“Haruskah sejelas itu?” tanya Kafka masih dengan suara yang terdengar lirih.
Nazwa balik menatap Kafka lekat. Ia pun tak mengerti. Hatinya dan pikirannya saat ini betul-betul tak seirama. Yang satu tak terima dengan perbuatan mereka, yang satunya bisa memakluminya. Tapi, ia tak ingin terlihat lemah. “Kamu tahu siapa aku kan, Kaf,” jawabnya pelan.
“Naz, cobalah memandang masalah ini dari sudut pandang lain,” Kafka menyarankan.
“Sudut pandang yang bagaimana? Sudut pandang siapa? Kamu atau Rafi?” sinis Nazwa berkata. “Jika aku harus memandang masalah ini dari sudut pandang kalian, mengapa kalian tidak melakukan hal yang sama? Memandang dari sudut pandang seorang Nazwa Rengganis! Perempuan yang baru saja berhasil menyembuhkan lukanya karena cinta, dan di saat ia memberanikan dirinya untuk kembali mencintai, kalian melecehkannya!” tandas Nazwa dingin.
Kafka menghelakan nafasnya mendengar ucapan Nazwa. ‘Ya Tuhan, hati perempuan ini benar-benar terluka
“Naz!” Rafi dan Kafka berseru berbarengan. Mereka kembali saling memandang. Dan Kafka menganggukkan kepalanya sebagai kode kepada Rafi. Entah bagaimana, pikiran mereka sekarang seperti searah dan bisa saling memahami. “Tolong, dengarkan dulu penjelasan kami berdua.” Desak Kafka. “ Oke, kami janji. Kami akan memberikanmu waktu dan tidak mengganggumu. Asalkan kamu mau mendengarkan kami sekarang,” Kafka memberikan penawaran. Nazwa menghentikan langkahnya. Hatinya sudah sedemikian kesal kepada dua laki-laki yang tanpa diundang ini datang ke rumahnya. Apakah ucapannya kemarin tidak bermakna? Seenaknya saja mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Ia menimbang sebentar ucapan Kafka, sebelum membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya ke Pojok Hati.&
“Kalau kamu berada di posisi Nazwa sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Rafi tiba-tiba.Pertanyaan Rafi cukup mengejutkan Renata. Apa yang akan aku lakukan? Tanyanya mengulang pertanyaan Rafi pada hatinya. “Kamu yakin mengajukan pertanyaan itu padaku, Raf?” tanya Renata balik.“Tentu saja. Memangnya kenapa?” taut Rafi tak mengerti.“Kamu kan tahu, selama hidupku, aku hanya mencintai satu orang laki-laki. Ya, kamu,” jawab Renata lirih namun masih terdengar oleh Rafi.Rafi menatap Renita. Tertegun mendengar ucapannya barusan. Tetapi tatapan Rafi disalahartikan oleh Renita. Ia merasa Rafi masih menantikan jawaban atas pertanyaannya tadi.“Entahlah, Raf. Aku bukan Nazwa yang dicintai oleh seorang Rafi dan Kafka,” gelengnya. “Aku belum pernah merasakan hal seperti itu. Aku hanya bisa membayangkan.” Renata terdiam sejenak. “Ya mungkin berat bagi seorang perempuan khusus
“Katakan, Fi! Bagaimana jika Nazwa menerimamu kembali, dan ia tak ingin menjadi istri keduamu. Sementara ibuku masih ada. Apa yang akan kamu lakukan?” kali ini Renata memberikan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Rafi bisa terjadi. Ya, bukankah selalu ada kemungkinan dalam setiap hal di dunia ini? Sesungguhnya kemustahilan itu adalah kemungkinan itu sendiri. Kita bukanlah Tuhan yang bisa mengatur alam semesta, yang bisa membolak-balikkan hati manusia, yang tahu apa yang akan terjadi. Kita hanya manusia yang berharap dan berencana, tanpa tahu semua akan terjadi. Rafi tertegun. Benar-benar tertegun. Satu sisi, ada Nazwa yang diingininya dan di sisi lain, ada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang. “A-a …ku,” terbata Rafi berkata. Renata tersenyum smirk. ‘Kamu yang menceburkan dirimu sendiri, Fi.’ Ucap Renata dalam hatinya. Rafi meraup wajahnya sebelum mengacak rambutnya dengan kesal sekaligus bingung. “Astaga, Re! Kenapa sih kamu malah men
“Alhamdulillah,” ucap Bapak setelah meminum air putih mengakhiri makan siangnya. “Makin enak saja masakanmu, Nduk. Apa karena baru makan lagi ini ya,” sambungnya lagi dengan senyum sumringah. “Apa iya, Pak?” sambut Nazwa seolah tak percaya. Ia tahu bapak tersayangnya ini tengah menyindirnya dengan halus. Ia memang sudah cukup lama tidak mengunjungi kedua orang tuanya ini. Kesibukannya mengurus Kafe, mengurus kedua anaknya dan masalah yang timbul belakangan ini membuatnya seperti kekurangan waktu bahkan untuk dirinya sendiri. Kali terakhir ia mengunjungi mereka saat mengantar Kafka untuk meminta dirinya secara resmi. “Kode itu loh, Naz,” Ibu mengerling Nazwa. Nazwa mengangguk paham dengan maksud Ibu. “Bapak mau dibikinkan apa sama Nazwa?” tanya Nazwa membujuk. “Opo ya?” Bapak mengernyitkan keningnya seolah tengah berpikir keras. Hanif mengamati reaksi wajah kakeknya ini dengan bingung. Padahal tinggal sebut saja nama makanan yang enak-ena
Dan disinilah Nazwa. Sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman Kota Garut. Tempat ia menjalani Kuliah Kerja Nyata-nya beberapa puluh tahun yang lalu. Desa yang mampu menarik hatinya. Membuatnya jatuh cinta dengan suasana alamnya yang asri, penduduknya yang ramah dan menemukan ibu kedua setelah Bu Eli, ibu kandungnya. Ya, di tempat inilah Nazwa bertemu dengan Ambu Tinah, seorang perempuan yang kala itu baru saja ditinggal oleh orang-orang terkasihnya. Ambu Tinah bersuamikan Abah Asep, seorang aparat desa yang mengurusi masalah perairan di desanya itu. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berumur selisih 2 tahun dengan Nazwa. Nazwa baru dua minggu menjalani masa KKN-nya ketika peristiwa itu terjadi. Hujan yang turun dengan lebatnya di sepanjang hari di minggu kedua bulan September itu membuat meluapnya air sungai yang berada di belakang rumah Abah Asep dan Ambu Tinah. Hujan kala itu disertai dengan angin kencang yang membuat warga memilih untuk
“Kalau sama aku, kangen ngga?” Nazwa memalingkan wajahnya ke arah si empunya suara. Dan ia terkejut mendapati sosok itu. “Razky?” pekiknya. Lelaki gagah itu tersenyum manis. “Hai Angel,” sapanya. Angel. Nama yang disampirkan oleh lelaki teman KKN-nya itu. Ya, hanya Razky yang memanggilnya Angel. Karena wajahnya yang lembut tetapi tegas dan hatinya yang hangat. Begitu alasan yang diucapkan Razky kala itu, saat ia ditanya oleh teman-temannya mengapa memanggil Nazwa dengan Angel. Nazwa hanya tersenyum miring mendengarnya, sementara teman-temannya sudah heboh sendiri. Ada yang bersiul, berdeham-ehm, colek-colek dan sebagainya. Sejak itu Nazwa lebih sering dipanggil Angel-nya Razky. Yang membuat Nazwa kemudian mengambil jarak dengan Razky. Ia sebal bukan main, seenaknya saja membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sementara Razky terlihat santai saja menanggapi candaan teman-temannya itu. Nazwa sedikit bersyukur karena ia dan Razky
“Kaf, kamu tahu rencana kepergian Nazwa?” tanya Rafi. “Kepergian Nazwa? Maksudnya?” Kafka malah balik bertanya. “Nazwa pergi, Kaf. Entah kemana dan sampai kapan. Tadi aku jemput anak-anak ke rumah, ternyata ada Ayah dan Ibu Nazwa. Menurut Salsa dan Hanif, Nazwa butuh waktu untuk berpikir. Aku pikir kamu tahu,” desah Rafi putus asa. “Aku baru tahu ini. Nazwa ngga bilang apa-apa sama aku. Pergi kemana?” tanya Kafka. “Ngga tahu. Nazwa melarang anak-anak untuk memberitahu,” jawab Rafi kesal. “Kamu sedang bersama Salsa dan Hanif sekarang?” “Iya. Salsa, Hanif. Sapa Om Kafka,” Perintah Rafi. “Assalamu’alaikum, Om.” Salsabila dan Hanif menyapa berbarengan. “Wa’alaikumsalam. Hai kalian mau kemana?” tanya Kafka berbasa-basi. “Mau ke rumah Papa. Tapi mampir dulu nih ke Depot Ice cream,” jawab Hanif lugas. “Wuih … Enak tuh. Boleh dong kalau Om ikut gabung?” Hanif melihat Rafi meminta persetuju
“Assalamu’alaikum,” terdengar sapa dari luar rumah yang menghentikan ucapan Nazwa. “Wa’alaikumsalam,” jawab Nazwa dan Ambu bersamaan. “Ambu, Angel,” si empunya suara menyapa sangat ramah. Dengan senyum manis tersungging di bibir, mata yang mengerjap penuh binar dan semangat yang kelihatan sangat membara. “Good morning,” ia melanjutkan sapaannya sembari tangan kanannya menyentuh dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Ambu terkikik geli dengan tingkah Razky, sementara Nazwa memutar matanya malas. Razky merangkul bahu Ambu dengan sayang. “Tahu ngga, Mbu. Sudah dipastikan deh hari aku akan sangat bersinar cerah,” ucapnya dengan manis. “Kenapa begitu?” tanya Ambu masih dengan tawa yang belum habis. “Karena tawa Ambu adalah matahari bagi kehidupanku,” jawab Razky dengan lembutnya. “Ya Allah … Meleleh hati Ambu, Ky,” Ambu meletakkan telapak tangan di dadanya tanda tak kuasa. Nazwa menutup mulutnya yang ternganga melihat a
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau