Suasana ruang tamu hening, meski ada beberapa orang di sana. Orang tua Mimi, Velia dan Allan, lalu Ricky dan Dayinta. Mereka diam, memandang pada Mimi yang duduk dengan wajah sendu, sesekali memandang pada Nehan. Mimi, menguatkan hatinya untuk bertemu Nehan. Sebenarnya dia belum siap. Tapi dia meyakinkan dirinya sendiri, dia harus menyelesaikan persoalan dengan Nehan. Viviana dan Hendra ada di kiri dan kanannya. Mereka mendampingi Mimi agar gadis itu bisa tetap tenang berhadapan dengan Nehan. "Ayo, kita ke dalam." Velia mengusap pundak Allan. Dia berpikir Mimi mungkin akan lebih nyaman jika tidak banyak orang yang ikut terlibat dengan pembicaraannya. Allan mengangguk. Lalu dia mengikuti Velia ke dalam. Begitu pula Ricky dan Dayinta akhirnya memilih meninggalkan ruang tamu. Tinggal Nehan berhadapan dengan Mimi dan orang tuanya. Dia melihat Mimi yang memandang lurus padanya, tapi tatapan Mimi tidak ke arahnya. Mimi memang tidak mau melihat Nehan. Rasa marah dan muak memenuhi rongga d
Hari-hari berlalu. Mimi makin membaik. Kesedihannya perlahan menghilang. Apalagi dia fokus dengan studinya. Ujian sudah di depan mata. Hingga akhir bulan Mimi akan bergelut dengan berbagai ujian. Mimi tidak mau memikirkan yang lain. Setiap ingat Nehan, dia akan cepat alihkan dengan melakukan berbagai aktivitas. Viviana sudah balik ke Surabaya. Tapi setiap hari berulang kali Viviana akan menghubungi Mimi, memastikan jika putrinya itu baik-baik saja. Velia dan Allan juga sama. Mereka terus mendampingi Mimi agar dia cepat pulih. "Mi, kalau ujian selesai, kamu pulang?" tanya Allan. "Iya, Kak. Aku mau pulang." Mimi menjawab sambil tangannya menyirami bunga-bunga di taman depan. Sementara Allan merapikan sederetan tanaman di sisi yang lain. "Aku antar, ya? Jadi papa mama kamu ga usah jemput ke sini." Allan menawarkan diri. "Oh, oke ...." Mimi menoleh pada Allan. Lalu dia kembali memperhatikan tanaman yang dia siram. "Ada rencana ke mana gitu, liburan?" tanya Allan lagi. "Belum tahu, K
Mimi memandang Allan. Pria tampan di depannya itu menunggu jawaban Mimi. "Aku ... Beri aku waktu ... Aku akan memikirkannya." Mimi mengalihkan pandangan. Dia melihat keluar jendela mobil, lurus ke depan. Allan sedikit kecewa. Meskipun dia tahu sangat mungkin Mimi tidak akan segera menjawab, dia tetap berharap, ada peluang Mimi bisa menerima dia. "Oke. Aku akan menunggu. It is okay." Allan mengulum senyum tipis di bibirnya. Lalu kembali dia menjalankan mobilnya. Perjalanan mereka berlanjut. Dan suasana tidak seceria sebelumnya. Baik Allan maupun Mimi tidak banyak bicara. Senyum dan canda hanya sesekali saja terdengar. Hingga tiba di rumah keluarga Mimi, kekakuan belum juga mencair. Setelah mobil di parkir, segera Mimi turun. Sambil. Menenteng kopernya, Mimi bergegas masuk ke rumah. Dia mencari Viviana, sang ibu. Viviana memeluk Mimi erat. Dia sangat lega putrinya pulang dengan keadaan baik. Mimi bisa tersenyum lebar. Sangat melegakan. "Terima kasih sudah mengantar Mimi, Allan. Ka
Mimi membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Allan masuk. Lalu dia mengantar Allan ke kamar tamu yang ada di sebelah kiri ruang tamu. "Kakak istirahat saja. Atau, Kakak mau makan?" Mimi bertanya pada Allan. "Aku sudah makan. Om dan Tante ....""Papa dan Mama sudah di kamar. Kalau ga perlu apa-apa, aku ke kamarku, Kak," sahut Mimi. "Oke. Makasih, Mi." Allan tersenyum. Ingin sekali dia bertanya, apakah Mimi siap menjawab permintaannya. Tapi Allan ragu-ragu. Mimi melangkah menjauh. Muncul tiba-tiba ide di kepala Allan. Dia memanggil gadis itu. "Mimi!" Mimi menghentikan langkah dan menoleh. "Ehh, besok mau jalan?" tanya Allan. "Kakak ga ada urusan sama Andini?" balas Mimi. Yang Mimi tahu Allan ke Surabaya untuk keperluan pekerjaan. "Ternyata tadi udah langsung kelar. Jadi besok aku free. Mau ya?" pinta Allan. "Oke. Kakak mau ke mana, aku antar," ucap Mimi. "Lihat besok, deh. Sekarang kamu pasti udah capek," kata Allan. "Iya. Selamat malam. Selamat istirahat, Kak." Mimi menerusk
Liburan terasa panjang. Sehari, seminggu, dua minggu, Allan tidak sabar. Dia sangat rindu pada Mimi. Rasanya ingin segera bertemu lagi dengan gadis itu. Bagaimana tidak rindu? Saat Mimi bilang iya, mau jadi kekasihnya, malah mereka berjauhan. Allan mencoba mengulik agar Mimi mau segera balik ke Malang. Tapi Mimi belum goyah. Gadis itu juga masih asyik dengan liburannya. Sebenarnya Mimi ingin cepat ke Malang lagi. Dia sengaja tinggal lebih lama, karena akan memberi Allan kejutan. Tidak lama Allan akan merayakan ulang tahun. Dan saat itulah Mimi akan muncul di hadapan Allan. "Kangen. Serius, Mi. Tiap hari cuma mandang lukisan kamu. Senyum, sih, sayangnya ga bisa balas kalau aku ngomong." Allan sedikit cemberut. Mimi mesem, menutup mulut dengan tangan. Lucu sekali melihat ekspresi Allan. Dia bisa bersikap sok manja begitu. Padahal selama ini Allan selalu jaim dan berlagak dingin. Kalau dia bisa sampai begini, Allan benar-benar telah kembali pada dirinya yang sebenarnya. "Ketawa aja, y
Mimi masuk ke rumah Allan. Dia tidak bisa menunggu lebih lama untuk waktu yang sudah dia rencanakan. Balik Malang saat ulang tahun Allan kurang tiga hari lagi. Saat komunikasi terakhir, Allan terlihat sangat galau. Dia tidak mengatakan kenapa, tapi Mimi tahu Allan butuh teman untuk bicara. Meskipun dia cukup dekat dengan Velia, ada hal-hal yang Mimi tahu Allan hanya menyimpan bagi diri sendiri. Mimi yakin kali ini juga Allan tidak bicara tentang kegalauan hatinya pada Velia. Mimi meletakkan tasnya dalam kamar, lalu dia menuju ke kamar Allan. Dia mengetuk pintu kamar kekasihnya. Ah, kekasih. Mimi masih merasa aneh dan lucu kalau ingat Allan telah menjadi kekasihnya. Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Artinya Allan ada di ruang kerjanya. Segera Mimi beranjak ke kamar belakang, ke tempat Allan bekerja. Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Mimi mendorong lebih lebar dan mengintip ke dalam. Di sana Allan sedang melukis di atas kanvas yang tidak begitu besar. Tampak dia sangat serius. Mi
Allan menatap laut luas di depannya. Ada beberapa kapal nelayan di kejauhan. Langit cerah dengan awan yang tak lelah bergerak dan berubah bentuk. Indah. Cantik. Lama, Allan tak melihat keindahan ini. Hari itu Mimi mengajak Allan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahunnya. Hanya berdua, manis sekali rasanya. "Kak, lihat!" Suara ceria Mimi memecah lamunan Allan. Dia menoleh dan melihat Mimi sibuk membangun sebuah istana pasir. Senyum Allan melebar. Dia menghampiri Mimi. Tangannya seketika asyik bermain dengan kamera yang dia pegang. Dengan lincah dan cekatan Allan mengambil cukup banyak gambar, mengabadikan momen istimewa hari itu. "Jangan main kamera aja. Sini! Seru, Kak!" Mimi mengajak Allan ikut bermain pasir dengannya. "Oke. Aku mau buat istana ini jadi tempat kita dan anak-anak kita tinggal." Allan duduk di sebelah Mimi. Mimi menoleh. "Anak kita?" Mendengar ucapan Allan Mimi cukup kaget. "Iya. Kamu dan aku akan menikah nanti." Tangan Allan sudah memegang pasir. Lalu mulai
Allan melihat pada Velia. Seorang wanita yang kuat dan tegar. Allan semakin mengagumi mamanya dengan semua perjuangan yang dia lewati hingga Allan menjadi dewasa dan siap mengejar hidupnya sendiri. Sekalipun harus kecewa dengan pria yang pernah singgah dalam hatinya, Velia bisa bangkit dan hidup dengan baik. Prinsipnya yang kuat membuat dia tidak kalah dengan keadaan yang sulit. "Aku, ya ... beberapa waktu lalu masih kontak dia, Ma. Tapi, jangan kuatir, aku tidak akan beralih hati." Allan mendekati Velia. Dia menatap kedua mata Velia yang sedikit resah. "Buat aku, Mama pahlawan hidupku. Terima kasih sudah berjuang begitu hebat buat aku. Aku justru selama ini yang membuat Mama sedih dan kecewa." "Allan ...." Velia berucap lirih sambil memandang putranya yang hari ini genap dua puluh empat tahun. "Aku sayang Mama, sangat sayang. Papa, dia bagian yang tak bisa aku buang dari hidupku. Bagaimanapun karena dia, aku ada bersama Mama sekarang. Tapi percaya aku, Ma, aku akan tetap bersama Ma
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter