Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.
Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.
“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?
Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.
“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”
Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.”
“Tapi kelihatannya ga gitu?”
“Maksudnya?”
“Kamu pernah dekat dengan Pak Julian?” Dona jelas tidak puas dengan jawaban yang diberikan SIlvi dan terus berusaha mengorek cerita darinya. Silvi melirik ke seluruh ruangan, bahkan walau semua berlindung di balik komputer yang ada di meja mereka, Silvi tau bahwa mata mereka diam-diam melirik ke arah dirinya dan Dona.
“Gimana?” Dona kembali melemparkan pertanyaan, mendesak Silvi untuk menjawabnya. Silvi mengepalkan tangannya, hasrat ingin menghujat dan menghina wanita di hadapannya tiba-tiba tumbuh di dalam dirinya. Dia kira siapa dirinya berani memperlakukan Silvi seperti itu?
Tapi Silvi menahan dirinya, tidak, dia tidak dapat melakukannya. Dia sudah bersumpah akan berubah setelah kejadian orang tuanya dulu, dia tidak bisa menunjukkan sisi buruk dirinya di hadapan orang lain. Tidak lagi.
“Ehem…” Suara deheman keras dari Samuel menyelamatkan Silvi tepat saat ia melihat Dona kembali ingin membuka mulutnya. Mereka berdua langsung melihat ke arah Samuel yang sedang menatap mereka dengan tajam.
“Semuanya silahkan kembali ke pekerjaan masing-masing, dan silahkan membahas hal-hal lainnya setelah jam kerja.” Suara keyboard langsung kembali terdengar memenuhi ruangan begitu Samuel selesai berbicara, dan Dona langsung membuang wajahnya dan fokus pada pekerjaannya. Tapi Silvi, setelah semua itu merasa kesulitan untuk fokus pada pekerjaan.
Ia ingin segera berbicara dengan Samuel, ia takut pria itu akan salah paha. Tidak, bagaimana jika Julian sudah melakukan sesuatu dan menyebarkan rumor tentang Silvi dan keluarganya? Tapi Silvi berusaha bersabar, ia baru berjalan mendekat ke meja Samuel setelah seluruh orang di ruangannya sudah pulang.
Ia berdiri di hadapan pria itu sambil menundukkan kepalanya lesu. “Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Pak Julian.”
“Lalu kenapa dia bersikap sangat berbeda denganmu?” Samuel bertanya dengan tenang, tapi Silvi dapat merasakan keraguan dalam suaranya.
“Aku tidak tahu… Tapi aku bisa membuktikan bahwa aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Pak Julian, kamu bisa cek handphoneku, atau apapun itu.” Silvi meletakkan handphonenya di meja Samuel, seolah menunjukkan bahwa bahkan tidak masalah jika Samuel ingin memeriksanya sekarang.
Samuel yang melihatnya menghela nafas lalu bangkit dari tempat duduknya untuk mendekati Silvi dan menarik wanita itu dalam pelukannya. “Aku percaya padamu Silvi. Maaf, sepertinya tadi aku terpengaruh dengan pembicaraan rekan yang lain.”
“Jika ada hal lain yang mengganggumu maukah kamu bertanya dulu padaku sebelum mengambil kesimpulan? Aku tidak masalah jika harus menghadapi tatapan orang lain, tpi aku tidak sanggup melihat wajahmu seperti tadi lagi.”
“Maaf…”
Silvi menganggukkan kepalanya dalam pelukan Samuel, tidak ia tidak dapat kehilangan seorang pria seperti dirinya. Ia harus melakukan sesuatu sebelum Julian mempengaruhi Samuel.
~~~~
“Menurut kamu gimana kalau ada seseorang yang dulunya pembully dan memandang rendah semua orang tapi tiba-tiba kehidupannya berbalik 180 derajat dan dibuang semua orang?” Setelah diam cukup lama di mobil Samuel yang berniat mengantarkannya pulang, Silvi akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan yang sejak tadi muncul di kepalanya. Ia ingin tahu pikiran Samuel.
Samuel, walau tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu mencoba menjawabnya dengan baik. Jika Silvi menanyakannya, maka pasti ada alasannya kan? “Hmm… Mungkin bisa disebut karma? Kalau perbuatannya cukup parah mungkin dia memang pantas mendapatkannya.”
Silvi merasakan darahnya berdesir, ia memang selalu menganggap bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah sebuah karma, tapi mendengar hal itu keluar dari mulut orang yang ia sayangi terasa mencabik hatinya. Tapi ia berusaha mengendalikan ekspresinya dengan sekuat tenaga, ia tidak ingin Julian tau bahwa ini adalah tentang dirinya.
“Aku mungkin akan memilih menghindarinya, tapi bisa saja aku akan mencoba mencari tau dulu apa penyebab dia memperlakukan orang-orang seperti itu dulunya. Mungkin ada alasan yang tidak bisa aku mengerti?”
“Dan jika dia melakukannya tanpa alasannya? Dia merendahkan orang lain karena menurutnya itu adalah hal yang menyenangkan.” Ah, mendengar hal ini keluar dari mulutnya, Silvi merasa bahwa dirinya yang dulu benar-benar sampah.
“Apa kamu sedang terlibat dengan orang seperti itu?” Samuel ganti bertanya pada dirinya.
“Mungkin…” Silvi menjawab lirih. “Teman lamaku yang bersifat seperti itu tiba-tiba menghubungi lagi. Aku tidak tau harus bersikap seperti apa.” lihatlah betapa lancar dirinya berbohong.
Samuel menggenggam tangan Silvi yang berada di pangkuannya dengan satu tangannya. “Silvi, aku tau kamu tidak tega, tapi ada baiknya jika kamu tidak terlalu melibatkan dirimu dengan orang seperti itu.”
Silvi menundukkan kepalanya, “Tapi bagaimana kalau dia sudah berubah?”
“Silvi… Orang-orang seperti itu tidak berubah begitu saja, selalu ada kemungkinan dirinya kembali bersikap seperti itu.” pikiran Silvi melayang pada kejadian di kantor tadi, saat keinginan untuk menghina Dona muncul dalam hatinya, ia bahkan sempat menganggap bahwa Dona tidak pantas berbicara padanya. Senyum lirih muncul di wajah Silvi, sepertinya apa yang dikatakan oleh Samuel benar adanya. Dia tidak pernah benar-benar berubah, dan hanya memasang topeng kebohongan.
“Benar, manusia sepertinya tidak pantas diberikan kesempatan.”
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang
“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan.Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh?“Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi.“Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? K
Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang. “Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh he
Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang. “Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh he
“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan.Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh?“Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi.“Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? K
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang