Dayinta dan Ricky mengharap Mimi segera menjawab pertanyaan mereka. Apakah Mimi dan Allan memang berpacaran? Mimi menarik bibirnya, senyum manis mengembang di sana. Makin merona wajah gadis cantik itu. "Iya, aku udah jadian sama Kak Allan." Sedikit malu Mimi berucap. "Ahh ...." Dayinta merangkup bahu Mimi. Senyum Dayinta melebar. Dia senang, Mimi dan Allan bisa menjalin kasih. Mimi akan bahagia. Allan akan punya penyemangat dalam hidupnya. Mimi mampu mengobati luka hati Allan. Bersama Mimi, ke depan Allan akan lebih kuat menghadapi semua. Ricky memperhatikan Dayinta. Cewek itu terlihat gembira karena Mimi bisa jadian sama Allan. Ricky berharap itu tulus dari hati Dayinta. "Doakan aja aku dan Kak Allan akan baik-baik selalu. Seperti kalian. Hee ..." Mimi membalas rangkulan Dayinta. "Cerita gimana bisa akhirnya kamu jawab oke." Dayinta penasaran minta Mimi cerita. "Ihh, apaan kamu? Nggak ah, malu." Mimi makin bersemu merah. "Ada memori ga? Mau lihat, dong." Dayinta masih belum p
Pagi jam tujuh, Allan sudah rapi dan siap berangkat. Dia akan mengantar Andini jalan ke pantai hari itu. Sayangnya, Mimi tidak bisa ikut. Dia harus ke kampus karena persiapan kegiatan penerimaan mahasiswa baru. Akhirnya Allan mengajak salah satu teman fotografer untuk menemani. Dia tidak mau hanya berdua dengan Andini selama perjalanan. "Selamat bersenang-senang. Pahadal aku mau ikut. Kenapa waktunya ga pas lagi?" Mimi sedikit merajuk. "Nanti kita pergi berdua. Malah lebih seru. Ya kan?" Allan memencet hidung Mimi dan menggoyang-goyangnya. "Hee ... heee ... Iya ...." Mimi tersipu. "Aku jalan dulu." Allan mengangkat tasnya dan menyampirkan di bahu. "Kakak hati-hati," pesan Mimi. "Mi ...," panggil Allan. "Ya, Kak?" Mimi melihat Allan. Allan menepuk pipinya, minta kecupan dari Mimi. "Aahh, udah ah, malu aku ...." Mimi makin tersipu dan cepat masuk ke dalam rumah
Allan masih sedikit tidak nyaman dengan sikap Andini. Apakah Andini ada rasa padanya? Semakin ke sini, dia lebih berani dan bebas. Atau Allan yang berpikir terlalu jauh? Andini adalah seorang model, yang biasa bergaul dengan berbagai macam orang. Sangat mungkin pergaulan dia memang lebih terbuka seperti itu. Allan mencoba menyisihkan pikirannya yang mungkin saja dia kepedean. Andini itu publik figur, dia punya relasi sangat luas. Aneh saja jika dia sampai mau melihat pria seperti Allan. Ya, Allan mencoba menepis pikiran yang muncul dan sedikit mengganggu. Mobil Allan masih ke garasi. Dari pintu samping Mimi muncul. Gadis itu pasti menunggunya. Senyum Mimi lebar saat melihat Allan turun dari mobil. "Hei, sudah ditunggu. Aku sedikit yakin sekarang, kamu kangen sama aku." Allan membalas senyum manis Mimi. "Bawa oleh-oleh nggak?" Mimi malu juga mengakui kalau dia memang kangen Allan dan ingin cepat bertemu lagi. "Ya, aku baper. Yang diharapkan bukan aku, oleh-olehnya." Allan nyengir.
Pria itu melangkah mendekati Allan, Velia, dan Mimi. Dia berdiri di hadapan Allan dan mengulurkan tangannya. "Selamat, Nak. Papa bangga padamu." Ferdinand melepaskan senyumnya pada Allan. Allan menatap papanya datar. Dia mengulurkan tangan berjabat tangan dengannya. "Terima kasih," ucap Allan. "Kenapa kamu datang?" Velia bertanya dengan nada ketus. Ferdinand melihat pada Velia. "Anakku diwisuda. Papanya harus hadir. Dan ini sangat terlambat. Seharusnya aku ada saat dia lulus SD, tamat SMP, dan tuntas SMA. Tapi aku tidak punya kesempatan. Kali ini, mana mungkin aku lewatkan, Lia." Velia mengepalkan tangannya kesal. Dia memegang tangan Allan dan berkata, "Allan, kita pergi." "Ya, Ma." Allan memutar badan dan melangkah meninggalkan Ferdinand di sana, mengikuti langkah Velia. "Permisi, Om." Mimi menyapa Ferdinand, sedikit mengangguk lalu menyusul Allan dan Velia. Ferdinand tidak menyerah. Dia mengejar ketiga orang di depannya. "Velia, kali ini saja. Beri aku kesempatan bersama pu
Sejak pembicaraan sore itu dengan Mimi, Velia berpikir lama tentang perjalanan panjang kehidupannya. Saat masih remaja, Velia kehilangan ayahnya karena kecelakaan kerja. Dia hidup hanya berdua dengan ibunya yang berjuang keras mencukupi semua kebutuhan hidup mereka. Hingga masuk SMA, Velia terpaksa bekerja sambil meneruskan sekolah. Dia menjadi guru les untuk anak-anak sekolah dasar. Perjuangan tidak mudah hingga Velia selesai SMA. Baru satu tahun kuliah yang susah payah dia kejar dengan biaya siswa, ibunya menderita sakit dan hanya beberapa bulan Velia harus melepas kepergian sang ibu untuk selamanya. Rasanya kata bahagia begitu jauh dari hidup Velia. Kemudian, saat di akhir-akhir masa kuliah, dia bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit. Di sana dia bertemu Ferdinand. Pria yang mapan, matang, dan cerdas. Seorang yang baik dan punya masa depan. Velia tidak bisa menolak, hatinya terpana pada Ferdinand yang memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang. Usia Velia dan Ferdinand yang
Mimi merasa debaran di dadanya makin melanda. Pertanyaan Allan membuat Mimi memerah. Wajahnya merona. Dia marah dan cemburu karena model cantik itu. Apakah benar Mimi sudah cinta Allan? Rasa simpati dan kagum yang ada, sungguhkah berubah menjadi cinta buat Allan sebagai seorang pria? Allan menunggu Mimi menjawab pertanyaannya. Hati Allan juga berdenyut. Tentu saja dia mengharapkan Mimi bukan hanya sayang padanya sebagai seorang kakak, tapi gadis itu bisa cinta padanya sebagai laki-laki yang ingin membahagiakan hidupnya. "Eh ..." Sedikit rasa malu muncul di hati Mimi. Dia memandang Allan dan menghela nafasnya. "Kalau kamu merasa tidak ..." Mimi memegang kedua tangan Allan. "I love you." Mimi mengucapkan kalimat itu, lalu sedikit menunduk, makin degdegan rasa di hati. Allan tersenyum lega, hatinya menghangat. Dia genggam kuat tangan Mimi dan menatapnya. Mimi tidak berani melihat Allan. "Mi ... Ini beneran?" Allan bertanya.
Sangat jelas Mimi mendengar Andini berkata pada Allan. Model cantik itu suka pada kekasih Mimi. Allan terlihat terkejut dengan yang Andini katakan. Apalagi Mimi. Apakah Allan tidak memberitahu Andini kalau dia punya pacar? Makanya Andini berani mengungkapkan isi hatinya? "Mimi?!" Allan berdiri melihat pada Mimi yang seketika wajahnya memerah. "Maaf, aku mengganggu. Lanjutkan saja. Sebaiknya aku pulang." Mimi berkata dengan menahan air mata yang hampir jatuh. Lalu dia berbalik dan segera melangkah. Allan berniat mengejar Mimi, tapi Andini lebih cepat menarik tangan Allan. "Itu kekasih kamu?" tanya Andini. "Ya. Aku harus mengejar dia." Allan melepaskan pegangan Andini dan cepat-cepat mengejar Mimi. Mimi sudah di luar ruangan. Dia menunggu ojek online yang dia pesan. Allan mendekati Mimi. "Mimi, kamu marah?" tanya Allan dengan gamang. "Nggak. Aku hanya ga mau mengganggu. Kaka
Dengan lesu dan merasa kacau, Allan masuk ke dalam rumah. Hingga jam delapan malam lewat baru Allan bisa sampai di rumah. Allan hanya ingin bertemu Mimi dan memeluk gadis itu. Hatinya sangat perih dan sakit. Kamar Mimi masih menyala. Berarti gadis itu belum tidur. Allan mengetuk pintu kamar Mimi. Di dalam Mimi tengah duduk dan membaca sebuah buku. Dia mencoba mengalihkan marah di hatinya dengan masuk dalam kisah yang dia baca. Tok tok tok! Lagi pintu kamarnya diketuk. Mimi tahu Allan ada di balik pintu itu. Malas, tapi dia tak bisa menghindar. Mimi bangun dan melangkah ke pintu. Dia membukanya dan melihat Allan di sana, berdiri dengan wajah kuyu. "Mi ...," ucap Allan lirih. Mimi tidak mengatakan apa-apa. Dia juga memandang Allan dengan muka tidak gembira. "Please ... give me a hug ...." Mata Allan berkaca-kaca. Sejak tadi Allan memendam semua sedih. Sekuat mungkin dia berusaha tidak menangis. Di depan Mimi rasanya ingin dia tumpahkan semuanya. "Kak ...." Mimi menatap Allan yang
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter