Lea menatap Andini dengan marah. Anak gadisnya berteriak pada Ferdinand? Seumur hidup tidak pernah Andini bicara kasar pada orang tua. Lea sangat terkejut. "Andini? Kenapa kamu bicara seperti itu pada papa kamu?" ujar Lea. "Tanya saja padanya, kenapa aku muak melihat dia!" Dan Andini berbalik, dia membanting pintu dengan keras. Dia melompat ke atas kasur dan kembali menangis. Dia ingin memberitahu mamanya, tapi ternyata tidak semudah itu. Sisi lain hatinya juga tidak sanggup. Dia tidak ingin melihat mamanya menangis. Berat, berat sekali situasi ini. "Kak Astari ...." Andini ingat kakaknya. Kakaknya baru saja menikah tiga bulan lalu dan tinggal dengan suaminya. Apakah sebaiknya dia bicara pada kakaknya? Nanti pasti suami Astari juga akan tahu. Lalu ... Andini semakin bingung. Di depan pintu kamar Lea memandang Ferdinand. Pasti ada masalah besar. Tidak mungkin Andini akan bersikap seperti itu pada papanya jika ini hanya sekedar dia ingin sesuatu dan papanya tidak mau memberikan. "Ka
Sebelum Velia semakin bingung, Allan mulai mengatakan bagaimana dia bisa tahu tentang Andini. Pertemuan yang tidak sengaja dengan Ferdinand, lalu muncul Andini. Allan menduga, Ferdinand sebenarnya datang ingin bertemu Andini di event itu. Ternyata dia justru bertemu Allan lebih dulu, kemudian Andini melihat mereka. Velia panik dan kacau. Dia seketika berubah cemas dan sedikit pucat. Pikirannya sudah berputar ke mana-mana. Jika istri dan anak-anak Ferdinand tahu, lalu menghubunginya. Mereka akan mengata-ngatai dia perebut suami orang. Wanita tidak tahu diri. Dia paling tidak mau itu yang dia dengar. Dia hanya korban dari laki-laki yang tidak bisa menahan nafsu, lalu terjerat pernikahan yang salah. Velia pun tertipu. "Mama ...." Allan merangkul bahu Velia. "Ya ... ya ...." Velia bingung berkata apa. Tapi dia harus tetap tenang. Dia yakin pasti dia bisa lewati ini. Semua itu sudah lewat. Semua itu sudah lama terjadi. "Maafkan aku ...." Allan merasa bersalah. Seandainya dia tidak perna
Hampir dua minggu berlalu sejak Allan tahu kenyataan siapa Andini. Tidak ada kabar apapun datang dari keluarga Ferdinand. Andini tidak memberi kabar, Ferdinand juga tidak menghubungi. Allan cukup lega. Mungkin mereka memilih melupakan saja. Karena Allan dan Velia hanya masa lalu Ferdinand. Entah kenapa, Allan juga berharap Andini baik-baik saja. Ibu dan kakaknya juga. Dia tidak mau gadis yang baik hati dan ramah itu akan merasakan rumah yang hampa seperti dirinya. Hari ini Allan dan Mimi pergi menemui Yudha. Boleh dikata, setidaknya sebulan dua kali Allan akan datang mengunjungi sahabatnya itu. Yudha semakin ceria dan bersemangat. Meskipun dari balik terali besi, dunianya tidak berhenti. Allan dan teman-teman terus mendukung. Dalton, yang juga punya galeri sendiri, menjadi tempat Yudha memasarkan hasil karyanya. Untuk teman-teman napi yang lain yang berhasil Yudha latih, juga bisa menyalurkan hasil karyanya di galeri Dalton ataupun Allan. Mimi memperhatikan Allan dan Yudha yang bicar
Velia semakin terkejut mendengar yang Allan katakan. Allan akan pergi ke Bandung menemui Ferdinand? Debaran jantung Velia seketika melaju cepat. Itu artinya Allan akan bertemu dengan keluarga Ferdinand. Sama saja Allan menyerahkan diri untuk mereka habisi. "Tidak. Allan, Mama tidak mau kamu pergi." Velia memegang tangan Allan. Allan merasa tangan mamanya sangat dingin dan berkeringat. Velia sangat cemas. "Ma, ada rasa takut kalau papa ga bertahan. Apakah salah jika aku menemuinya untuk yang terakhir kali?" Allan memandang Velia dengan mata nanar. Itu yang muncul dalam pikiran Allan. Seandainya Ferdinand tidak mampu bertahan, setidaknya dia melihat papanya walaupun resikonya dia akan ditolak di sana. "Lan, kalau sampai mereka marah melihat kamu, papamu bukan akan jadi baik. Kondisinya bisa makin buruk. Mama ga mau." Velia sangat kuatir jika sesuatu yang buruk justru akan terjadi pada Allan. Cukup kenyataan dia lahir di situasi yang salah. Cukup kenyataan itu membuat Allan harus terpi
Allan berdiri di depan kamar tempat Ferdinand dirawat. Mimi ada di sebelahnya. Andini dan Astari masuk ke dalam kamar. Mereka sedang bicara dengan Lea, mama mereka. Allan merasa detak jantungnya begitu cepat. Dia sangat tegang. Seperti apa Lea? Seperti apa wanita yang menjadi istri papanya? Tangan Allan tidak melepaskan pegangan dari tangan Mimi. Tanpa dia bicara, dia seolah berkata, dia perlu keberanian lebih menghadapi ini. Mimi sangat mengerti yang Allan rasakan. Allan memang seorang pria yang berhati lembut. Bahkan dia cenderung rapuh. Mimi paham, itu sangat mungkin terjadi karena Allan tidak punya figur papa yang kuat dan tegar saat masa-masa dia bertumbuh. "It is okay. Kalau Kak Andini dan Kak Astari baik sama Kakak, pasti ibu mereka juga baik." Mimi meyakinkan Allan semua akan baik-baik saja. Allan meremas tangan Mimi, lalu mengangguk. Pintu ruangan terbuka. Dari dalamnya seorang wanita yang usianya lebih dari setengah baya muncul. Cantik. Ada aura sedih di wajahnya, tetapi t
Tidak. Allan tidak boleh secepat ini pergi. Itu yang ada di pikiran Astari. Dia baru bertemu Allan. Ada banyak yang dia ingin bicarakan dengan adik laki-lakinya yang baru dia kenal. Dengan cepat Astari membalas chat Andini. Dia minta Andini menahan Allan. Alasannya lebih baik Allan menunggu perkembangan Ferdinand. Setidaknya pastikan sampai besok atau lusa. Astari sangat berharap kalau Andini berhasil meminta Allan stay. Entah dengan cara apa, Andini harus bisa menahan Allan agar tidak langsung pulang. Beberapa saat kemudian ada balasan Andini. Allan setuju dengan permintaan Astari. Dia akan tinggal satu hari lagi. Namun, Allan menunggu di hotel, bukan di rumah sakit. Astari lega. Setidaknya dia punya kesempatan untuk bicara dengan Allan sebelum Allan pulang. Astari memberitahu Lea kalau Allan sudah pergi. Lea pun mengajak Astari kembali ke kamar. Ferdinand tidur dengan tenang di dalam kamar. Andini duduk di sebelah tempat tidur menemani papanya. "Ma, aku mau pulang dulu. Nanti mal
Allan memandang keluar jendela kafe. Namun, pikirannya kembali di masa kanak-kanaknya. Masa dia sangat kehilangan Ferdinand tanpa penjelasan yang memuaskan dari Velia. Saat Allan bertanya tentang papanya, Velia berkata, mereka tidak bisa lagi hidup dengan Ferdinand. Velia hanya memberi jawaban dangkal, papa ada urusan, tidak boleh diganggu. Velia tidak mengatakan alasan yang sebenarnya hingga Allan kelas 5 SD. Tanpa sengaja Allan mendengar mamanya bicara sendiri sambil menangis. Velia bersimpuh di sisi tempat tidur, memegang foto Ferdinand dengan wajah berurai air mata. "Maafkan aku. Aku sangat rindu kamu, Mas. Sampai sekarang aku masih cinta kamu. Allan juga rindu papanya. Tapi kamu milik orang lain. Ada istri dan anak-anakmu. Kuharap kamu bahagia dengan mereka. Allan dan aku baik-baik saja." Itu yang Allan dengar di tengah tangis Velia. Allan yang baru bangun tidur, bermaksud minta makan sama Velia, terkejut. Dia memeluk mamanya, ikut menangis. Masih belum terlalu mengerti bagaima
Di Malang, Velia mulai tenang, emosinya kembali stabil. Apalagi dengan kedatangan Viviana. Velia sangat berterima kasih karena Viviana mau menemaninya. Dia punya waktu banyak bicara dengan Viviana melepas semua rasa yang membuat hatinya begitu berat. Viviana dengan sabar mendengar dan sesekali memberi respon atas apa yang Velia ungkapkan. "Ketakutan kamu tidak terjadi, Velia. Lihat, pesan Allan. Tidak ada yang marah padanya. Dia diterima di sana. Itu luar biasa." Viviana memperhatikan mimik Velia yang redup. Sedih belum sepenuhnya hilang dari Velia. "Kamu benar. Setidaknya mereka tidak mengusirnya dan mengatakan hal-hal buruk tentang Allan. Tuhan baik. Itu yang aku rasa, Vi," ucap Velia. "Kalau gitu, kita bisa self care dulu. Mau?" Viviana tersenyum manis pada Velia. "Hah? Mau ngapain?" Velia mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Viviana. "Kita ulang sejarah masa muda. Yuk, bikin telur spesial ala Viviana." Senyum Viviana makin lebar. Velia ikut tersenyum dan mengangguk senang
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter