Dan disinilah Nazwa. Sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman Kota Garut. Tempat ia menjalani Kuliah Kerja Nyata-nya beberapa puluh tahun yang lalu. Desa yang mampu menarik hatinya. Membuatnya jatuh cinta dengan suasana alamnya yang asri, penduduknya yang ramah dan menemukan ibu kedua setelah Bu Eli, ibu kandungnya.
Ya, di tempat inilah Nazwa bertemu dengan Ambu Tinah, seorang perempuan yang kala itu baru saja ditinggal oleh orang-orang terkasihnya. Ambu Tinah bersuamikan Abah Asep, seorang aparat desa yang mengurusi masalah perairan di desanya itu. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berumur selisih 2 tahun dengan Nazwa.
Nazwa baru dua minggu menjalani masa KKN-nya ketika peristiwa itu terjadi. Hujan yang turun dengan lebatnya di sepanjang hari di minggu kedua bulan September itu membuat meluapnya air sungai yang berada di belakang rumah Abah Asep dan Ambu Tinah. Hujan kala itu disertai dengan angin kencang yang membuat warga memilih untuk
Hai Readers ... KIta kenalan yuk dengan Razky ... Don't go anywhere . . .
“Kalau sama aku, kangen ngga?” Nazwa memalingkan wajahnya ke arah si empunya suara. Dan ia terkejut mendapati sosok itu. “Razky?” pekiknya. Lelaki gagah itu tersenyum manis. “Hai Angel,” sapanya. Angel. Nama yang disampirkan oleh lelaki teman KKN-nya itu. Ya, hanya Razky yang memanggilnya Angel. Karena wajahnya yang lembut tetapi tegas dan hatinya yang hangat. Begitu alasan yang diucapkan Razky kala itu, saat ia ditanya oleh teman-temannya mengapa memanggil Nazwa dengan Angel. Nazwa hanya tersenyum miring mendengarnya, sementara teman-temannya sudah heboh sendiri. Ada yang bersiul, berdeham-ehm, colek-colek dan sebagainya. Sejak itu Nazwa lebih sering dipanggil Angel-nya Razky. Yang membuat Nazwa kemudian mengambil jarak dengan Razky. Ia sebal bukan main, seenaknya saja membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sementara Razky terlihat santai saja menanggapi candaan teman-temannya itu. Nazwa sedikit bersyukur karena ia dan Razky
“Kaf, kamu tahu rencana kepergian Nazwa?” tanya Rafi. “Kepergian Nazwa? Maksudnya?” Kafka malah balik bertanya. “Nazwa pergi, Kaf. Entah kemana dan sampai kapan. Tadi aku jemput anak-anak ke rumah, ternyata ada Ayah dan Ibu Nazwa. Menurut Salsa dan Hanif, Nazwa butuh waktu untuk berpikir. Aku pikir kamu tahu,” desah Rafi putus asa. “Aku baru tahu ini. Nazwa ngga bilang apa-apa sama aku. Pergi kemana?” tanya Kafka. “Ngga tahu. Nazwa melarang anak-anak untuk memberitahu,” jawab Rafi kesal. “Kamu sedang bersama Salsa dan Hanif sekarang?” “Iya. Salsa, Hanif. Sapa Om Kafka,” Perintah Rafi. “Assalamu’alaikum, Om.” Salsabila dan Hanif menyapa berbarengan. “Wa’alaikumsalam. Hai kalian mau kemana?” tanya Kafka berbasa-basi. “Mau ke rumah Papa. Tapi mampir dulu nih ke Depot Ice cream,” jawab Hanif lugas. “Wuih … Enak tuh. Boleh dong kalau Om ikut gabung?” Hanif melihat Rafi meminta persetuju
“Assalamu’alaikum,” terdengar sapa dari luar rumah yang menghentikan ucapan Nazwa. “Wa’alaikumsalam,” jawab Nazwa dan Ambu bersamaan. “Ambu, Angel,” si empunya suara menyapa sangat ramah. Dengan senyum manis tersungging di bibir, mata yang mengerjap penuh binar dan semangat yang kelihatan sangat membara. “Good morning,” ia melanjutkan sapaannya sembari tangan kanannya menyentuh dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Ambu terkikik geli dengan tingkah Razky, sementara Nazwa memutar matanya malas. Razky merangkul bahu Ambu dengan sayang. “Tahu ngga, Mbu. Sudah dipastikan deh hari aku akan sangat bersinar cerah,” ucapnya dengan manis. “Kenapa begitu?” tanya Ambu masih dengan tawa yang belum habis. “Karena tawa Ambu adalah matahari bagi kehidupanku,” jawab Razky dengan lembutnya. “Ya Allah … Meleleh hati Ambu, Ky,” Ambu meletakkan telapak tangan di dadanya tanda tak kuasa. Nazwa menutup mulutnya yang ternganga melihat a
“Cantik sekali,” gumam Nazwa sambil menerima buket dari tangan Razky. “Sama cantiknya seperti kamu,” tukas Razky tersenyum manis. Nazwa bersikap seolah tak mendengar ucapan Razky barusan. Tapi ia melihat dengan jelas bagaimana Kian menatapnya dengan penuh arti. “Ayo A, Teteh. Kita ke dalam,” ajak Kian. Ia melangkah mendahului keduanya dengan berjalan tergesa dan membuka pintu rumah dan berkata, “Assalamu’alaikum. Bundaa … Aa Razky datang … sama calon istrinya!” Nazwa menghentikan langkahnya dan sejurus kemudian menatap Razky penuh tanya. Razky mengangkat bahunya tanda bahwa ia juga tak tahu jika Kian akan berbicara seperti tadi. Ia menganggukkan kepalanya agar Nazwa tetap terus berjalan mengikuti Kian. “Jangan diambil hati ya. Kita masuk dulu,” ucapnya kemudian. Dengan sedikit enggan Nazwa pun kembali melangkahkan kakinya. Ia diarahkan ke sebuah ruangan dengan dominasi warna putih yang membuat kesan ruangan itu menjadi luas dan l
“Kamu tahu, berapa lama Nien mendengar tentang sosok seorang Nazwa Rengganis, seorang bidadari tercantik bagi Razky dan satu-satunya perempuan yang mampu menyentuh hati cucu nien yang semata wayang itu?” Nazwa menggeleng pelan. “Semenjak Razky kuliah di semester ke lima-nya.” Nazwa mengernyitkan keningnya. Semester lima? Ia mencoba mengingat-ngingat di masa itu, apakah ia sudah mengenal Razky. Tetapi sepertinya belum. Ia yakin kalau baru mengenal sosok Razky di masa KKN mereka. “Tapi Nien, rasanya Nazwa belum kenal Razky masa itu,” tandas Nazwa. “Memang belum sayang. Tapi Razky sudah menemukanmu.” Nien tersenyum lembut. “Razky tak pernah mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dulu maupun sekarang,” beber Nien Sevina tiba-tiba. Nazwa tertegun. Ia tak tahu harus menanggapi seperti apa perkataan Nien Sevina. Dipandangnya Nien dengan tatapan kikuk. Nien Sevina tertawa melihat raut wajah Nazwa yang
“Tapi, Nazwa … Nazwa tak mempunyai perasaan yang sama dengan apa yang Razky rasakan terhadap Nazwa. Nien, Bunda. Ada orang lain di hati Nazwa saat ini. Bahkan Nazwa sudah menyetujui permintaannya untuk menikahi Nazwa.” Nazwa menghela nafasnya dengan gemuruh di dadanya. “Bagaimana ini? Nazwa takut akan menya…,” “Menyakiti perasaanku?” tanya Razky memotong ucapan Nazwa. Nazwa terkejut. Ia tak melihat kedatangan Razky sebelumnya. “Wah, sepertinya kita harus memberikan mereka waktu, Ambu.” Bunda Salma memberi kode kepada Ambu Sevina. “Betul sekali, Bun,” angguk Nien Sevina. “Ayo, biarkan mereka menyelesaikan apa yang harus diselesaikan,” ucap Nien bangkit dari duduknya dan beranjak sambil menggenggam jemari Bunda Asma. Nazwa memandangi kepergian Nien Sevina dan Bunda Asma dengan pandangan tak rela. Bagaimana ia harus menghadapi Razky? Saat ini sungguh ia menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Razky tadi pagi. “Nazwa. Kita bicara di taman
“Lalu karena apa?” tanya Nazwa dengan mata penuh tanya. “Astaga Nazwa!” Razky membulatkan matanya. Nazwa tertawa melihat reaksi Razky atas pertanyaannya. Sesungguhnya ia sudah bisa mengingat saat Razky menyebutkan makalah penelitiannya yang hilang. Ya, ia ingat sebab mengapa ia kehilangan makalah yang seharusnya ia kumpulkan saat bu Lea mengajar di kelasnya. “Kamu tertawa … berarti kamu sudah bisa mengingatnya?” tebak Razky. Nazwa menganggukkan kepalanya. “Aku ingat sekarang. Sebab yang amat sangat tak penting yang membuatku berurusan dengan Bu Lea,” sungut Nazwa sebal. “Itulah repotnya seorang perempuan,” kekeh Razky. “Aku setuju pendapatmu,” sahut Nazwa. “Tunggu, bagaimana kamu tahu masalahku itu?” taut Nazwa heran. “Karena Judit menceritakan aksi yang akan ia lakukan kepadaku,” jawab Razky enteng. “Judit? Kamu kenal Judit?” pertanyaan yang lebih terdengar pernyataan akan ketidak percayaan Nazwa. “
“Papi dan Mamimu punya tujuan baik dengan menikahkan kita. Bagaimana bisa kamu menyebutnya dengan keterlaluan, Raz?” sebuah suara sontak mengalihkan upaya Razky meredakan emosinya. Razky mendecih. “Niat baik yang bagaimana?” tanyanya dengan senyum miring. “Membesarkan kedua perusahaan kita tentunya, dan mengikat persahabatan kita untuk selamanya,” jawab Syasa tegas. “Kenapa kamu keberatan? Apa karena perempuan yang kamu cintai itu? Siapa namanya, Nazwa Reng … Rengganis? Kamu masih mengejarnya, walaupun kini dia seorang janda dengan dua anak?” Syasa mengucapkan itu dengan mimik wajah yang terlihat sangat merendahkan. Razky menatap Syasa dalam. Ia menggeretakkan geraham, mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. “Jangan pernah menghina perempuan yang aku cintai, Sya!” tekan Razky dingin. “Walaupun saat ini dia seorang janda, tapi dia jauh lebih baik dari kamu!” tukasnya tajam. Syasa tertawa mendengarnya. “Kamu pasti bercanda, Raz! Bagaimana bisa aku t