“Kalau sama aku, kangen ngga?”
Nazwa memalingkan wajahnya ke arah si empunya suara. Dan ia terkejut mendapati sosok itu. “Razky?” pekiknya.
Lelaki gagah itu tersenyum manis. “Hai Angel,” sapanya.
Angel. Nama yang disampirkan oleh lelaki teman KKN-nya itu. Ya, hanya Razky yang memanggilnya Angel. Karena wajahnya yang lembut tetapi tegas dan hatinya yang hangat. Begitu alasan yang diucapkan Razky kala itu, saat ia ditanya oleh teman-temannya mengapa memanggil Nazwa dengan Angel. Nazwa hanya tersenyum miring mendengarnya, sementara teman-temannya sudah heboh sendiri. Ada yang bersiul, berdeham-ehm, colek-colek dan sebagainya.
Sejak itu Nazwa lebih sering dipanggil Angel-nya Razky. Yang membuat Nazwa kemudian mengambil jarak dengan Razky. Ia sebal bukan main, seenaknya saja membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sementara Razky terlihat santai saja menanggapi candaan teman-temannya itu.
Nazwa sedikit bersyukur karena ia dan Razky
Hi my lovely readers ... Haturnuhun sudah setia dengan Hati Yang Terpilih. Tetap semangat ya menunggu up ... Karena kesabaran kalian adalah support system bagi author untuk terus melanjutkan cerita ini. Sehat terus kalian semua . . .
“Kaf, kamu tahu rencana kepergian Nazwa?” tanya Rafi. “Kepergian Nazwa? Maksudnya?” Kafka malah balik bertanya. “Nazwa pergi, Kaf. Entah kemana dan sampai kapan. Tadi aku jemput anak-anak ke rumah, ternyata ada Ayah dan Ibu Nazwa. Menurut Salsa dan Hanif, Nazwa butuh waktu untuk berpikir. Aku pikir kamu tahu,” desah Rafi putus asa. “Aku baru tahu ini. Nazwa ngga bilang apa-apa sama aku. Pergi kemana?” tanya Kafka. “Ngga tahu. Nazwa melarang anak-anak untuk memberitahu,” jawab Rafi kesal. “Kamu sedang bersama Salsa dan Hanif sekarang?” “Iya. Salsa, Hanif. Sapa Om Kafka,” Perintah Rafi. “Assalamu’alaikum, Om.” Salsabila dan Hanif menyapa berbarengan. “Wa’alaikumsalam. Hai kalian mau kemana?” tanya Kafka berbasa-basi. “Mau ke rumah Papa. Tapi mampir dulu nih ke Depot Ice cream,” jawab Hanif lugas. “Wuih … Enak tuh. Boleh dong kalau Om ikut gabung?” Hanif melihat Rafi meminta persetuju
“Assalamu’alaikum,” terdengar sapa dari luar rumah yang menghentikan ucapan Nazwa. “Wa’alaikumsalam,” jawab Nazwa dan Ambu bersamaan. “Ambu, Angel,” si empunya suara menyapa sangat ramah. Dengan senyum manis tersungging di bibir, mata yang mengerjap penuh binar dan semangat yang kelihatan sangat membara. “Good morning,” ia melanjutkan sapaannya sembari tangan kanannya menyentuh dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Ambu terkikik geli dengan tingkah Razky, sementara Nazwa memutar matanya malas. Razky merangkul bahu Ambu dengan sayang. “Tahu ngga, Mbu. Sudah dipastikan deh hari aku akan sangat bersinar cerah,” ucapnya dengan manis. “Kenapa begitu?” tanya Ambu masih dengan tawa yang belum habis. “Karena tawa Ambu adalah matahari bagi kehidupanku,” jawab Razky dengan lembutnya. “Ya Allah … Meleleh hati Ambu, Ky,” Ambu meletakkan telapak tangan di dadanya tanda tak kuasa. Nazwa menutup mulutnya yang ternganga melihat a
“Cantik sekali,” gumam Nazwa sambil menerima buket dari tangan Razky. “Sama cantiknya seperti kamu,” tukas Razky tersenyum manis. Nazwa bersikap seolah tak mendengar ucapan Razky barusan. Tapi ia melihat dengan jelas bagaimana Kian menatapnya dengan penuh arti. “Ayo A, Teteh. Kita ke dalam,” ajak Kian. Ia melangkah mendahului keduanya dengan berjalan tergesa dan membuka pintu rumah dan berkata, “Assalamu’alaikum. Bundaa … Aa Razky datang … sama calon istrinya!” Nazwa menghentikan langkahnya dan sejurus kemudian menatap Razky penuh tanya. Razky mengangkat bahunya tanda bahwa ia juga tak tahu jika Kian akan berbicara seperti tadi. Ia menganggukkan kepalanya agar Nazwa tetap terus berjalan mengikuti Kian. “Jangan diambil hati ya. Kita masuk dulu,” ucapnya kemudian. Dengan sedikit enggan Nazwa pun kembali melangkahkan kakinya. Ia diarahkan ke sebuah ruangan dengan dominasi warna putih yang membuat kesan ruangan itu menjadi luas dan l
“Kamu tahu, berapa lama Nien mendengar tentang sosok seorang Nazwa Rengganis, seorang bidadari tercantik bagi Razky dan satu-satunya perempuan yang mampu menyentuh hati cucu nien yang semata wayang itu?” Nazwa menggeleng pelan. “Semenjak Razky kuliah di semester ke lima-nya.” Nazwa mengernyitkan keningnya. Semester lima? Ia mencoba mengingat-ngingat di masa itu, apakah ia sudah mengenal Razky. Tetapi sepertinya belum. Ia yakin kalau baru mengenal sosok Razky di masa KKN mereka. “Tapi Nien, rasanya Nazwa belum kenal Razky masa itu,” tandas Nazwa. “Memang belum sayang. Tapi Razky sudah menemukanmu.” Nien tersenyum lembut. “Razky tak pernah mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dulu maupun sekarang,” beber Nien Sevina tiba-tiba. Nazwa tertegun. Ia tak tahu harus menanggapi seperti apa perkataan Nien Sevina. Dipandangnya Nien dengan tatapan kikuk. Nien Sevina tertawa melihat raut wajah Nazwa yang
“Tapi, Nazwa … Nazwa tak mempunyai perasaan yang sama dengan apa yang Razky rasakan terhadap Nazwa. Nien, Bunda. Ada orang lain di hati Nazwa saat ini. Bahkan Nazwa sudah menyetujui permintaannya untuk menikahi Nazwa.” Nazwa menghela nafasnya dengan gemuruh di dadanya. “Bagaimana ini? Nazwa takut akan menya…,” “Menyakiti perasaanku?” tanya Razky memotong ucapan Nazwa. Nazwa terkejut. Ia tak melihat kedatangan Razky sebelumnya. “Wah, sepertinya kita harus memberikan mereka waktu, Ambu.” Bunda Salma memberi kode kepada Ambu Sevina. “Betul sekali, Bun,” angguk Nien Sevina. “Ayo, biarkan mereka menyelesaikan apa yang harus diselesaikan,” ucap Nien bangkit dari duduknya dan beranjak sambil menggenggam jemari Bunda Asma. Nazwa memandangi kepergian Nien Sevina dan Bunda Asma dengan pandangan tak rela. Bagaimana ia harus menghadapi Razky? Saat ini sungguh ia menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Razky tadi pagi. “Nazwa. Kita bicara di taman
“Lalu karena apa?” tanya Nazwa dengan mata penuh tanya. “Astaga Nazwa!” Razky membulatkan matanya. Nazwa tertawa melihat reaksi Razky atas pertanyaannya. Sesungguhnya ia sudah bisa mengingat saat Razky menyebutkan makalah penelitiannya yang hilang. Ya, ia ingat sebab mengapa ia kehilangan makalah yang seharusnya ia kumpulkan saat bu Lea mengajar di kelasnya. “Kamu tertawa … berarti kamu sudah bisa mengingatnya?” tebak Razky. Nazwa menganggukkan kepalanya. “Aku ingat sekarang. Sebab yang amat sangat tak penting yang membuatku berurusan dengan Bu Lea,” sungut Nazwa sebal. “Itulah repotnya seorang perempuan,” kekeh Razky. “Aku setuju pendapatmu,” sahut Nazwa. “Tunggu, bagaimana kamu tahu masalahku itu?” taut Nazwa heran. “Karena Judit menceritakan aksi yang akan ia lakukan kepadaku,” jawab Razky enteng. “Judit? Kamu kenal Judit?” pertanyaan yang lebih terdengar pernyataan akan ketidak percayaan Nazwa. “
“Papi dan Mamimu punya tujuan baik dengan menikahkan kita. Bagaimana bisa kamu menyebutnya dengan keterlaluan, Raz?” sebuah suara sontak mengalihkan upaya Razky meredakan emosinya. Razky mendecih. “Niat baik yang bagaimana?” tanyanya dengan senyum miring. “Membesarkan kedua perusahaan kita tentunya, dan mengikat persahabatan kita untuk selamanya,” jawab Syasa tegas. “Kenapa kamu keberatan? Apa karena perempuan yang kamu cintai itu? Siapa namanya, Nazwa Reng … Rengganis? Kamu masih mengejarnya, walaupun kini dia seorang janda dengan dua anak?” Syasa mengucapkan itu dengan mimik wajah yang terlihat sangat merendahkan. Razky menatap Syasa dalam. Ia menggeretakkan geraham, mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. “Jangan pernah menghina perempuan yang aku cintai, Sya!” tekan Razky dingin. “Walaupun saat ini dia seorang janda, tapi dia jauh lebih baik dari kamu!” tukasnya tajam. Syasa tertawa mendengarnya. “Kamu pasti bercanda, Raz! Bagaimana bisa aku t
“Angel,” Razky meraih jemari Nazwa dan menggenggamnya. Ia menghela napasnya, menghimpun keberaniannya untuk mulai berbicara. Nazwa mengikuti gerakan tangan Razky yang tiba-tiba meraih jemarinya dan menggenggamnya dengan pandangan tak mengerti. Ditatapnya Razky dengan pertanyaan apa yang sedang dilakukannya. “Angel, kamu dengarkan apa yang aku katakan tadi?” “Yang mana?” “Segalanya tentang kamu adalah hal yang serius dan bukan main-main.” Nazwa menganggukkan kepalanya. “Dan aku sungguh-sungguh dengan itu. Kalau saja kamu tahu bagaimana hati ini tertawan sama kamu selama puluhan tahun, kamu pasti tak akan percaya.” Razky menyunggingkan senyumnya. “Aku akan menceritakan semuanya sama kamu, tapi tidak di sini. Ini pinggir jalan, Angel. Takut ada orang lihat dan nuduh kita macam-macam. Kalau disuruh langsung nikah gimana?” ucap Razky dengan mimik lucu. “Astaga, Razky! Bisa-bisanya kamu bercanda disaat begini?!” tukas Nazwa kesal. Mu
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau