Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.
Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.
Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.
Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang aktivitas ayahnya.
Di luar, bola-bola api ungu pucat kembali menyala. Barisan bunga gladiol di sepanjang jalan seolah menuntun langkah Hero kembali ke tempat itu, gerbang suci Kota Gardraff. Ia merasa nyaman saat berada di sana.
Gerbang itu berdiri kokoh, di bawah atapnya dapat menampung banyak orang untuk berteduh. Keseluruhan gerbang adalah susunan bata merah tua yang tebal dan kuat dengan tinggi belasan meter. Di sisi kiri dan kanan gerbang terdapat dua menara dilengkapi empat jendela dan atap yang mengerucut.
Pintunya yang berbentuk setengah lingkaran hanya satu tepat berada di tengah, terbuat dari deretan baja sebesar pergelangan tangan remaja dengan ujung bagian bawahnya yang runcing, dan tersusun vertikal berjarak, persis seperti tombak peninggalan bangsa peri di ruang khusus dalam perpustakaan. Susunan baja pada pintu gerbang kota ini ajaibnya tak mengeluarkan suara ketika terbuka dan tertutup secara vertikal. Baja-baja kuat dengan ujungnya yang menyerupai tombak itu naik dan turun dengan sendirinya.
Hero memang tidak sedang berada di dunia modern seperti sebelum ia tertabrak dan jatuh ke jurang, namun gerbang ini amat peka, bisa terbuka dengan sendirinya saat ada orang yang mendekat. Seperti pintu-pintu gedung pencakar langit yang pernah dimasuki Hero untuk mencari pekerjaan dulu.
Di bagian dalam gerbang berjejer rapi pohon bunga wisteria, dan sekarang Hero berjalan menuju pohon raksasa yang berada di bagian luar gerbang, pohon ini masih berdiri kokoh sama seperti ketika kedatangannya pertama kali di Kota Gardraff. “Kau hebat bisa sekuat ini,” kata Hero menepuk-nepuk batang pohon. “Aku masih saja lemah seperti dulu, latihan hari pertama saja kondisiku sudah begini,” ujarnya lagi.
Sebenarnya Hero masih ingin ke perpustakaan, namun kata-kata Arion terus terngiang di benaknya. Ia berjalan-jalan pelan mengitari danau kecil di antara gerbang dan pohon raksasa. Saat nyeri di kakinya mulai terasa membaik, Hero pun melakukan pemanasan. Ia berlari-lari kecil, melakukan push up, sit up, back up, squat jump, dan melakukan gerakan lain untuk meregangkan otot.
Saat di panti asuhan, Hero cukup sering olahraga, hanya saja saat ia melakukan push up maka teman-teman yang lain akan duduk di atas punggungnya, lengannya kesakitan tapi lagi-lagi ia tak pernah mengeluh.
Sekarang ia cukup berkeringat hingga napasnya terengah-engah. “Mulai sekarang aku harus melatih fisikku,” ujarnya pada diri sendiri. Hero membulatkan tekad akan latihan di tempat ini setiap malam, sengaja tidak di area latihan atau di tempat lain di dalam kota, Hero tak ingin menjadi pusat perhatian terlebih dirinya yang saat ini masih belum cukup kuat.
Setelah ingin membuat seluruh penduduk kota dapat memandangi langit biru di siang hari dan menatap bintang-bintang bertaburan di langit malam, Hero juga ingin melindungi Kota Gardraff seperti Arion. Ia ingin melindungi senyum penduduk kota. Saat ia bersama Seema dan Leander berkeliling kota, para penduduk yang beraktivitas menyapa dengan ramah, Hero ingin melindungi mereka semua.
***
“Latihan sendiri di malam berikutnya jangan lupa membawa ini,” Atalla tiba-tiba muncul dan melemparkan sebilah pedang kayu pada Hero. Beruntung Hero refleks menangkapnya. “Kalau terus berlatih kau pasti bisa menjadi kuat, Hero,” ujar Atalla.
“Terima kasih, Ayah.” Hero tersenyum.
“Senang bisa mendengarmu memanggilku ayah tanpa ragu.” Ucapan Atalla justru membuat Hero tersipu. Seumur hidupnya baru kali ini ada orang yang bisa ia panggil ayah.
“Bagaimana Ayah tahu aku ada di sini?” Ia memberanikan diri untuk bertanya dan tak terdengar kaku. Atalla tak menjawab, namun kedua bola mata hitam kecokelatan miliknya hanya melirik danau di dekat mereka. Ia lalu tersenyum.
Berpikir sejenak, Hero kemudian paham bahwa Atalla mampu mengendalikan air. Kenyataan bahwa ia bisa menjadi putra lelaki bertubuh tinggi dan berwibawa ini sungguh menakjubkan bagi Hero. Di bahu lebar Atalla pastilah ada banyak beban yang dipikul, Hero ingin meringankannya.
“Hero, menurutmu bagaimana Kota Gardraff ini?” tanya Atalla.
Mendapat pertanyaan ambigu seperti itu, Hero terdiam sesaat. Ia sedang mengira-ngira, apa boleh jika ia menjawab dan berpendapat lebih jauh? Apakah pertanyaan Atalla ini adalah tanda izinnya agar Hero dapat leluasa bercerita? Entahlah, namun Hero ingin mencoba.
“Aku tidak pernah tinggal di lingkungan sebaik ini, Ayah,” jawab Hero dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Aku menyukai Gardraff dan penduduknya,” lanjut Hero lagi, “Aku yakin ada banyak orang yang ingin tinggal di tempat seperti Kota Gardraff, namun aku merasa memang ada yang kurang.” Hero menghentikan kalimatnya meski terkesan menggantung.
“Sesuatu yang kurang?” timpal Atalla.
“Benar, Ayah. Matahari, langit biru, bulan dan bintang, lalu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin,” papar Hero. Di sebelahnya, Atalla hanya menarik napas berat, dan sorot mata itu seperti menyimpan rahasia ribuan halaman. Hero ingin mengoreknya satu per satu, ia sungguh ingin membantu Atalla melindungi Kota Gardraff.
“Ayah senang kau nyaman di sini, Hero,” ujar Atalla lalu berdiri, ia membelakangi Hero dan hendak beranjak pergi.
“Ayah!” panggilan dari Hero menghentikan langkah Atalla. “Sekarang aku memang lemah, tapi aku akan menjadi kuat demi melindungi kota dan semua orang di dalamnya, karena itu, Ayah ... beritahu apa yang bisa kulakukan?” Kata-kata yang selama ini tercekat di tenggorokan akhirnya bisa Hero katakan.
“Terima kasih, Hero ... Ayah harap kau bisa menjadi ksatria hebat. Teruslah tumbuh lebih kuat,” jawab Atalla. Namun rupanya jawaban itu tak bisa diterima Hero.
“Suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi lebih kuat dari Ayah!” pekik Hero dengan suara bergetar, “Jadi, Ayah ... bagi bebanmu padaku, jika benar Ayah menganggapku sebagai anak,” tegas Hero. Ia masih berdiri di belakang Atalla, mendongak melihat kepala sang Ayah. Saat Atalla berbalik, mereka pun bertemu pandang. Empat bola mata yang memiliki warna serupa itu terbakar oleh problema yang berbeda.
“Melihat tatapanmu seyakin dan sekeras ini, entah kenapa Ayah merasa sedih,” ujar Atalla pelan. Sorot matanya iba namun bukan pada Hero. Tindakan berani yang baru saja Hero lakukan mengingatkan Atalla saat ia seusia Hero. Namun terlintas lagi detik-detik kematian ayahnya yang tak pernah Atalla lupakan.
“Baiklah, Hero! Ayah akan membagi beban besar padamu, dengan syarat kau harus lebih kuat. Jika nanti kau bisa mengalahkan Ayah, apa pun pertanyaan dan permintaanmu akan Ayah jawab dan Ayah wujudkan.” Setelah mengatakan itu dengan nada suara bak seorang pemimpin perang, Atalla pun beranjak pergi.
Kali ini, Hero tak menghentikan langkah Ayahnya. Sekarang Hero tahu bahwa ia harus menjadi pantas terlebih dulu sebelum memikul beban berat. Sekarang Hero paham jika ia ingin tahu lebih banyak lagi berarti Hero harus menjadi kuat untuk menampung kenyataan yang mungkin jauh lebih menyulitkan dari yang Hero bayangkan.
Dan andai nanti keadaan memaksa Hero menyerah, ia harus lebih gigih lagi sehingga keadaan sendirilah yang akan menyerah pada akhirnya. Bukan Hero. Terlebih sekarang ia yakin, nama yang diberikan Atalla bukan tanpa alasan. Hero yakin ada harapan besar yang diselipkan Atalla di dalam nama putranya.
“Tunggu saja, ayah! Aku pasti akan menyelami segala rahasia dalam sorot matamu,” lirihnya pelan.
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her
Orang dewasa di Kota Gardraff cukup sibuk, apalagi tiga keluarga bangsawan yang terus memantau keamanan dan kesejahteraan penduduk kota. Namun, karena anak keluarga bangsawan belum ada yang menginjak usia dewasa sesuai aturan di kota, 17 tahun, mereka semua dibebaskan dari mengemban tugas berat.“Kak, aku penasaran kenapa paman Atalla dan bibi Mana tidak punya anak kandung?” tanya Genio dengan polos, seketika mata Seema terbelalak kaget mendengar pertanyaan itu.“Genio, kau masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan orang dewasa. Lebih baik sekarang diam saja, kalau Hero mendengarmu dia mungkin akan memarahimu,” gertak Seema.“Kak Hero tidak bisa marah, aku pernah memukul kepalanya dan dia justru memuji, untuk anak seusiaku katanya aku cukup kuat,” balas Genio.“Genio! Kenapa kau kasar seperti itu pada anak paman Atalla?”“Tapi kan ... kak Hero bukan anak kandung paman Atalla dan bibi Mana.&rdq
“Hero, pendengaranmu sekarang rupanya lebih peka, tapi bagaimana kau tahu itu guru Farrabi hanya dari suara langkahnya? Apa sebelumnya kau melihat guru Farrabi memang ada di sana?” selidik Lean. Ia penasaran.Sekarang mereka berlima duduk melingkar di bawah pohon bunga wisteria dekat gerbang kota. Ditemani minuman segar dan tumpukan buku, mereka berusaha untuk tidak bertingkah mencurigakan.“Baru-baru ini sepertinya insting dan pendengaranku memang lebih tajam,” ujar Hero seraya tertawa pelan. Ia pun tak tahu penyebabnya, mungkin saja karena tekad kuat di hati Hero, atau bisa saja karena gigihnya latihan siang dan malam sampai sel-sel di otaknya turut bekerja keras.“Kami senang jika kau punya banyak kemajuan, Hero. Gerakanmu saat latihan berpedang juga sudah jauh lebih baik,” jelas Arion yang selalu mengamati Hero di area latihan.“Terima kasih, Arion,” ucap Hero tulus. Salah satu yang membuatnya menguatkan
“Arion, apa kau sedang bercanda?” wajah Lean tampak kesal. “Buku ini kosong, tidak ada tulisan apa pun.” Sorot mata Lean menyimpan kekecewaan, namun ia tak menyalahkan Arion. “Astaga, ayahku pastilah melindungi buku berharga ini, aku masih belum bisa mengelabuinya,” gumam Arion. “Maaf, teman-teman, aku tidak bermaksud-” “Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Arion, tidak ada yang perlu dimaafkan!” tegas Seema, raut wajahnya sangat serius. “Seema benar, Arion, kita hanya melakukan semampu kita saja, kau tidak salah.” Eireena pun setuju pada Seema. “Tapi, sebelumnya bagaimana kau yakin di buku ini tertulis tentang iblis dan penyakit aneh itu?” tanya Hero, “Kau pasti sudah membaca isinya sekilas, kan?” kata Hero memastikan Arion setidaknya mengingat sesuatu. “Jalan yang kupilih ini mungkin akan menjadi medan pertempuran yang panjang, tapi daripada hidup dengan rasa takut pada iblis itu dan kehilangan lebih banyak teman, aku menerima t
“Apa benar guru Farrabi yang bilang begitu?” Hero dicerca pertanyaan yang sama oleh teman-temannya. “Sulit dipercaya guru punya sisi lain begitu,” komentar Leander, yang ia tahu selama ini sosok Farrabi selalu terlihat diam dan tenang. “Dia guru yang mengagumkan,” kata Eireena dengan senyum di bibir tipisnya. “Kita memang tak bisa tahu sifat seseorang dari penampilan luarnya, kupikir guru Farrabi orang yang dingin,” ujar Arion. Ia memang ditekankan lebih disiplin oleh Farrabi, karena Arion menjadi contoh bagi anak-anak di bawah mereka. Tidak ada Seema di sana, gadis itu sedang melatih anak-anak di area latihan memanah. Saat selesai, ia pasti menyusul secepat kilat. “Tidakkah menurut kalian guru Farrabi sedikit kesepian?” Eireena melirik temannya satu per satu. “Bayangkan saja, dia tak sengaja ke sini, terlebih lagi dia satu-satunya manusia di Kota Gardraff yang tidak terikat dengan peri,” papar Eireena dengan gerakan tangannya. “Hero j
Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d
Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk
Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-
Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&
Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu
Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.
Helldan melahap jiwa peri penjaga kota yang ditangkapnya. Sayatan di kaki Helldan pun perlahan sembuh dan racun yang telah menyebar tak lagi bereaksi. Tawa iblis pengikut itu menggelegar memecah kedalaman hutan larangan.Helldan terbang ke sana ke mari seolah mengejek tiga remaja yang terduduk lemas karena menyaksikan salah satu penduduk Kota Gardraff telah gugur. Ia pun menghilang setelah melemparkan baju zirah penjaga kota ke arah Hero kemudian tertawa puas.Sementara itu, Hero, Seema, dan Leander nyaris tak mampu berdiri karena terkejut. Keberanian yang selama ini mengalir di diri mereka seketika menciut saat melihat kematian di depan mata untuk pertama kalinya.Hero terduduk sambil memegang baju zirah penjaga kota yang dijatuhkan Helldan. Tubuh penjaga itu telah sirna saat jiwanya ditelan.Pepohonan yang bergerak hampir menjauhkan posisi karena mereka bertiga hanya berdiam diri, tetapi Lyonell datang dan langsung melemparkan ketiga remaja itu ke pungg
Sembilan pedang suci terus berlatih mengasah kemampuan mereka. Melewati hari demi hari dengan latihan tanpa henti, Hector dan Argana bahkan pernah dibuat takjub akan kemampuan sembilan remaja itu.Namun, saat kebosanan mencapai puncak, beberapa orang di antara mereka diam-diam pergi ke pusat kota karena rindu pada suasana keramaian di sana.“Hero, kenapa berhenti?” tanya Seema ketika melihat Hero tertinggal di tengah-tengah pusat perbelanjaan kota.“Seema, Leander ... ayo, ikut aku!” ajak Hero kemudian menjauh dari keramaian. “Aku merasakan keberadaan aura itu lagi,” ucap Hero dan mengingatkan kedua temannya pada pertarungan Dryas melawan Helldan.“Di mana?” tanya Leander berbisik.Hero menunjuk hutan larangan dan kedua temannya pun terdiam sejenak. “Tunggu apa lagi? Ayo!” ajak Seema dan mereka pun kembali memasuki hutan larangan.Deretan pepohonan mulai bergerak secara acak. Mereka
Dryas menemui Atalla setelah melatih sembilan pedang suci. Ia pun menanyakan beberapa hal karena terusik dengan ucapan Helldan yang menyebutkan kutu pengganggu. Awalnya, Dryas berpikir maksud sebutan itu tertuju pada Farrabi sebab Farrabi adalah satu-satunya manusia di Kota Gardraff.Namun, sejak belasan tahun Farrabi berada di Kota Gardraff, para iblis tak menganggu sesering belakangan ini. Ia pun akhirnya sadar bahwa tak hanya Farrabi, melainkan Hero juga seorang manusia meskipun Atalla sudah mengangkatnya sebagai anak.Sementara itu, Atalla tidak merasakan ada sesuatu yang janggal di diri Hero. Remaja lelaki itu datang ke Kota Gardraff karena ia memenuhi syarat seperti manusia-manusia yang datang sebelum Hero.Dryas yang masih belum puas pun mendatangi Hero di malam hari. Mereka berbincang empat mata dan Dryas ingin mendengarkan cerita Hero selama di dunia manusia.“Sebelumnya aku tak terlalu peduli dengan manusia yang dipanggil Atalla ke kota in