Bulan sabit melengkung indah di langit malam, bintang pun bertaburan sangat mengagumkan. Zero menyeret langkahnya, ia merasa tak bertenaga sama sekali. Ini adalah hari ketiga ia tak mengonsumsi makanan apa pun. Rasa lapar yang tak dapat dijelaskan bagai melilit seluruh tubuhnya hingga remuk.
“Aku lelah sekali.” Zero berhenti sejenak dan mengambil botol minum di dalam ransel lusuhnya. Ia bahkan harus menghemat air itu. Tak ada yang bisa dimintai bantuan, justru ia bisa hidup hingga di usia 16 tahun ini karena membantu orang lain.
Satu tahun lalu saat usianya menginjak 15 tahun, Zero memilih keluar dari panti asuhan. Tidak ada alasan ia harus tinggal lebih lama, sebab di sana tak ada orang yang benar-benar menyayangi Zero.
Tubuh kurusnya sangat tidak seimbang dengan tinggi badannya 172 cm. Zero seperti orang-orangan sawah dibalut baju kaos hijau tua dan celana dengan sobekan yang tak normal di lutut. Beberapa orang yang melihat mungkin akan mengira ia adalah pengemis jalanan.
Menghabiskan waktu di panti asuhan, Zero tak menyangka bahwa dunia yang sesungguhnya sangatlah kejam. Ia berniat kerja, tetapi di mana-mana selalu diminta ijazah. Jelas ia tidak punya. Di panti asuhan ia hanya mengikuti pelajaran dari sukarelawan yang datang. Namun, ia adalah remaja lelaki yang gemar sekali membaca.
Pernah ia sedang asyik membaca di panti, tiba-tiba sekelompok temannya merebut buku tersebut. Zero tak melawan, ia sama sekali tak ingin menyakiti orang lain entah itu menggunakan lisan ataupun pukulan. Zero tak bisa melakukannya. Saat makanannya berkali-kali direbut, ia tidak pernah marah. Bagi Zero barangkali teman-temannya lebih membutuhkan.
Pengurus panti tahu dan menegur teman-teman Zero, namun itu justru memperburuk keadaan. Zero semakin dibenci. Ya, ia dibenci karena lemah dan terlalu baik hati. Zero amat tertindas, sering ditertawakan, dihina, dan diremehkan. Semua itu sudah menjadi makanan sehari-hari.
Seorang pengurus panti pernah menyarankan agar Zero sekali-kali melawan, akan tetapi ia berkata, “Aku tidak bisa karena mereka akan terluka nantinya, jika memang harus ada yang tersakiti di antara kami biarlah aku saja.” Zero tersenyum polos kala itu, dalam hal apa pun ia selalu mementingkan orang lain.
Di suatu hari tanpa diketahui teman-temannya dan pengurus panti, Zero memutuskan untuk pergi. Ia yakin tak ada orang yang merasa kehilangan dirinya. Zero berniat melihat keindahan dunia di luar sana, tapi jelaslah tak semudah perkiraan Zero. Setelah mencari kerja di mana-mana dan tak membuahkan hasil, Zero menawarkan jasanya untuk bekerja paruh waktu merawat hewan peliharaan orang lain. Ia juga pernah merawat kebun, menyirami bunga, menanam sayuran, memetik buah-buahan, hingga menjaga toko buku. Ia tinggal di kontrakan kecil yang disewa bulanan, awalnya meski diliputi serba kesulitan ia masih dapat bertahan sampai kesialan itu menimpanya.
Zero difitnah mencuri sejumlah besar uang di tempat kerjanya, jika ia tak segera kabur, mungkin sekarang sudah ditahan dan berada di balik jeruji besi karena kejahatan yang tidak ia lakukan. Ia memilih kabur karena tak memiliki siapa pun yang akan membelanya. Zero pun berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki. Jari-jari kakinya bahkan terlihat ingin keluar dari sepatu murahan yang ia beli diskonan.
“Apa hanya aku yang menderita seperti ini? Tidak punya keluarga, tidak memiliki siapa-siapa. Aku sendiri sampai lupa siapa nama asliku? Sejak kecil teman-teman sudah memanggilku Zero karena menurut mereka aku seperti telur yang busuk di dalamnya, tidak dapat berkembang. Seperti angka nol,” lirihnya pelan sambil mendongak melihat bulan sabit.
Ia mengedarkan pandangan, pastilah hari sudah terlampau malam hingga jalan raya seluas ini sudah sepi. Ia berdiri di dekat pembatas jalan, di bawah sana ternyata jurang yang cukup dalam ditumbuhi pepohonan besar. Zero bersandar dan untuk ke sekian kali menatap bulan sabit yang seolah menertawakan dirinya.
“Bulan, bawa pergi semua kesulitan dan kesialan yang kualami dalam hidup ini. Sebenarnya aku juga ingin bahagia seperti orang lain, aku ingin sekali saja merasakan hangatnya kebersamaan dengan orang-orang yang mencintaiku, tapi aku sadar itu adalah permintaan yang berlebihan.” Zero menghela napas beratnya.
Baru saja ia ingin melanjutkan langkah, tiba-tiba dari belakang datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dan menabrak tubuh lemah Zero. Ia terlempar jauh dan tak sempat memegang pembatas jalan, tubuh ringkih itu jatuh ke dalam jurang.
Kakinya sudah mati rasa, Zero tahu saat tubuhnya mencapai tanah ia pasti tak bisa diselamatkan lagi. “Rupanya aku berakhir menyedihkan seperti ini, sekarang aku benar-benar menyerah, aku sudah tak memiliki keinginan untuk hidup dan berjuang lagi,” ucap Zero di detik-detik terakhirnya.
Zero menyerah untuk pertama kalinya selama 16 tahun ini. Biasanya ia selalu bangkit setiap kali jatuh, selalu tersenyum meski dihina, dan selalu berbaik sangka saat menerima pukulan teman-temannya.
Apakah dunia ini yang terlalu jahat pada Zero ataukah ia yang terlalu baik untuk dunia ini? Jelas tak akan ada jawaban lagi, sebab tubuh lemah Zero bersimbah darah di tanah. Tulang-tulangnya pastilah patah terbentur pepohonan.
***
Uhuk-uhuk!
Zero terbatuk-batuk dalam posisi duduk, ia lalu memukuli dadanya yang terasa sesak. Matanya yang perih perlahan terbuka dan memperhatikan keadaan di sekeliling.
“Apakah ini tempat tinggal orang yang sudah mati? Atau aku jadi hantu gentayangan?” Zero amat resah dan terkejut, kepalanya diliputi tanda tanya. Terlebih ada banyak perubahan pada tubuh Zero.
Ia ingat tubuhnya kurus dan lemah, tapi sekarang tampak ideal bahkan wajah Zero yang tirus dengan mata cekungnya juga terasa membaik. Rahangnya lebih kuat dan di sepasang mata itu hanya memancarkan kebaikan.
“Jangan-jangan aku terlihat lebih tampan sekarang,” katanya sambil tersenyum malu pada diri sendiri. “Tidak rugi ditabrak mobil dan menjadi orang mati,” ujarnya lagi. Barangkali ini pertama kalinya senyum di wajah Zero merekah seindah itu. Ada kegembiraan kecil yang menggelitik hingga mendorong ekspresi bahagia di wajahnya lepas tanpa beban.
Selesai mengamati tubuhnya yang tiba-tiba menjadi gagah, Zero baru sadar ternyata ada pohon raksasa di belakangnya, di sekitar pohon itu ada rerumputan dan bunga-bunga kecil.
Ini bukan jurang tempat Zero terjatuh sebelumnya. Ini pastilah tempat tinggal orang mati. Begitulah ia berkali-kali meyakinkan diri.
“Hei pohon besar, tetaplah berdiri kokoh seperti ini! Jangan limbung walau sekuat apa pun badai menerjangmu, jangan pernah menyerah untuk melindungi dan memberikan keteduhan pada mereka yang ada di bawahmu.” Zero menepuk-nepuk batang pohon yang besarnya puluhan kali lipat tubuh Zero.
Ia kemudian beranjak menghampiri danau kecil dan melihat wajahnya. “Tidak ada yang berubah, aku hanya terlihat lebih baik dari sebelumnya,” kata Zero lalu mencuci rambut hitamnya yang terasa lebih panjang.
“Sejak kapan rambutku mencapai tengkuk begini?” pikirnya, tetapi Zero tak terlalu pusing akan hal itu. Air di danau amat menyegarkan, Zero meminum cukup banyak sebelum ia kembali melanjutkan langkah.
Tidak ada matahari, tidak ada bulan sabit, bahkan satu kilau bintang pun tidak ada. Cuaca dan suasana di sini sangat berbeda. Langit tidak berwarna biru, hitam, apalagi jingga, hanya tampak sendu seperti mendung yang hujannya tak turun-turun. Namun, Zero tetap bisa melihat dengan baik dan dapat membedakan banyak warna-warni bunga yang tadi ia jumpai.
“Aku istirahat di sini saja.” Zero melihat gerbang megah dan pagarnya dipenuhi bunga wisteria. Belum sempat ia merebahkan badan, sosok yang lebih gagah dari Zero tiba-tiba muncul.
“Mulai sekarang ... namamu adalah Hero Gladiolus dan aku akan menjadi ayahmu.” Lelaki itu tersenyum, seolah ia sudah menunggu kedatangan Zero sejak lama.
Hidup sebagai remaja yatim piatu selama ini membuat dada Zero bergemuruh ketika seseorang datang dan mengatakan akan menjadi ayahnya. Lelaki itu mengulurkan tangan dan meminta Zero berdiri.“Selamat datang ... aku adalah Atalla Gladiolus, yang memanggilmu ke dunia ini.” Atalla menyambut Zero dan memecah keheningan di antara mereka, ia kemudian mengajak Zero beranjak dari sana.“Se-sebenarnya aku masih tidak mengerti,” kata Zero seraya menggaruk kepalanya. Ada senyum kecil di wajah yang salah tingkah itu.“Nanti kau pasti akan mengerti, dan aku juga tidak memiliki niat jahat padamu. Singkatnya kau dipanggil ke sini karena aku dan penduduk kota ini membutuhkanmu,” jelas Atalla. Ah, rupanya masih tak dapat mengusir tanda tanya di kepala Zero.“Dan aku akan lebih senang jika kau menerima nama pemberianku dan bersedia menjadi anakku,” lanjut Atalla. Mereka berdua berjalan pelan melewati gerbang kota. Zero melihat
“Yo! Apa yang sedang kaupikirkan?” Leander menepuk bahu Hero dan membuyarkan lamunannya.“Kau pasti tahu ada banyak hal yang membuatku bingung,” jawab Hero pelan.Leander yang mengenakan pakaian santai itu mengambil sesuatu dari saku celananya. “Ini pakailah! Wajahmu tampak kusut dengan rambut begitu, atau kaupotong pendek saja sepertiku,” saran Leander lalu menyodorkan karet gelang untuk Hero.Hero tersenyum mengingat ia tidak merapikan rambutnya yang tumbuh lebih panjang saat tiba di Gardraff. Selesai merapikan setengah bagian rambutnya yang menghalangi pandangan, Hero mengucapkan terima kasih. Leander tampak bersahabat dan ramah, tak butuh waktu lama mereka pun bisa akrab.“Lean ... oh, ayolah! Kenapa kau bisa lupa kegiatan hari ini?” Seema datang dari belakang.“Hei! Aku tidak lupa, ini baru saja mau mengajak Hero,” sanggah Leander.“Ayo, cepat! Kita berangkat,” ajak
“Oh iya, Lean ... apa manusia yang dipanggil ke sini memiliki kriteria tertentu?” Hero tak henti meluncurkan pertanyaan di sepanjang jalan.“Kami tidak tahu terlalu banyak tentang masalah orang dewasa, Hero. Namun dari penyelidikanku selama ini ada dua hal penting yang harus ada di diri manusia itu, suka menolong dan kebaikan hatinya murni,” jelas Leander seraya tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Ia kembali menepuk bahu Hero seolah menegaskan bahwa Hero memang pantas berada di Gardraff.“Saat Kota Gardraff resmi berdiri, paman Atalla melakukan pemanggilan. Setiap tahun begitu, dan mereka para manusia itu sudah mengajari kami banyak hal,” lanjut Lean.Mereka kemudian berhenti sejenak, sebelah Timur Kota Gardraff sangatlah indah. Di sini semua penduduk memiliki ladang, daerah Timurlah yang menopang kebutuhan makanan pokok semua penduduk kota. Sayur, buah, hingga berbagai macam bunga tumbuh subur. Daerah Timur Kota Gardraf
Mereka bertiga berjalan pelan menuju istana. Hero mendongak melihat langit Kota Gardraff tak berubah sama sekali, masih tampak sendu seperti kemarin. Tak bisa membedakan siang dan malam di sini, para penduduk hanya dapat melihat jam seperti yang diajarkan oleh manusia yang pernah datang.“Menjelang jam malam, apa ada tanda khusus di kota ini?” tanya Hero, mengingat sejak kedatangannya ke sini Hero belum pernah tidur. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal sehingga ia selalu terjaga di kamarnya.“Sebentar lagi kau akan melihat ada cahaya yang menyala,” jawab Leander. Dan benar saja, di depan rumah setiap penduduk menyala bola-bola api kecil berwarna ungu pucat.“Itu ide adikku, dan ayah yang mewujudkannya,” ujar Seema dengan wajah bangga. Ia terlihat bahagia karena Genio bisa memikirkan ide cemerlang. Ini dimulai sejak Seema membakar habis tanaman Leander empat tahun lalu. Genio memang masih anak-anak, tapi menurutnya jika
“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero. “Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu
Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang ak
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d
Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk
Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-
Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&
Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu
Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.
Helldan melahap jiwa peri penjaga kota yang ditangkapnya. Sayatan di kaki Helldan pun perlahan sembuh dan racun yang telah menyebar tak lagi bereaksi. Tawa iblis pengikut itu menggelegar memecah kedalaman hutan larangan.Helldan terbang ke sana ke mari seolah mengejek tiga remaja yang terduduk lemas karena menyaksikan salah satu penduduk Kota Gardraff telah gugur. Ia pun menghilang setelah melemparkan baju zirah penjaga kota ke arah Hero kemudian tertawa puas.Sementara itu, Hero, Seema, dan Leander nyaris tak mampu berdiri karena terkejut. Keberanian yang selama ini mengalir di diri mereka seketika menciut saat melihat kematian di depan mata untuk pertama kalinya.Hero terduduk sambil memegang baju zirah penjaga kota yang dijatuhkan Helldan. Tubuh penjaga itu telah sirna saat jiwanya ditelan.Pepohonan yang bergerak hampir menjauhkan posisi karena mereka bertiga hanya berdiam diri, tetapi Lyonell datang dan langsung melemparkan ketiga remaja itu ke pungg
Sembilan pedang suci terus berlatih mengasah kemampuan mereka. Melewati hari demi hari dengan latihan tanpa henti, Hector dan Argana bahkan pernah dibuat takjub akan kemampuan sembilan remaja itu.Namun, saat kebosanan mencapai puncak, beberapa orang di antara mereka diam-diam pergi ke pusat kota karena rindu pada suasana keramaian di sana.“Hero, kenapa berhenti?” tanya Seema ketika melihat Hero tertinggal di tengah-tengah pusat perbelanjaan kota.“Seema, Leander ... ayo, ikut aku!” ajak Hero kemudian menjauh dari keramaian. “Aku merasakan keberadaan aura itu lagi,” ucap Hero dan mengingatkan kedua temannya pada pertarungan Dryas melawan Helldan.“Di mana?” tanya Leander berbisik.Hero menunjuk hutan larangan dan kedua temannya pun terdiam sejenak. “Tunggu apa lagi? Ayo!” ajak Seema dan mereka pun kembali memasuki hutan larangan.Deretan pepohonan mulai bergerak secara acak. Mereka
Dryas menemui Atalla setelah melatih sembilan pedang suci. Ia pun menanyakan beberapa hal karena terusik dengan ucapan Helldan yang menyebutkan kutu pengganggu. Awalnya, Dryas berpikir maksud sebutan itu tertuju pada Farrabi sebab Farrabi adalah satu-satunya manusia di Kota Gardraff.Namun, sejak belasan tahun Farrabi berada di Kota Gardraff, para iblis tak menganggu sesering belakangan ini. Ia pun akhirnya sadar bahwa tak hanya Farrabi, melainkan Hero juga seorang manusia meskipun Atalla sudah mengangkatnya sebagai anak.Sementara itu, Atalla tidak merasakan ada sesuatu yang janggal di diri Hero. Remaja lelaki itu datang ke Kota Gardraff karena ia memenuhi syarat seperti manusia-manusia yang datang sebelum Hero.Dryas yang masih belum puas pun mendatangi Hero di malam hari. Mereka berbincang empat mata dan Dryas ingin mendengarkan cerita Hero selama di dunia manusia.“Sebelumnya aku tak terlalu peduli dengan manusia yang dipanggil Atalla ke kota in