Di Malang, Velia mulai tenang, emosinya kembali stabil. Apalagi dengan kedatangan Viviana. Velia sangat berterima kasih karena Viviana mau menemaninya. Dia punya waktu banyak bicara dengan Viviana melepas semua rasa yang membuat hatinya begitu berat. Viviana dengan sabar mendengar dan sesekali memberi respon atas apa yang Velia ungkapkan. "Ketakutan kamu tidak terjadi, Velia. Lihat, pesan Allan. Tidak ada yang marah padanya. Dia diterima di sana. Itu luar biasa." Viviana memperhatikan mimik Velia yang redup. Sedih belum sepenuhnya hilang dari Velia. "Kamu benar. Setidaknya mereka tidak mengusirnya dan mengatakan hal-hal buruk tentang Allan. Tuhan baik. Itu yang aku rasa, Vi," ucap Velia. "Kalau gitu, kita bisa self care dulu. Mau?" Viviana tersenyum manis pada Velia. "Hah? Mau ngapain?" Velia mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Viviana. "Kita ulang sejarah masa muda. Yuk, bikin telur spesial ala Viviana." Senyum Viviana makin lebar. Velia ikut tersenyum dan mengangguk senang
Allan memandangi ponselnya. Dia terima pesan Andini. Dia diminta datang ke rumah sakit besok. Ada apa? Ada masalah dengan Ferdinand? Allan membalas pesan dengan bertanya apa yang terjadi pada ayah mereka.. - Papa stabil. Mama ingin bertemu. Allan tertegun. Lea yang ingin bertemu dengannya? Apa ini pertanda baik atau sebaliknya? "Mimi ...." Lirih Allan menyebut nama Mimi. Dengan cepat dia berdiri dan keluar kamar. Dia mengetuk pintu kamar sebelah, tempat Mimi tidur. Mimi membuka pintu. Dia lihat Allan di depannya dengan wajah sedikit tegang. "Kenapa, Kak?" Mimi bertanya. "Besok, kita balik ke rumah sakit." Allan berkata dengan tatapan aneh. "Om Ferdi apa makin buruk?" Mimi menduga. Allan menunjukkan pesan dari Andini. Mimi cukup terkejut. Sama seperti Allan, Mimi pun bertanya apa yang akan terjadi jika Allan bertemu Lea. Allan masih tampak tegang. Mimi memegang tangan Allan dan tersenyum. "It is okay. Pasti ini untuk sesuatu yang baik." Allan menelan salivanya, menghela napas
Pertemuan dengan Lea berakhir. Allan dan Mimi meninggalkan kota Bandung, kembali ke Malang. Saat mereka pergi, Ferdinand makin membaik. Dokter bahkan meyakinkan jika kondisi Ferdinand tetap stabil, dalam tiga hari paling lama, Ferdinand bisa kembali pulang. Peluk hangat dan senyum manis Lea, Andini, dan Astari mengantar kepergian Allan dan Mimi. Jika Allan berangkat ke Bandung dengan rasa cemas, maka saat pulang dia merasa sesuatu yang baru mengalir di hatinya. Allan tak bisa berhenti bersyukur mengingat semua yang telah dia lewati. Dia diterima keluarga papanya. Dia yang selama ini adalah anak yang hilang, yang disembunyikan dari kenyataan, akhirnya dipeluk dengan kasih sayang. Sungguh tak terduga. Hampir gelap saat Allan dan Mimi sampai lagi di rumah. Velia pasti sudah pulang karena rumah terang, itu yang Allan yakini. "Aku haus sekali. Pingin minum yang dingin," kata Allan sambil membuka pintu rumah. Dari dalam muncul Viviana. Dia tersenyum lebar menyambut Allan dan Mimi. "Mam
"Perutku, aku ga tahan ...." Ricky berdiri dan berjalan cepat mendekati dosen yang baru akan mulai kelas. Sang dosen tentu saja heran tiba-tiba salah satu mahasiswanya tergesa-gesa mendekati dia. Ricky memegangi perutnya, dengan wajah nyengir menahan sakit. Setelah bicara dengan dosen, Ricky cepat-cepat keluar kelas. Toilet, itu yang dia tuju. Dayinta terus menatap Ricky hingga hilang di balik pintu kelas. Dia cukup kuatir dengan keadaan Ricky. Yang dia tahu, Ricky tahan dengan sakit. Selama dia masih bisa bangun, meskipun tidak sehat, dia akan beraktivitas. Tapi sekarang, Rikcy mengeluh. Dayinta rasa Ricky harus segera ke dokter. Kelas pun dimulai. Hingga hampir sepuluh menit, Ricky belum juga kembali. Dayinta mulai gelisah. Mimi pun sama. Sakit seperti apa, sampai Ricky lama sekali di toilet. Mereka berbisik-bisik membicarakan Ricky. Mudah-mudahan saja cowok itu tidak sampai kenapa-napa. "Doni, coba kamu cek, Ricky beneran di toilet apa nggak? Ini sudah lama dia ga balik-balik."
Dayinta melihat pada Ricky. Kenapa Ricky jadi ketakutan begini? "Tidak mau, aku mau pulang. Dikasih obat saja pasti aku akan sehat dengan cepat," Rikcy yang menjawab, tapi dia tidak berani terang-terangan melihat pada dokter. "Akan cepat pulih kalau setidaknya bisa tinggal semalam. Karena bisa ditangani lebih intens, peralatan lebih memadai." Dokter menerangkan. "Nggak. Day, kita pulang!" Ricky menaikkan nada suaranya. "Ky, bisa cepat sehat. Semalam saja, kok. Oke?" Dayinta membujuk Ricky. "Nggak, kita pulang!" Makin keras suara Ricky. Dayinta merasa Ricky jadi kayak bocah yang merajuk karena tidak dituruti kemauannya. "Dok, apa tidak masalah kalau pulang? Resikonya bagaimana?" Dayinta masih bingung antara dia ikut saran dokter atau mengikuti kemauan Ricky. Dokter memandang pada Ricky. Dia tahu pasien seperti ini pasti ada kisah buruk dengan dunia kedokteran. "Tidak apa-apa jika bisa dirawat di rumah. Akan ada cukup banyak obat. Dan pastikan semua aturan dipenuhi. Jika sampai
Dayinta tersenyum. Dia memandang Ricky yang semakin harii semakin membuat dia sayang. Cowok itu sama sekali bukan tipenya. Jauh dari gambaran Dayinta cowok yang akan jadi pujaan hatinya, yang akan berdampingan dengannya. Namun, lambat laun, Dayinta merasa jika seseorang yang dia butuh memang seperti Ricky. Jelas, bukan secara fisik, karena Ricky tidak tinggi dan gagah seperti Allan. Dia biasa saja. Tidak terlalu tampan, penampilannya pun apa adanya. Tetapi Ricky punya sesuatu yang membuat Dayinta merasa aman berada di sisi cowok itu. Sikapnya yang jujur, penyayang, dan sabar, itu yang Dayinta butuhkan. Dayinta sendiri merasa heran dia bisa sayang begitu dalam pada Ricky. "Makanan sudah siap." Dari pintu Mimi masuk. Dia membawa semangkuk bubur dan minuman hangat, buat Ricky. "Hei, thank you. Aku memang lapar." Ricky tersenyum. Dia bangun, duduk di tepi ranjang. "Sini, biar aku bantu," ujar Dayinta. Dia meminta mangkuk dari tangan Mimi. Dayinta menyuapi Ricky. Bagus juga, meski kond
Sudah empat hari Ricky berada di rumah Allan. Kondisinya cepat membaik. Ricky sangat nurut sama Mimi dan Dayinta yang merawatnya. Kedua gadis itu cerewet sekali, juga tegas mengurus semua keperluan Ricky. Saat mereka kuliah, Allan yang akan menemani Ricky. Di situ Ricky makin kenal Allan seperti apa. Allan pria yang baik. Dia cukup ramah dan menyenangkan. Ada saat dia suka bercerita, tapi lain kali dia bahkan tidak bicara apa-apa, hanya datang mengintip Ricky lalu pergi lagi. Velia juga ikut memperhatikan Ricky. Dia memastikan selalu ada makanan buat Ricky. Apalagi saat rumah sepi. "Hari ini jadwal kontrol ke dokter. Kalau melihat perkembangannya, kamu jauh lebih baik. Jam empat kita berangkat?" Dayinta melipat selimut di ranjang. Ricky sudah selesai mandi dan bersiap akan ke dokter sore itu. "Iya. Masih sepuluh menit lagi." Ricky turun dari ranjang, meraih jaket hitam di dekat bantalnya. "Aku bawain minum dan roti, mungkin nanti lama antre di dokter." Dayinta memperhatikan Ricky.
Perkataan Ferdinand dengan nada sedih itu, sungguh menyayat hati Allan. Ini bukan kali pertama Ferdinand meminta maaf. Dia sudah lakukan berulang kali sejak dia kembali bertemu Velia dan Allan. Sayangnya, hingga hari itu Velia masih memilih menyimpan marah pada Ferdinand. Dia belum bisa melepas maaf buat mantan suaminya itu. Allan memandang wajah Ferdinand. Kesedihan sangat jelas tergambar di sana. Dia mungkin hampir putus asa meminta maaf dari Velia. Dan pintu hati Velia masih tertutup untuknya. "Iya, Pa. Aku akan bicara dengan Mama. Papa sabar ya, pasti Mama akan memaafkan Papa." Allan mencoba membuat Ferdinand tenang. Buat Ferdinand satu yang jadi halangan dalam hidupnya adalah maaf dari Velia. Sejak rahasianya terbongkar, Ferdinand banyak sekali berpikir. Tentang semua yang dia telah lewati hingga dia mulai menua. Keegoisan, keserakahan, ketidakrelaan melepas masa lalu, itu mungkin yang jadi penyebab dia menipu dua wanita baik yang dia nikahi. Apalagi saat dia sakit, rasanya ma
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter