Mereka bertiga berjalan pelan menuju istana. Hero mendongak melihat langit Kota Gardraff tak berubah sama sekali, masih tampak sendu seperti kemarin. Tak bisa membedakan siang dan malam di sini, para penduduk hanya dapat melihat jam seperti yang diajarkan oleh manusia yang pernah datang.
“Menjelang jam malam, apa ada tanda khusus di kota ini?” tanya Hero, mengingat sejak kedatangannya ke sini Hero belum pernah tidur. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal sehingga ia selalu terjaga di kamarnya.
“Sebentar lagi kau akan melihat ada cahaya yang menyala,” jawab Leander. Dan benar saja, di depan rumah setiap penduduk menyala bola-bola api kecil berwarna ungu pucat.
“Itu ide adikku, dan ayah yang mewujudkannya,” ujar Seema dengan wajah bangga. Ia terlihat bahagia karena Genio bisa memikirkan ide cemerlang. Ini dimulai sejak Seema membakar habis tanaman Leander empat tahun lalu. Genio memang masih anak-anak, tapi menurutnya jika api bisa menyebar luas maka lebih baik benar-benar nyalanya disebar namun tetap dikendalikan.
“Dia jenius, tidak seperti kakaknya,” sindir Lean dan berhasil mendapat tatapan mengerikan dari Seema. “Oops!” kata Lean menutup mulutnya dengan tangan.
“Apa kalian belum pernah melihat matahari, bulan, dan bintang?” Hero mengajukan pertanyaan lagi.
“Jangankan matahari, bulan, dan bintang, saat langit memerah atau berwarna biru saja kami tak pernah melihatnya,” keluh Leander. “Tapi ada di buku, setahuku itu buku yang paling banyak dibaca anak-anak. Para guru di kota ini juga sering mendongeng tentang empat musim yang tidak pernah kami rasakan.” Dalam benaknya Leander juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi 16 tahun lalu, namun ia harus bersabar.
Kota Gardraff masih tampak memukau walau tak berbintang. Dalam belenggu sendunya langit ini, ada pula beberapa peri kecil dari bunga yang kemampuannya tak memudar, mereka menyebarkan cahaya kecil sehingga tanaman di kota ini dapat tumbuh dengan baik. Sayangnya kemampuan mereka tak bisa mengubah warna langit apalagi membuat matahari muncul. Mereka bahkan tidak bisa lagi bersuka cita merayakan pergantian musim.
“Oh iya, bagaimana dengan kekuatan ayahku?” meski Hero agak canggung menyebut Atalla dengan sebutan ayah, ia ingin menuntaskan rasa penasarannya yang satu ini.
“Selain api ungu, ayahku bisa bergerak dengan cepat dan hebat dalam memanah. Sementara bibi Xalma, selain memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan pohon dia juga terkenal karena keahlian meracik obat-obatan. Lalu paman Atalla ... ayahmu, Hero, dia petarung yang sangat kuat, dapat mengendalikan air, dan seperti yang kau tahu ... dia dapat memanggil manusia ke sini, dan mungkin ada kekuatan lain yang tidak kami ketahui,” jelas Seema. Ia kemudian melanjutkan, “Ayahku pernah bercerita, paman Atalla harusnya memiliki pedang keluarga Gladiolus, namun 16 tahun lalu pedang itu hilang. Aku bahkan sudah sekuat tenaga diam-diam mencarinya di setiap sudut kota ini,” ujar Seema.
Mereka kemudian sama-sama terdiam, sibuk dengan isi kepala masing-masing. Seema ingat dulu Atalla mendatangkan hujan buatan saat apinya menjalar nyaris tak terkendali. Dan Leander dalam diamnya masih digerogoti tanya tentang peri sekelas bangsawan seperti dirinya masih tak bisa terbang.
Sejauh ini dalam perkiraan Leander, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah disebabkan pernikahan antara peri dan manusia sejak 16 tahun lalu. Mungkin ada perjanjian terikat sehingga kekuatan bangsa peri di Kota Gardraff banyak yang memudar, atau ada kekuatan lebih besar yang telah menyegel kemampuan setiap peri di kota ini hingga menjadi sangat terbatas.
Sementara itu, Hero hari ini bisa mengusir beberapa rasa ingin tahunya. Cerita dari Seema dan Leander selama mengelilingi kota pelan-pelan mulai mengikis rasa penasaran.
***
Seema dan Leander masuk ke istana, dan memutuskan untuk istirahat sebab keesokannya juga dipenuhi kegiatan penting. Mereka akan mengasah kembali kemampuan berpedang.
Hero awalnya ingin melangkahkan kaki untuk masuk, namun ia merasa butuh menyendiri saat ini. Berjalanlah ia menuju gerbang suci Kota Gardraff. Terpaan angin menggerakkan rambutnya, bunga-bunga wisteria juga bergerak pelan. Hero melihat satu pohon bunga yang tampak baru ditanam, di sanalah Seema menemukan cincin ruby merah.
Hero lelah, ia duduk bersandar di gerbang sambil memandangi pohon raksasa yang pertama kali ia lihat saat tiba di Gardraff. Dalam benaknya Hero berpikir keras tentang apa yang bisa ia lakukan untuk Kota Gardraff dan penduduknya. Ia tidak bisa apa-apa.
Saat dibendung rasa bingung seperti ini Hero takut jika kehadirannya hanya merugikan orang lain. Ia tidak ingin hanya menjadi beban dan hidup senang di sini. Jelas Hero harus melakukan sesuatu.
Hero membenarkan letak punggungnya yang bersandar di bagian dalam gerbang, rasa lelah pun membuatnya terlelap.
***
"Di mana ini? Apa aku terlempar ke dunia lain lagi?" Hero memicingkan mata kala semburat cahaya menyeruak di hadapannya. Ada seseorang di sana, tepat di balik cahaya, namun Hero tak mengenali perempuan berambut merah gelap yang berdiri membelakanginya.
Di sebuah tempat dengan dinding berwarna kuning keemasan itu, Hero merasakan kehangatan menjalari seisi hatinya, seperti sebuah pelukan perjumpaan dari orang yang sangat mencintai Hero.
“Hero, Hero ... bangunlah.”
Suara itu, Mana menepuk-nepuk pelan lengan Hero. Membuka mata, rupanya tadi Hero hanya bermimpi. Ia tak sadar sudah terlelap.
“Ibu tidak bermaksud mengganggumu, tapi kenapa kau terlelap di sini?” Mana memancarkan aura keibuan dan amat perhatian, namun bukanlah Mana yang dilihat Hero dalam mimpinya tadi.
“Maafkan aku, Ibu ... tadi kami berkeliling kota dan sepulangnya aku ke sini,” jelas Hero. Ia takut sekali membuat Mana khawatir, di sisi lain juga senang ada sosok yang kini mengkhawatirkannya.
Tiga istana di Kota Gardraff ini sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu, masing-masing memiliki tiga lantai, tersedia belasan kamar yang mewah, dan banyak ruangan lainnya. Istana keluarga Gladiolus berdinding putih dan atapnya berwarna merah. Sementara istana keluarga Wisteria berdinding putih dengan atapnya berwarna ungu gelap, sedangkan istana keluarga Lupine juga berdiri kokoh dengan dinding putih dan atapnya yang berwarna hijau.
Dalam perjalanan ke istana bersama Mana, Hero masih tak tahu siapa perempuan yang tadi sempat singgah dalam mimpinya? Sontak langkah Hero terhenti ketika mengingat sesuatu, perempuan yang memiliki rambut merah gelap panjang dan bergelombang itu memakai cincin ruby merah di jari manis tangan kanannya.
Hero mengingat lagi, perempuan itu juga mengenakan gaun panjang berwarna perak dan memakai mahkota bunga. Tak ada sepatah kata yang terucap, bahkan Hero tak melihat wajahnya, hanya saja ada percikan bahagia saat ia melihat perempuan itu dari belakang. Besok Hero akan menemui Eireena untuk melihat cincin ruby merah lagi, barangkali ada sesuatu yang ia lewatkan.
Mengingat di siang hari mereka akan latihan berpedang, Hero harus mengunjungi perpustakaan pada malamnya. Sekarang ia memiliki misi yang perlahan mulai jelas, tentang hal-hal apa saja yang ingin Hero lakukan di Kota Gardraff. Bisa atau tidaknya, itu urusan nanti, yang pasti ia benar-benar ingin menyingkirkan langit sendu yang menyelimuti kota ini.
Hero ingin membuat seluruh penduduk kota dapat memandangi langit biru di siang hari dan menatap bintang-bintang bertaburan di langit malam. Seperti malam itu, malam yang Hero kira akan menjadi akhir hidupnya.
“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero. “Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu
Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang ak
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her
Orang dewasa di Kota Gardraff cukup sibuk, apalagi tiga keluarga bangsawan yang terus memantau keamanan dan kesejahteraan penduduk kota. Namun, karena anak keluarga bangsawan belum ada yang menginjak usia dewasa sesuai aturan di kota, 17 tahun, mereka semua dibebaskan dari mengemban tugas berat.“Kak, aku penasaran kenapa paman Atalla dan bibi Mana tidak punya anak kandung?” tanya Genio dengan polos, seketika mata Seema terbelalak kaget mendengar pertanyaan itu.“Genio, kau masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan orang dewasa. Lebih baik sekarang diam saja, kalau Hero mendengarmu dia mungkin akan memarahimu,” gertak Seema.“Kak Hero tidak bisa marah, aku pernah memukul kepalanya dan dia justru memuji, untuk anak seusiaku katanya aku cukup kuat,” balas Genio.“Genio! Kenapa kau kasar seperti itu pada anak paman Atalla?”“Tapi kan ... kak Hero bukan anak kandung paman Atalla dan bibi Mana.&rdq
“Hero, pendengaranmu sekarang rupanya lebih peka, tapi bagaimana kau tahu itu guru Farrabi hanya dari suara langkahnya? Apa sebelumnya kau melihat guru Farrabi memang ada di sana?” selidik Lean. Ia penasaran.Sekarang mereka berlima duduk melingkar di bawah pohon bunga wisteria dekat gerbang kota. Ditemani minuman segar dan tumpukan buku, mereka berusaha untuk tidak bertingkah mencurigakan.“Baru-baru ini sepertinya insting dan pendengaranku memang lebih tajam,” ujar Hero seraya tertawa pelan. Ia pun tak tahu penyebabnya, mungkin saja karena tekad kuat di hati Hero, atau bisa saja karena gigihnya latihan siang dan malam sampai sel-sel di otaknya turut bekerja keras.“Kami senang jika kau punya banyak kemajuan, Hero. Gerakanmu saat latihan berpedang juga sudah jauh lebih baik,” jelas Arion yang selalu mengamati Hero di area latihan.“Terima kasih, Arion,” ucap Hero tulus. Salah satu yang membuatnya menguatkan
Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d
Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk
Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-
Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&
Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu
Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.
Helldan melahap jiwa peri penjaga kota yang ditangkapnya. Sayatan di kaki Helldan pun perlahan sembuh dan racun yang telah menyebar tak lagi bereaksi. Tawa iblis pengikut itu menggelegar memecah kedalaman hutan larangan.Helldan terbang ke sana ke mari seolah mengejek tiga remaja yang terduduk lemas karena menyaksikan salah satu penduduk Kota Gardraff telah gugur. Ia pun menghilang setelah melemparkan baju zirah penjaga kota ke arah Hero kemudian tertawa puas.Sementara itu, Hero, Seema, dan Leander nyaris tak mampu berdiri karena terkejut. Keberanian yang selama ini mengalir di diri mereka seketika menciut saat melihat kematian di depan mata untuk pertama kalinya.Hero terduduk sambil memegang baju zirah penjaga kota yang dijatuhkan Helldan. Tubuh penjaga itu telah sirna saat jiwanya ditelan.Pepohonan yang bergerak hampir menjauhkan posisi karena mereka bertiga hanya berdiam diri, tetapi Lyonell datang dan langsung melemparkan ketiga remaja itu ke pungg
Sembilan pedang suci terus berlatih mengasah kemampuan mereka. Melewati hari demi hari dengan latihan tanpa henti, Hector dan Argana bahkan pernah dibuat takjub akan kemampuan sembilan remaja itu.Namun, saat kebosanan mencapai puncak, beberapa orang di antara mereka diam-diam pergi ke pusat kota karena rindu pada suasana keramaian di sana.“Hero, kenapa berhenti?” tanya Seema ketika melihat Hero tertinggal di tengah-tengah pusat perbelanjaan kota.“Seema, Leander ... ayo, ikut aku!” ajak Hero kemudian menjauh dari keramaian. “Aku merasakan keberadaan aura itu lagi,” ucap Hero dan mengingatkan kedua temannya pada pertarungan Dryas melawan Helldan.“Di mana?” tanya Leander berbisik.Hero menunjuk hutan larangan dan kedua temannya pun terdiam sejenak. “Tunggu apa lagi? Ayo!” ajak Seema dan mereka pun kembali memasuki hutan larangan.Deretan pepohonan mulai bergerak secara acak. Mereka
Dryas menemui Atalla setelah melatih sembilan pedang suci. Ia pun menanyakan beberapa hal karena terusik dengan ucapan Helldan yang menyebutkan kutu pengganggu. Awalnya, Dryas berpikir maksud sebutan itu tertuju pada Farrabi sebab Farrabi adalah satu-satunya manusia di Kota Gardraff.Namun, sejak belasan tahun Farrabi berada di Kota Gardraff, para iblis tak menganggu sesering belakangan ini. Ia pun akhirnya sadar bahwa tak hanya Farrabi, melainkan Hero juga seorang manusia meskipun Atalla sudah mengangkatnya sebagai anak.Sementara itu, Atalla tidak merasakan ada sesuatu yang janggal di diri Hero. Remaja lelaki itu datang ke Kota Gardraff karena ia memenuhi syarat seperti manusia-manusia yang datang sebelum Hero.Dryas yang masih belum puas pun mendatangi Hero di malam hari. Mereka berbincang empat mata dan Dryas ingin mendengarkan cerita Hero selama di dunia manusia.“Sebelumnya aku tak terlalu peduli dengan manusia yang dipanggil Atalla ke kota in