Baik Levana maupun Rave kini duduk berdua saja di ruang keluarga dengan kotak hadiah berwarna merah muda di hadapan keduanya. Tidak ada yang membuka obrolan karena keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.Levana memperhatikan raut wajah Rave yang terlihat begitu khawatir, marah, hingga kesal jadi satu. Dirinya paham dengan apa yang sang suami rasakan karena begitu terkejut menyaksikan sendiri hadiah yang dikirimkan pengancam.“Sejak kapan sebenarnya dia mengancammu?” tanya Rave yang membuka suara, tetapi matanya masih fokus pada barang pemberian si pengancam.Bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Levana lebih memilih memasukkan boneka bayi yang bagian tubuhnya sengaja diberi pewarna merah menyerupai darah. Segera disimpannya kembali barang kiriman pengancam ke dalam kotak dan meminta Damian untuk segera membuangnya.Embusan napas Levana terdengar begitu kuat saat duduk kembali berhadapan dengan sang suami. Diletakkan ponsel miliknya di atas meja dan mendorongnya ke arah
Otak dan pikiran Levana sangat bertolak belakang menanggapi reaksi dari ucapan Rave barusan. Hatinya merasa begitu sakit saat mendengar ucapan suaminya itu, sedangkan pikirannya menyuruh dirinya untuk bersikap biasa saja.Yang bisa dilakukan oleh Levana adalah mengikuti apa yang ada di pikirannya. Ia hanya tersenyum getir merespon ucapan sang suami dan menganggukkan kepalanya pelan, pada akhirnya ia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Rave seorang diri di ruang keluarganya.“Levana,” panggil Rave yang berusaha mengikuti Levana dari belakang. “Kau yang memintaku untuk menjawab pertanyaanmu, tetapi kenapa kau justru pergi meninggalkanku begitu saja!”Levana tahu betul apa yang ada di pikiran sang suami. Ia tahu jika Rave merasa kesal dengan tindakannya, tetapi dirinya tidak bisa menahan rasa kesal dan sakit yang disebabkannya seorang diri.Langkah Levana terhenti dan memilih untuk membalikkan badannya menghadap ke arah sang suami. “Tindakan yang memang bagus, Rave. Yang jadi masalah
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Levana yang menegur sang suami yang duduk diam di depan meja kerjanya.Menyadari teguran dari Levana, kepala Rave pun terangkat dan menatap ke arah sang istri yang berdiri tepat di depan meja kerja. Levana sendiri tidak memedulikan tatapan sang suami yang terlihat begitu terkejut. Dirinya sibuk dengan urusannya sendiri.“Ke mana kau akan pergi?” Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Rave justru berbalik tanya yang mana refleks membuat Levana mendesah pelan.“Bukannya aku sudah memberitahumu jika aku akan bertemu Kieran hari ini?” ujar Levana yang kini diam memperhatikan sang suami.“Ah, aku lupa,” sahut Rave yang langsung bangkit berdiri. “Tunggu sebentar, aku akan siap-siap dulu.”Tangan Levana dengan cepat mencegat lengan sang suami. “Mau ke mana?”“Tentu saja mengantarmu. Aku sudah mengatakan padamu sebelumnya jika aku akan selalu ikut saat kalian bertemu,” jelas Rave yang mana mendapat gelengan kepala dari Levana.“Tak perlu, Damian bisa me
“Kau baik-baik saja?” tanya Levana pada Rave saat Kieran tengah mengangkat telepon.Sejak tadi suaminya itu hanya diam dan memandanginya dengan tatapan malas. Dirinya tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Rave, itu sebabnya ia memutuskan untuk bertanya.Sayangnya, pertanyaan Levana barusan bukannya mendapat jawaban dari diamnya sang suami, tetapi justru mendapat embusan napas kasar dari suaminya itu. Levana yang melihat semakin kebingungan karena tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dipikirkan sang suami.“Masih lama?” Suara Rave terdengar yang mana bukan menjawab pertanyaan Levana, justru berbalik tanya padanya.“Kau lelah? Kau bisa menunggu di dalam mobil, atau kau ingin diantarkan pulang oleh Damian?” tanya Levana sembari tangannya menyentuh lengan Rave. Dirinya terbiasa melakukan itu. “Jika kau ingin pulang, aku tidak ada masalah. Suruh saja Damian menjemputku kembali nantinya.”Embusan napas berat kembali terdengar keluar dari mulut Rave. “Aku hanya bertanya padamu, Levana,
Sikap yang ditunjukkan Rave pada Levana beberapa jam yang lalu masih teringat jelas di pikirannya. Levana tidak mampu menyembunyikan perasaan sedihnya begitu menyaksikan sikap Rave yang terlihat begitu menyayangi anak di kandungan Levana.Tangisan Levana bukan tanpa alasan, dan bukan juga karena dirinya ingin mengacaukan momen kebersamaan mereka. Bukan begitu, karena Levana mendadak terpikirkan jika dirinya suatu hari nanti akan kehilangan kebahagiaan yang baru saja bisa dirasakannya.“Sebenarnya apa yang tengah kau pikirkan?”Jika tadi pagi Levana yang menanyakan itu kepada Rave, yang barusan terjadi adalah Rave yang menanyakan pertanyaan tersebut pada dirinya.Levana yang semula hanya diam memandangi wajah Rave yang terpejam pun kini mengembuskan napas beratnya. Ia pikir suaminya itu masih terlelap, tetapi ternyata Rave menyadari jika dirinya sejak tadi terus memandangi wajah sang suami.Tubuh Levana seketika ditarik semakin merapat ke dalam pelukan Rave. Kini wajah mereka berdua sa
“Levana!”Tubuh Rave langsung bereaksi begitu dirinya melihat Levana yang mendadak goyah ketika bangkit dari duduknya. Tangan Levana tak sengaja menyenggol cangkir teh yang kini pecah berantakan di lantai. Beruntung Rave berhasil menangkap tubuh Levana dalam pelukannya hingga tidak membuat Levana jatuh terkena pecahan kaca.“Oh, Nyonya, apa yang terjadi?” tanya Eva yang tiba-tiba datang bersama dengan Damian di belakangnya.“Aku tidak apa-apa. Maaf telah membangunkan kalian berdua, Eva, Damian,” ujar Levana yang suaranya terdengar begitu lemah.“Tolong segera dibersihkan dan jangan sampai meninggalkan serpihan kacanya,” perintah Rave, baik pada Eva maupun pada Damian.“Tak perlu, aku bisa jalan sendiri,” tolak Levana begitu Rave hendak menggendongnya.Akan tetapi, ucapan Levana tidak didengarkan oleh Rave yang mana tetap memilih untuk menggendong Levana dan membawanya kembali ke kamar.“Kau merasa pusing?” tanya Rave begitu selesai membaringkan tubuh Levana di atas ranjang. Tangannya
Semenjak pertengkaran saat sarapan tadi pagi, Levana hanya memilih diam. Begitu juga dengan Rave yang mana seolah tidak menganggap keberadaan Levana.Dirinya bahkan sempat terkejut jika Rave kembali pulang ke rumahnya setelah mereka bertengkar tadi pagi. Namun, melihat kedatangan Rave dirinya kembali merasa jika ia tengah dimanfaatkan oleh suaminya itu.Sudah hampir satu jam Levana duduk di meja kerjanya. Sewaktu Rave masuk ke dalam kamarnya, suaminya itu sempat melirik ke arah Levana yang tengah fokus membaca diagnosis pasiennya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Levana pura-pura sibuk karena terpikirkan hal lain.Ponsel yang ia pegang berulang kali diketukkannya di meja, sedangkan mata Levana terus melirik ke arah Rave yang tengah sibuk dengan tablet miliknya sembari bersandar di atas ranjang. Tiba-tiba ia merasa dehaman Rave terdengar dan matanya tiba-tiba menangkap tatapan mata Levana.“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” tegur Rave yang membuat Levana terlonjak kaget dan
Levana tidak tahu apa yang terjadi pada sang suami hari ini. Yang pasti, setelah keduanya pulang sehabis kontrol ke dokter kandungan, Rave terlihat begitu bahagia dan tak hentinya menggenggam erat tangan Levana. Saat mereka tiba di rumah, Levana langsung membersihkan dirinya dan Rave sibuk menelepon. Entah siapa yang tengah dihubungi oleh suaminya itu, tetapi dari ekspresinya yang terlihat begitu bahagia, sepertinya ada kabar baik yang tengah diterimanya. “Oh, kau sudah selesai?” sapa Rave begitu melihat Levana yang keluar dari kamar mandi. “Ya,” balas Levana singkat. “Kau ingin makan malam di rumah? Kalau ya, biar aku minta Eva memasakkan sesuatu untuk kita nanti malam.” Ucapan Levana barusan langsung ditolak oleh Rave dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Kita akan makan malam bersama di luar. Kedua orang tuaku dan kedua orang tuamu juga akan ikut,” ujar Rave tiba-tiba yang berhasil membuat Levana begitu terkejut mendengarnya. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya L