“Kau baik-baik saja?” tanya Levana pada Rave saat Kieran tengah mengangkat telepon.Sejak tadi suaminya itu hanya diam dan memandanginya dengan tatapan malas. Dirinya tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Rave, itu sebabnya ia memutuskan untuk bertanya.Sayangnya, pertanyaan Levana barusan bukannya mendapat jawaban dari diamnya sang suami, tetapi justru mendapat embusan napas kasar dari suaminya itu. Levana yang melihat semakin kebingungan karena tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dipikirkan sang suami.“Masih lama?” Suara Rave terdengar yang mana bukan menjawab pertanyaan Levana, justru berbalik tanya padanya.“Kau lelah? Kau bisa menunggu di dalam mobil, atau kau ingin diantarkan pulang oleh Damian?” tanya Levana sembari tangannya menyentuh lengan Rave. Dirinya terbiasa melakukan itu. “Jika kau ingin pulang, aku tidak ada masalah. Suruh saja Damian menjemputku kembali nantinya.”Embusan napas berat kembali terdengar keluar dari mulut Rave. “Aku hanya bertanya padamu, Levana,
Sikap yang ditunjukkan Rave pada Levana beberapa jam yang lalu masih teringat jelas di pikirannya. Levana tidak mampu menyembunyikan perasaan sedihnya begitu menyaksikan sikap Rave yang terlihat begitu menyayangi anak di kandungan Levana.Tangisan Levana bukan tanpa alasan, dan bukan juga karena dirinya ingin mengacaukan momen kebersamaan mereka. Bukan begitu, karena Levana mendadak terpikirkan jika dirinya suatu hari nanti akan kehilangan kebahagiaan yang baru saja bisa dirasakannya.“Sebenarnya apa yang tengah kau pikirkan?”Jika tadi pagi Levana yang menanyakan itu kepada Rave, yang barusan terjadi adalah Rave yang menanyakan pertanyaan tersebut pada dirinya.Levana yang semula hanya diam memandangi wajah Rave yang terpejam pun kini mengembuskan napas beratnya. Ia pikir suaminya itu masih terlelap, tetapi ternyata Rave menyadari jika dirinya sejak tadi terus memandangi wajah sang suami.Tubuh Levana seketika ditarik semakin merapat ke dalam pelukan Rave. Kini wajah mereka berdua sa
“Levana!”Tubuh Rave langsung bereaksi begitu dirinya melihat Levana yang mendadak goyah ketika bangkit dari duduknya. Tangan Levana tak sengaja menyenggol cangkir teh yang kini pecah berantakan di lantai. Beruntung Rave berhasil menangkap tubuh Levana dalam pelukannya hingga tidak membuat Levana jatuh terkena pecahan kaca.“Oh, Nyonya, apa yang terjadi?” tanya Eva yang tiba-tiba datang bersama dengan Damian di belakangnya.“Aku tidak apa-apa. Maaf telah membangunkan kalian berdua, Eva, Damian,” ujar Levana yang suaranya terdengar begitu lemah.“Tolong segera dibersihkan dan jangan sampai meninggalkan serpihan kacanya,” perintah Rave, baik pada Eva maupun pada Damian.“Tak perlu, aku bisa jalan sendiri,” tolak Levana begitu Rave hendak menggendongnya.Akan tetapi, ucapan Levana tidak didengarkan oleh Rave yang mana tetap memilih untuk menggendong Levana dan membawanya kembali ke kamar.“Kau merasa pusing?” tanya Rave begitu selesai membaringkan tubuh Levana di atas ranjang. Tangannya
Semenjak pertengkaran saat sarapan tadi pagi, Levana hanya memilih diam. Begitu juga dengan Rave yang mana seolah tidak menganggap keberadaan Levana.Dirinya bahkan sempat terkejut jika Rave kembali pulang ke rumahnya setelah mereka bertengkar tadi pagi. Namun, melihat kedatangan Rave dirinya kembali merasa jika ia tengah dimanfaatkan oleh suaminya itu.Sudah hampir satu jam Levana duduk di meja kerjanya. Sewaktu Rave masuk ke dalam kamarnya, suaminya itu sempat melirik ke arah Levana yang tengah fokus membaca diagnosis pasiennya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Levana pura-pura sibuk karena terpikirkan hal lain.Ponsel yang ia pegang berulang kali diketukkannya di meja, sedangkan mata Levana terus melirik ke arah Rave yang tengah sibuk dengan tablet miliknya sembari bersandar di atas ranjang. Tiba-tiba ia merasa dehaman Rave terdengar dan matanya tiba-tiba menangkap tatapan mata Levana.“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” tegur Rave yang membuat Levana terlonjak kaget dan
Levana tidak tahu apa yang terjadi pada sang suami hari ini. Yang pasti, setelah keduanya pulang sehabis kontrol ke dokter kandungan, Rave terlihat begitu bahagia dan tak hentinya menggenggam erat tangan Levana. Saat mereka tiba di rumah, Levana langsung membersihkan dirinya dan Rave sibuk menelepon. Entah siapa yang tengah dihubungi oleh suaminya itu, tetapi dari ekspresinya yang terlihat begitu bahagia, sepertinya ada kabar baik yang tengah diterimanya. “Oh, kau sudah selesai?” sapa Rave begitu melihat Levana yang keluar dari kamar mandi. “Ya,” balas Levana singkat. “Kau ingin makan malam di rumah? Kalau ya, biar aku minta Eva memasakkan sesuatu untuk kita nanti malam.” Ucapan Levana barusan langsung ditolak oleh Rave dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Kita akan makan malam bersama di luar. Kedua orang tuaku dan kedua orang tuamu juga akan ikut,” ujar Rave tiba-tiba yang berhasil membuat Levana begitu terkejut mendengarnya. “Ada apa? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya L
Levana tidak bisa menebak apa yang tengah dibicarakan Rave dengan Lilian di telepon, tetapi melihat raut wajah sang suami yang tak bisa ditebak, dirinya memutuskan untuk pura-pura tidur saja. Dipejamkan matanya dan berusaha untuk tidak memedulikan apa pun lagi.Dirinya merasakan tangan Rave yang membelai lembut puncak kepalanya, tetapi Levana tetap tidak membuka matanya. Selimut yang semula hanya menutupi pinggangnya pun kini terasa menutupi hingga ke dadanya. Yang paling membuat perasaan Levana campur aduk adalah saat Rave mengecup singkat keningnya dan beranjak bangkit dari duduknya di atas ranjang.“Maafkan aku, Levana,” ujar Rave yang mana tak lama setelah itu terdengar bunyi pintu ditutup.Pertahanan Levana pun seketika hancur saat dirinya perlahan membuka mata. Benar sekali dugaannya yang mana Rave tengah meninggalkannya seorang diri di dalam kamar.Rasa sesal mendadak memenuhi perasaannya saat dirinya teringat jika pertahanan dirinya sudah runtuh semenjak keduanya tengah datang
Di hadapan Levana kini terdapat banyak foto-foto yang diambil oleh paparazzi. Levana hanya memegang salah satu foto saja dan setelahnya mengembuskan napas beratnya.“Seharusnya bukan aku yang Anda panggil, Tuan Maverick,” ujar Levana yang mengembalikan foto yang ia pegang di atas meja.“Kau tahu alasanku memanggilmu membicarakan ini berdua saja, Levana,” balas Francis Maverick.Kepala Levana menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak paham tujuanmu memanggilku ke sini. Anda seharusnya memberitahu Rave, bukan aku.”Mendengar ucapan Levana barusan justru membuat Francis tertawa. “Kau ingin aku memberitahu Rave tentang ini?”Mata Levana mendadak terpejam cukup lama, sedangkan tangannya mengepal kuat. “Aku.. Jujur saja aku tidak tahu.” Levana kini terlihat begitu serius menatap ke arah sang ayah mertua. “Tapi, Tuan, yang aku tahu Lilian dan Toby Duggan berteman dekat. Anda juga tahu tentang itu, bukan?”“Tidak ada teman yang berciuman mesra seperti itu, Levana!” tegur Francis yang berhasil membu
Kedua telapak tangan Lilian mengepal kuat dan Levana bisa merasakan tanda-tanda kemarahan yang begitu besar dari wanita di hadapannya itu. Menghadapi Lilian butuh ketenangan yang luar biasa besar karena bukan hanya sekali saja Levana berhadapan dengan wanita itu, dan ia sudah hapal bagaimana watak dari istri pertama suaminya.“Kontrol emosimu itu jika tidak ingin menjadi sorotan pengunjung lain,” tegur Levana dengan suaranya yang sangat tenang.Tentu saja teguran Levana barusan membuat Lilian kembali mengamuk. “Kau pikir siapa dirimu berani menegurku seperti itu, huh!” bentak Lilian.Tepat seperti yang sudah Levana duga sebelumnya, bentakan Lilian barusan mengundang sejumlah perhatian para pengunjung lain, bahkan beberapa dari mereka menunjukkan rasa tidak sukanya pada Levana dan Lilian saat ini.“Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita berdua bicarakan, bukan? Sebaiknya aku pergi sekarang,” ucap Levana yang kini hendak bangkit berdiri, tetapi dengan cepat ditegur oleh Lilian.“Dudu