh menyusun daftar misinya ke depan.
Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang ak
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her
Orang dewasa di Kota Gardraff cukup sibuk, apalagi tiga keluarga bangsawan yang terus memantau keamanan dan kesejahteraan penduduk kota. Namun, karena anak keluarga bangsawan belum ada yang menginjak usia dewasa sesuai aturan di kota, 17 tahun, mereka semua dibebaskan dari mengemban tugas berat.“Kak, aku penasaran kenapa paman Atalla dan bibi Mana tidak punya anak kandung?” tanya Genio dengan polos, seketika mata Seema terbelalak kaget mendengar pertanyaan itu.“Genio, kau masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan orang dewasa. Lebih baik sekarang diam saja, kalau Hero mendengarmu dia mungkin akan memarahimu,” gertak Seema.“Kak Hero tidak bisa marah, aku pernah memukul kepalanya dan dia justru memuji, untuk anak seusiaku katanya aku cukup kuat,” balas Genio.“Genio! Kenapa kau kasar seperti itu pada anak paman Atalla?”“Tapi kan ... kak Hero bukan anak kandung paman Atalla dan bibi Mana.&rdq
“Hero, pendengaranmu sekarang rupanya lebih peka, tapi bagaimana kau tahu itu guru Farrabi hanya dari suara langkahnya? Apa sebelumnya kau melihat guru Farrabi memang ada di sana?” selidik Lean. Ia penasaran.Sekarang mereka berlima duduk melingkar di bawah pohon bunga wisteria dekat gerbang kota. Ditemani minuman segar dan tumpukan buku, mereka berusaha untuk tidak bertingkah mencurigakan.“Baru-baru ini sepertinya insting dan pendengaranku memang lebih tajam,” ujar Hero seraya tertawa pelan. Ia pun tak tahu penyebabnya, mungkin saja karena tekad kuat di hati Hero, atau bisa saja karena gigihnya latihan siang dan malam sampai sel-sel di otaknya turut bekerja keras.“Kami senang jika kau punya banyak kemajuan, Hero. Gerakanmu saat latihan berpedang juga sudah jauh lebih baik,” jelas Arion yang selalu mengamati Hero di area latihan.“Terima kasih, Arion,” ucap Hero tulus. Salah satu yang membuatnya menguatkan
“Arion, apa kau sedang bercanda?” wajah Lean tampak kesal. “Buku ini kosong, tidak ada tulisan apa pun.” Sorot mata Lean menyimpan kekecewaan, namun ia tak menyalahkan Arion. “Astaga, ayahku pastilah melindungi buku berharga ini, aku masih belum bisa mengelabuinya,” gumam Arion. “Maaf, teman-teman, aku tidak bermaksud-” “Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Arion, tidak ada yang perlu dimaafkan!” tegas Seema, raut wajahnya sangat serius. “Seema benar, Arion, kita hanya melakukan semampu kita saja, kau tidak salah.” Eireena pun setuju pada Seema. “Tapi, sebelumnya bagaimana kau yakin di buku ini tertulis tentang iblis dan penyakit aneh itu?” tanya Hero, “Kau pasti sudah membaca isinya sekilas, kan?” kata Hero memastikan Arion setidaknya mengingat sesuatu. “Jalan yang kupilih ini mungkin akan menjadi medan pertempuran yang panjang, tapi daripada hidup dengan rasa takut pada iblis itu dan kehilangan lebih banyak teman, aku menerima t
Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d
Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk
Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-
Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&
Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu
Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.
Helldan melahap jiwa peri penjaga kota yang ditangkapnya. Sayatan di kaki Helldan pun perlahan sembuh dan racun yang telah menyebar tak lagi bereaksi. Tawa iblis pengikut itu menggelegar memecah kedalaman hutan larangan.Helldan terbang ke sana ke mari seolah mengejek tiga remaja yang terduduk lemas karena menyaksikan salah satu penduduk Kota Gardraff telah gugur. Ia pun menghilang setelah melemparkan baju zirah penjaga kota ke arah Hero kemudian tertawa puas.Sementara itu, Hero, Seema, dan Leander nyaris tak mampu berdiri karena terkejut. Keberanian yang selama ini mengalir di diri mereka seketika menciut saat melihat kematian di depan mata untuk pertama kalinya.Hero terduduk sambil memegang baju zirah penjaga kota yang dijatuhkan Helldan. Tubuh penjaga itu telah sirna saat jiwanya ditelan.Pepohonan yang bergerak hampir menjauhkan posisi karena mereka bertiga hanya berdiam diri, tetapi Lyonell datang dan langsung melemparkan ketiga remaja itu ke pungg
Sembilan pedang suci terus berlatih mengasah kemampuan mereka. Melewati hari demi hari dengan latihan tanpa henti, Hector dan Argana bahkan pernah dibuat takjub akan kemampuan sembilan remaja itu.Namun, saat kebosanan mencapai puncak, beberapa orang di antara mereka diam-diam pergi ke pusat kota karena rindu pada suasana keramaian di sana.“Hero, kenapa berhenti?” tanya Seema ketika melihat Hero tertinggal di tengah-tengah pusat perbelanjaan kota.“Seema, Leander ... ayo, ikut aku!” ajak Hero kemudian menjauh dari keramaian. “Aku merasakan keberadaan aura itu lagi,” ucap Hero dan mengingatkan kedua temannya pada pertarungan Dryas melawan Helldan.“Di mana?” tanya Leander berbisik.Hero menunjuk hutan larangan dan kedua temannya pun terdiam sejenak. “Tunggu apa lagi? Ayo!” ajak Seema dan mereka pun kembali memasuki hutan larangan.Deretan pepohonan mulai bergerak secara acak. Mereka
Dryas menemui Atalla setelah melatih sembilan pedang suci. Ia pun menanyakan beberapa hal karena terusik dengan ucapan Helldan yang menyebutkan kutu pengganggu. Awalnya, Dryas berpikir maksud sebutan itu tertuju pada Farrabi sebab Farrabi adalah satu-satunya manusia di Kota Gardraff.Namun, sejak belasan tahun Farrabi berada di Kota Gardraff, para iblis tak menganggu sesering belakangan ini. Ia pun akhirnya sadar bahwa tak hanya Farrabi, melainkan Hero juga seorang manusia meskipun Atalla sudah mengangkatnya sebagai anak.Sementara itu, Atalla tidak merasakan ada sesuatu yang janggal di diri Hero. Remaja lelaki itu datang ke Kota Gardraff karena ia memenuhi syarat seperti manusia-manusia yang datang sebelum Hero.Dryas yang masih belum puas pun mendatangi Hero di malam hari. Mereka berbincang empat mata dan Dryas ingin mendengarkan cerita Hero selama di dunia manusia.“Sebelumnya aku tak terlalu peduli dengan manusia yang dipanggil Atalla ke kota in