Share

Bab 5 Panggilan Terakhir

Penulis: Nyx Rai
Sudut pandang Valerie:

Aurel tetap mengantarku ke bandara, tetapi dia tidak menyerahkan tiketku. Setelah memberiku secangkir cokelat panas, dia memelototiku dari seberang meja kecil Mekdi. Lagaknya seperti seorang ibu yang sedang menghakimi anaknya yang bolos sekolah.

"Aku juga baru tahu hari ini," ucapku dengan takut-takut.

"Ya, itu katamu!" balasnya.

Semua ini juga berada di luar rencanaku. Aku menunduk, memandangi cokelatku, tidak berani menatap Aurel. Aku tahu mengapa dia marah.

Aurel hidup berkecukupan. Dia cantik, populer, memiliki badan bagus, dan sebagainya. Namun, Aurel tidak terlahir di keluarga kaya raya. Dia melihat ibunya bekerja keras membesarkannya dan membenci ayahnya yang tidak bertanggung jawab.

Alhasil, ternyata sang ayah tidak meninggalkan mereka seperti ucapan ibunya. Ibu Aurel-lah yang berinisiatif meminta pisah. Aurel merasa aku melakukan hal yang sama dengan ibunya.

"Aku nggak akan mengajari bayiku untuk membencinya ...," gumamku, masih tidak berani menatap wajah marahnya. Aku tahu seberapa sulit hidupnya dahulu.

Aurel menatapku dengan tajam dan berucap, "Nggak cukup hanya begitu! Ibuku berbohong. Ya, dia melakukannya karena ayahku selingkuh. Tapi, ayahku juga menyayangiku. Rasanya menyakitkan saat tahu kalau kami sebenarnya nggak membenci satu sama lain selama belasan tahun."

"Rasanya menyakitkan saat semuanya ketahuan dan aku membentak ibuku. Rasanya menyakitkan karena aku tahu ibuku sudah memberikan segalanya padaku. Semuanya sangat ... sangat rumit. Kamu nggak tahu sulitnya saat ibuku membangun perusahaannya sendiri sementara aku hanya bisa melihat dia terluka dan kesakitan," tambah Aurel.

Aku membiarkan Aurel mengomeliku. Aku tahu semua kata-katanya itu benar dan aku tahu itu masih menyakitkan baginya.

Aurel menghela napas panjang, lalu berkata lagi, "Val, membesarkan bayi sendirian itu nggak mudah."

"Kamu beruntung, Aurel. Tapi, gimana kalau ayahmu membencimu? Apa kamu masih ingat betapa gugupnya kamu waktu pergi menemuinya?" balasku. Aku berharap aku bisa menerima nasihatnya, tetapi kasusku berbeda.

Aurel terdiam. Saat itu adalah semester kedua di kelas 8. Butuh waktu berminggu-minggu sebelum dia akhirnya membuat keputusan. Melihat perangainya yang tidak biasa, guru kami bahkan mengira murid terbaiknya terlibat dalam hubungan toksik.

"Apa benaran nggak ada kesempatan lagi? Aku masih nggak percaya kamu benar-benar akan melakukan ini. Apa yang terjadi kali ini? Toh dari dulu dia juga sudah berengsek," ujar Aurel, masih enggan menerima fakta bahwa aku hendak bercerai.

Apa yang terjadi? Tidak banyak. Aku hanya melihat suamiku mencium saudaraku. Mereka mungkin sudah sering bermesraan sebelumnya. Namun, menyaksikannya sendiri tetaplah berbeda.

"Nggak penting," sahutku sambil memejamkan mata. Aku menggeleng, berupaya menghilangkan Marcel dari kepalaku, lalu berucap lagi, "Dia nggak mencintaiku, lalu sekarang pujaan hatinya sudah sembuh. Mereka akan bersama dan aku pergi dari dunia mereka. Itu rencanaku."

"Heh, rencana yang bagus," cibir Aurel sambil menatapku dengan tajam. Dia lalu melanjutkan, "Kalau begitu biar kutanya, apa yang akan kamu lakukan dengan bayi ini di dalam rencanamu?"

Aku memberinya tatapan datar. Bayi ini hadir di luar rencana awalku. Namun, sekali lagi Marcel sudah menegaskan bahwa itu tidak akan mengubah apa pun.

"Kamu nggak harus mempertahankan pernikahan demi bayimu, tapi setidaknya kamu harus memberitahunya," ujar Aurel. Dia mendengus marah dan lanjut menggerutu, "Ugh! Kenapa aku jadi membela si berengsek itu? Gara-gara kamu, nih!"

Hanya Aurel yang akan memaki triliuner berkuasa di kota demi diriku.

Aurel memberikan tiket pesawat dan menekannya dengan satu jari. Tangannya yang lain menyodorkan ponselku. Dia berkata, "Kasih tahu dia. Nggak peduli bagaimanapun reaksinya, kamu bisa pergi setelah tahu sudah melakukan semua yang kamu bisa."

Haruskah aku memberi tahu Marcel bahwa aku hendak pergi dengan mengandung bayi yang tidak diinginkannya? Bayi darah dagingnya yang bisa mengancam kesempatannya bersama Alisa? Haruskah aku memberitahunya pada hari di mana dia akhirnya melihat harapan untuk bersama pujaan hatinya? Bahkan di mataku itu terlalu kejam.

"Dia berhak tahu," bujuk Aurel.

Aku meraih ponselku dengan ragu. Tak lama, aku menaruhnya kembali.

"Apa?" gumam Aurel dengan mata terbelalak.

"Aku kirimi dia pesan," jelasku,

Aurel memutar bola matanya dan berkata, "Kirim pesan? Dia suamimu dan kamu menyampaikan berita seperti ini lewat pesan?" Aku membiarkannya mengambil ponselku.

Aku lelah. Lelah melihat kebencian di mata pria yang kucintai. Lelah mendengar suara dinginnya yang pernah membawa kehangatan buatku.

"Serius? Hanya ini yang kamu bisa?" ujar Aurel sambil menyodorkan ponsel ke depan wajahku.

[ Aku di bandara. Kalau kamu minta, aku nggak akan pergi. ]

Aku menatap Aurel dan berkata, "Kalau dia punya sedikit saja perasaan untukku ... kalau dia bilang aku boleh tinggal di dekatnya, bahkan kalau kami bercerai, aku akan berjuang untuknya, untuk bayi kami, dan untuk segalanya. Tapi, kalau nggak ...."

Jika tidak, apa artinya menyiksa semua orang dengan bayi yang tidak bersalah?

"Mohon perhatian, panggilan terakhir penumpang pesawat ...."

Kami menunggu selama satu jam penuh hingga pengumuman panggilan terakhir untuk naik pesawat dibunyikan. Ekspresi Aurel terlihat kian sedih. Anehnya, aku justru sangat tenang. Mungkin aku sudah terbiasa dikecewakan. Mungkin juga karena kali ini aku sama sekali tidak berharap.

Ponselku berdering, menginterupsi Aurel yang hendak bicara. Dia menyenggolku dengan semangat, tetapi itu bukan telepon dari Marcel.

[ Pak Joshua menelepon ]

Tiga kata itu bersinar dingin di layarku. Jantungku serasa diremas. Aku tidak ingin mengangkat panggilan ini.

"Halo," ucapku dengan suara dingin.

"Ibumu terluka, cepat pulang," ujar Joshua Salim dengan suara yang lebih dingin. Sebelum aku bisa menyahut, dia sudah memutus panggilan.

Bab terkait

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 6 Bank Darah

    Sudut pandang Valerie:"Ada apa?" tanya Aurel sambil mengerjap. Percakapan singkatku di telepon membuatnya heran.Aku meremas ponselku. Untuk kedua kalinya dalam satu hari ini, rencanaku terancam batal. Aku hanya ingin menjauh dan tidak terluka lagi. Apa harapanku terlalu muluk-muluk?Aku memejamkan mata. Sebagian diriku ingin menyambar tiketku dan pergi, meninggalkan dunia bersama semua kegilaannya di belakangku.Namun, aku tidak bisa. Aku harus siaga jika Ibu membutuhkan transfusi darah. Itulah artiku di dalam keluarga ini, menjadi bank darah mereka.Aku berdoa agar panggilan telepon tadi tidak berkaitan dengan pesanku untuk Marcel. Aku tidak yakin situasi mana yang kuharapkan, Ibu benar-benar terluka ataukah Marcel mengadu."Sepertinya aku nggak bisa pergi hari ini. Maaf, tolong antar aku pulang," ucapku pada Aurel sambil menghela napas lelah."Baguslah! Apa itu dia? Dia bilang apa? Apa kalian selalu panggil satu sama lain seperti itu?" tanya Aurel dengan kegembiraan tulus di suaran

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 7 Tersingkap

    Sudut pandang Marcel:Aku tidak membalas pesan Val. Dia tidak mungkin pergi, dia sudah biasa mengancamku seperti ini.Aku memang terlalu sering bersama Alisa belakangan ini, jadi wajar jika Val mengamuk. Namun, dia seharusnya mengerti bahwa ini menyangkut nyawa seseorang. Meski itu adalah nyawa saudara perempuan yang dibencinya.Sebenarnya aku bisa memahami Val. Sebagai putri yang terlahir sehat, dia iri dengan semua perhatian ekstra yang didapatkan Alisa. Itu sebabnya dia selalu membuat masalah.Val senang memberontak, tetapi angkuh. Dia bersikap cuek, tetapi mengharapkan cinta. Dia selalu mencari perhatianku dengan pesan-pesan cemburu, air mata, atau ancaman perceraian.Aku tidak menyangka kali ini Val benar-benar akan memberikan surat cerai yang sudah ditandatangani. Bayangkan saja masalah apa yang akan menunggu jika aku benar-benar setuju untuk bercerai dengannya.Sesuai dugaanku, Val kembali. Dia tidak membawa koper yang hanya terisi setengah itu. Kurasa sandiwaranya berakhir mala

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 8 Darah Naga

    Sudut pandang Valerie:Aku duduk di lantai yang dingin, baru sadar bahwa aku sudah membuat penilaian yang terlalu cepat. Kukira hidupku selama ini adalah neraka. Aku salah.Meskipun aku selalu diperlakukan dengan buruk, mereka tidak pernah berani menyentuhku. Bagaimanapun, aku adalah bank darah yang berharga bagi Alisa. Mereka tidak sanggup kehilanganku. Namun, sekarang sudah berbeda.Aku memegangi pipiku, perlahan memandang pria yang dahulu kupanggil ayah. Dia tengah menatapku dengan dingin. Aku masih bank darah di keluarga ini, tetapi tidak lagi berharga. Sekarang aku hanya cadangan. Bagaimanapun, Alisa sudah sembuh.Mereka tidak akan membuangku karena aku mungkin masih memiliki sedikit nilai. Mereka tidak peduli meskipun aku kehilangan kesempatan untuk hidup normal.Demi "kemungkinan kecil" itu, aku tidak diizinkan mendapatkan kebebasan. Aku dilarang meninggalkan kota dan menjalani hidupku sendiri.Mereka tidak peduli meski hatiku hancur berkeping-keping setiap kali melihat Marcel b

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 9 Kebencian antara Kakak Adik

    Sudut pandang Marcel:Terdapat banyak pecahan kaca di lantai. Aku tidak berani menurunkan Alisa. Trombosit darahnya mungkin sudah berada di tingkat normal saat ini. Namun, tidak ada yang berani memastikan apakah dia sudah benar-benar keluar dari bahaya.Terakhir kali Alisa membutuhkan transfusi darah, dia hanya terluka gores kecil. Luka itu pun disebabkan oleh Val."Tolong ...," gumam Val sambil berjalan menghampiriku. Tatapannya tidak diarahkan padaku."Aku nggak bisa menurunkan Alisa. Kamu tahu alasannya," ucapku.Val mendengus, lalu akhirnya mendongak dari balik rambutnya yang acak-acakan. Joshua pasti menamparnya dengan sangat kuat hingga rambutnya berantakan begini. Aku juga melihat jejak telapak tangan merah di pipinya."Tolong minggir, aku mau lewat," kata Val dengan suara yang lebih jelas dan nada dingin yang asing.Aku menggendong Alisa di depan pintu. Aku mengernyit, membenci kesinisan di mata Val. Dia tahu mengapa aku salah paham dan dia mengejekku karenanya. Setiap kali aku

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 10 Kejahatan Terburuk

    Sudut pandang Marcel:Aku tahu Alisa sangat sensitif tentang kondisi kesehatannya. Apalagi dia harus berulang kali memohon pada saudara yang tidak disukainya ini untuk menyelamatkan hidupnya.Itu sebabnya, saat Val menggunakan hal ini untuk memaksaku menikahinya, Alisa mulai benar-benar membenci Val.Val membalas Alisa dengan tajam, "Mudah saja bagimu untuk berkata begitu. Kamu bisa bersikap angkuh sesukamu karena pasukanmu bahkan bisa mengikatku di meja dan menguras darahku kalau kamu perlu.""Valerie!" bentakku.Alisa mengangkat tangannya lagi, tetapi aku memiringkan tubuh ke samping agar Alisa tidak bisa menjangkau Val.Pada saat yang sama, Val menangkap lengan Alisa. Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Mendengar Alisa menjerit kesakitan, aku sontak mendorong Val pergi.Val tersungkur ke lantai, tangannya menekan pecahan kaca yang tajam. Aku tahu dia sengaja.Aku bahkan tidak mendorongnya dengan kuat. Val pasti sengaja jatuh seperti itu untuk membuatku merasa bersalah.Aku ingin m

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 11 Kebencian

    Sudut pandang Marcel:Val menggeleng pelan, lalu menatapku dengan kecewa sambil berkata, "Jadi, dia memang tahu."Apa Val tidak memahami ucapanku? Bukan itu maksudku!"Kamu bilang ingin aku pergi, tapi kamu melaporkan kepergianku pada ayahmu. Kurasa antara Romeo tercintamu dan darahku, kamu masih lebih mementingkan darahku, ya?" ejek Val pada Alisa.Aku paham mengapa Alisa begitu membenci Val. Aku juga ingin sekali menjahit bibir berbisanya itu."Kamu merebutnya dariku! Kamu merebutnya! Dia milikku! Kami sudah ditakdirkan untuk bersama!" seru Alisa dengan histeris.Val tersenyum tenang pada Alisa, begitu tenang hingga terkesan asing di mataku. Bekas tamparan merah di pipinya membuatnya terkesan kian rapuh."Oke, kalau kamu minta ayahmu melepaskanku, aku akan menceraikannya hari juga," ucap Val.Aku memutar bola mataku dan mendengus. Val hanya mempermainkan Alisa karena tahu Alisa pasti akan terpedaya. Jika waktu bisa diulangi, aku akan menikahi Alisa meskipun aku tidak bisa menyembuhka

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 12 Tidak Berjiwa

    Sudut pandang Marcel:Sekarang aku tahu apa yang aneh padanya. Yakni absennya cinta dari matanya. Sejak kami cukup dewasa untuk mengenal cinta, Val selalu menatapku dengan penuh cinta. Dia tidak pernah menyembunyikan hal itu.Cinta itu masih ada di matanya pagi ini, ketika dia memberiku surat cerai. Namun, sekarang cinta itu sudah hilang.Aku hampir tidak bisa mengenali Val tanpa tatapan penuh cinta itu. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting. Seharusnya tidak seperti ini.Cinta Val selalu membebaniku. Jika dia tidak mencintaiku, dia tidak akan memaksaku menikahinya dan aku juga tidak akan membencinya. Aku tidak akan terbelenggu dalam pernikahan yang tidak kuinginkan. Aku pasti sudah bersama Alisa!Jika Val tidak mencintaiku, semua ini tidak akan terjadi. Dia akan menyelamatkan Alisa seperti yang sudah seharusnya dia lakukan sebagai saudara Alisa. Aku juga akan bersama Alisa, seperti harapanku sejak pertama kali bertemu dengannya.Namun, Val memberikan cintanya kepadaku. Di

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 13 Aku akan Hidup

    Sudut pandang Valerie:Aku menginap di tempat Aurel dan tidur ... lebih tepatnya tidak sadarkan diri selama tiga hari penuh. Aku mengidap demam setelah pertengkaran hebat dengan mantan keluargaku. Aku sudah tidak punya rumah.Marcel tentu saja tidak menghubungiku. Yang mengejutkan, aku juga belum menerima surat cerai yang katanya akan kudapatkan dalam dua hingga tiga hari."Sudah hidup kembali, Putri Tidur? Gimana perasaanmu?" tanya Aurel dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia berjalan masuk sambil membawa segelas air.Mati rasa. Jadi, kurasa lebih baik dari hari-hariku biasanya. Aku mengusap wajah sambil mengumpulkan kesadaranku."Nih, air jahe madu buat menurunkan demam. Nggak pakai debat," ujar Aurel sambil duduk di sampingku.Aurel tahu aku paling benci jahe. Namun, aku juga tidak bisa mengambil risiko dengan tubuhku sekarang. Aku harus menjaga sosok kecil di dalam rahimku."Apa ini artinya kamu akan mempertahankan bayi ini?" tanya Aurel sambil menatap perutku yang sedang kubelai t

Bab terbaru

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 100 Modus Alisa

    Sudut pandang Valerie:"Aku akan buat dia membayar!"Teriakan ayah angkatku terdengar begitu aku keluar dari lift. Aku bahkan tidak perlu bertanya di mana letak kamar 713."Dia sudah ditangkap, Ayah!" Alisa tersenyum, seolah-olah dia adalah malaikat yang polos. "Aku sudah menduganya sejak wanita itu melompat dari gedung itu! Seperti pepatah, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."…."Aveline, hasil laporannya seharusnya sudah keluar sekarang," kata Joshua tiba-tiba. Dengan panik, aku langsung menyelinap masuk ke ruangan di sebelahnya. Aku sebenarnya tidak berniat menguping, tetapi sekarang aku merasa bersalah setengah mati.Tidak lama kemudian, Aveline melewati pintu di depanku. Aku segera menutup pintu dan menempelkan telingaku ke dinding yang berbagi dengan kamar 713. Joshua jelas sengaja menyuruhnya pergi. Apa yang ingin dia bicarakan dengan Alisa sampai istrinya sendiri tidak boleh tahu?"Bersihkan media sosialmu dari semua tentang wanita itu." Suara Joshua terdengar rendah, nyaris

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 99 Neraka Pribadi

    Sudut pandang Valerie:Adrian tetap diam saat kami duduk di dalam mobil dan melaju keluar dari area parkir. Aku bertanya-tanya apakah aku sudah mengatakan terlalu banyak padanya.Mungkin ketika seseorang menunjukkan kalau dia berpihak padamu, sulit untuk menahan diri untuk tidak mencurahkan semua kesedihan kepadanya. Sekarang, aku mulai memahami Alisa dengan lebih baik.Namun, Adrian bukan milikku. Dia milik Aurel. Aku sedang dalam perjalanan untuk menemukan keluargaku yang sebenarnya …. Keluarga yang bisa aku tangisi tanpa rasa bersalah.Aku tidak pernah mau mengakuinya, tetapi aku sangat iri pada Alisa. Aku iri karena dia bisa dicintai oleh begitu banyak orang, bisa bertindak sesuka hatinya tanpa khawatir. Sementara aku, meskipun sudah melakukan yang terbaik, tidak pernah bisa mendapatkan sekadar tatapan peduli dari keluarga dan teman yang sama dengannya.Apa orang tuaku akan mencintaiku seperti keluarga Salim mencintai Alisa?Kalau aku lahir dengan penyakit yang mengerikan di sisi o

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 98 Ruang untuk Bernapas

    Sudut pandang Valerie:Apakah ada jiwa yang lebih baik lagi di dunia ini? Aku memandang Adrian, diam-diam iri pada Aurel karena dia dicintai oleh seseorang sebaik Adrian.Namun, aku tidak bisa. "Aku ingin menjadi temanmu, Adrian." Aku menggeleng, merasakan sesak di dadaku. "Jadi, aku nggak bisa menjadi beban untukmu. Kamu mengerti, 'kan?"Adrian menatapku dengan penuh pengertian. Aku tahu dia mengerti. Berbicara dengannya selalu terasa begitu mudah."Kamu meremehkanku dengan menganggap kalau melindungi satu gadis saja adalah beban besar bagiku." Adrian berkata setengah bercanda. "Aku nggak bisa melindungimu dengan baik kalau kamu pergi, terutama ke tempat sejauh itu. Kalau di sini, aku janji mereka nggak akan bisa mengambil setetes pun darahmu lagi kalau kamu nggak menginginkannya."Kata-katanya terdengar sangat manis. Namun, aku tidak bisa memberikan beban sebesar ini pada Adrian. Aku sudah cukup merasa bersalah menerima begitu banyak bantuannya selama ini, apalagi hanya karena kesala

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 97 Kota Adrian

    Sudut pandang Valerie:"Dasira?" Adrian menatapku dengan kaget saat kami berjalan menuju area parkir. "Itu sangat jauh dari sini. Gimana kamu bisa tahu orang tua kandungmu ada di sana?"Dokter itu adalah kenalan Adrian. Atas janjinya, kami meninggalkan ruangannya dengan perasaan aman tentang rahasiaku. Aku merasa bersalah menyembunyikannya dari Marcel, tetapi sebelum aku yakin bisa melindungi bayiku dari mereka, aku tidak bisa mengambil risiko untuk memberi tahu siapa pun di keluargaku tentang ini.Adrian adalah orang ketiga dari sedikit orang yang bisa aku percayai dengan rahasia ini. Aku menjelaskan secara singkat kepadanya tentang situasiku dan bagaimana ayah angkatku selalu berhasil menemukanku dalam upaya-upayaku untuk kabur dari rumah sebelumnya.Semua bermula saat Marcel menemukanku di hutan. Saat itu, aku baru saja mendapatkan teman pertama yang berjanji akan membantuku kabur jika aku benar-benar membenci rumahku. Dia membawaku masuk ke dalam hutan. Setelah beberapa belokan, di

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 96 Perangkap Mematikan

    Sudut Pandang Valerie:Bertemu Marcel tadi adalah sebuah kejutan. Aku tidak pernah membayangkan ada sesuatu yang bisa menariknya dari Alisa, terutama saat dia benar-benar terluka kali ini. Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya, dia sepertinya mengubah pikirannya menjadi pertanyaan yang tidak ada artinya. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Sejujurnya, aku rasa dia juga tidak benar-benar mengharapkan jawaban yang pasti. Kapan dia kehilangan aku? Apakah saat berbulan-bulan, di menjadikan rumah sakit Alisa sebagai satu-satunya rumahnya? Ciuman yang dia berikan kepada Alisa? Semua pengabaian selama bertahun-tahun, ejekan, dan cibiran dinginnya? Atau malam pernikahan kami yang dia habiskan bersama Alisa? Atau mungkin, dia sudah kehilangan aku sejak hari kedua dia menyelamatkanku, ketika dia menganggap Alisa sebagai naga kecil yang harus dia selamatkan. Kurasa pernikahan ini telah mati jauh sebelum ini. Pernikahan ini mati di salah satu malam pan

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 95 Kapan Aku Kehilangan Kamu?

    Sudut pandang Marcel:"Valerie." Aku meraih lengannya dengan lembut. Namun, dia langsung menepis tanganku. "Aku …."Valerie menatapku tajam, menunggu dengan tidak sabar.Melihat matanya yang dingin begitu menyakitkan. Rasa sakit itu mencengkeram dadaku, tetapi aku tidak berdaya di hadapannya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku nyaris tidak mengenali gadis yang dulu selalu tersenyum paling cerah padaku ini.Valerie tahu aku meninggalkan Alisa di rumah sakit untuk datang ke sini. Dulu, setiap kali aku melakukan itu untuknya, wajahnya akan bersinar, matanya yang indah akan melengkung seperti bulan sabit saat dia melompat ke pelukanku, tersenyum licik seperti rubah kecil. Namun sekarang, dia bahkan tidak mau menatapku."Aku ...." Aku membuka mulut, tetapi semua kata yang ingin kuucapkan tiba-tiba lenyap. "Aku ...." Aku tidak bisa menemukan satu pun kata untuk diucapkan.Valerie mengerlingkan matanya dan berbalik pergi."Aku akan memberimu apa yang kamu mau!" seruku, tahu itu satu-satunya h

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 94 Valerie Tanzil

    Sudut pandang Marcel:"Pak Salim?" Dokter masuk dengan setumpuk berkas dan aku langsung berdiri."Eee, bukan ... namaku Marcel, Marcel Tanzil." Aku mengernyit, mengulurkan tangan untuk mengambil hasil tes Valerie yang dokter ambil untukku. "Val ... Valerie Salim adalah istriku."Valerie bahkan tidak menggunakan margaku lagi? Aku tahu dia sudah mengubahnya di dokumen resmi, tetapi ....Aku tidak pernah memanggilnya dengan nama margaku lagi. Seperti yang dia inginkan.Dokter itu ragu-ragu dan menatapku dengan curiga."Aku bisa membuktikannya, aku punya surat nikah di rumah." Yang sebenarnya aku bahkan tidak tahu di mana itu sekarang. Aku mengacak-acak rambutku dengan frustrasi. Aku tidak suka diingatkan kembali betapa aku telah kehilangan Valerie dalam setiap detail kecil. "Aku hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja, itu saja.""Dia ...." Dahi dokter itu semakin berkerut."Kamu bukan lagi suaminya!" Tepat ketika dokter hendak berbicara, Adrian melangkah masuk dengan nada dingin. "Dok

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 93 Aku Adalah Dunianya

    Sudut pandang Marcel:Di ruang dokter, aku sedang menunggu hasil tes Valerie. Aku tidak berani pergi bersama Nenek karena aku tahu Valerie tidak ingin melihatku. Dia hanya ingin surat cerai itu.Aku tidak memilikinya. Aku tidak ingin melepaskannya. Ini sangat sulit dan aku tidak tahu mengapa.Aku pikir aku bisa. Aku pikir aku tidak ingin menceraikannya hanya karena sudah terbiasa dengan semua yang telah dia lakukan untukku. Aku pikir aku hanya terbiasa memilikinya di sekitarku. Aku pikir aku telah menerima bahwa dia akan menjadi istriku.Namun, tidak satu pun dari semua itu yang bisa menjelaskan kenapa aku hanya ingin terjun bersamanya ketika kursinya jatuh dari tepi saat itu.Saat aku menangkap kursi Alisa, aku merasa senang. Aku senang telah menyelamatkannya. Namun, bukan itu yang kurasakan ketika aku melompat untuk Valerie.Ketika aku melihat Liam menendang kursinya, pikiranku kosong sejenak. Seolah-olah jiwaku melayang keluar dari tubuhku, takut menerima apa yang sedang terjadi. Ak

  • Hati Suamiku, Milik Pujaan Hatinya   Bab 92 Malaikat Sejati

    Sudut pandang Valerie:"Kenapa? Aku nggak boleh membalaskan dendam seorang teman terhadap sekelompok pengisap darah yang nggak punya hati itu?" Adrian mengerlingkan matanya seperti anak kecil yang manja. "Kebahagiaan hidup cintaku berada di tanganmu! Aku menunggumu memberi perintah, Nyonya!"Aku tertawa mendengar nada misteriusnya. Dia tersenyum bersamaku. Luar biasa rasanya menghabiskan waktu bersama Adrian. Dia memiliki energi cerah yang bisa membuatku tertawa, membuatku merasa seolah-olah tidak ada awan gelap dalam hidup ini yang berarti, seperti keajaiban."Sebenarnya, aku memang ingin ….""Senang melihatmu sudah sehat dan bersemangat setelah penculikan itu." Suara orang yang mengetuk pintu, terdengar sebelum membuka pintu.Aku terkejut. "Nenek?"Dari semua orang, aku paling tidak menyangka akan melihat Nenek di sini. Bagaimana dia tahu aku ada di sini? Yang paling penting, apakah dokter memberitahunya tentang kehamilanku?Aku mencengkeram lengan Adrian dengan panik. Dia langsung m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status