“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.
Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan. Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh? “Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi. “Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? Kenapa sih justru anak seperti ini yang mendekatinya ketika bahkan Sonya yang tidak secantik ataupun sekaya dirinya bisa berpacaran dengan pria paling popular di sekolah. “Dengar Juan…” Silvi mengangkat telunjuknya, mengangkat dagu laki-laki itu untuk menatap dirinya secara langsung. Silvi akan memberikan sebuah nasehat penting, dan dia harus memastikan bahwa laki-laki ini mendengarnya dengan baik. “Lain kali pastikan bahwa kamu memilih orang yang berada di level yang sama denganmu.” “Julian.” “Hah?” “Namaku Julian.” “Hah…” Silvi mendengus, ekspresi mengejek terlihat jelas di wajahnya. Bahkan di saat seperti ini, hanya itulah yang ia pikirkan? Untuk mengoreksi namanya yang bahkan tidak dapat diingat oleh Silvi setelah mereka berada di kelas yang sama selama dua tahun. Silvi menarik telunjuknya, lalu mengelapnya di pakaian yang dikenakan Julian. Dia sungguh menggelikan, sangat menggelikan hingga Silvi bahkan tidak mampu menggunakan topeng anak baiknya ketika berbicara dengan dirinya. SIlvi yang sudah tidak ingin berlama-lama berdua bersama Julian mulai berjalan pergi. Dengan sengaja ia menabrak tubuh kurus pria itu saat berselisih dengannya yang masih terpaku di tempat. Anggap saja itu hadiah darinya, karena pria itu tidak akan mungkin bisa berada sedekat itu dengan Silvi di lain waktu. Dan semoga saja pria itu memiliki sedikit harga diri untuk tidak memunculkan wajahnya di hadapan Silvi lagi, karena hal itu hanya akan merusak moodnya. Lucunya(atau mungkin untungnya bagi Silvi), hanya beberapa hari dari hari pengakuan Julian kepada Silvi, Juan pindah keluar negeri. Informasi yang disampaikan oleh wali kelasnya sama sekali tidak menarik, hanya sekilas pikiran bahwa pengakuannya yang ternyata adalah sebuah usaha sebelum dirinya pindah ke luar negeri yang muncul. Sisanya? Silvi sama sekali tidak tertarik. Julian yang malang, keberanian yang mungkin sudah lama ia kumpulkan hanya berubah menjadi rasa malu. Silvi tidak pernah lagi bertemu dengan Julian sejak hari itu, hingga malam ini. Sepuluh tahun sejak kelulusannya dari SMA. Yang artinya, sebelas tahun sejak Julian pindah keluar negeri. Tapi malam ini Julian kembali berdiri di hadapannya, diperkenalkan sebagai anak dari direktur utama tempat ia bekerja. ‘Julian Darmawan.’ Lucunya, Silvi tidak pernah melupakan nama itu lagi, jadi ketika ia mendengarkan nama itu disebut oleh MC dari acara Gala dinner yang digelar oleh kantornya, Silvi terdiam kaku. Dalam hati ia berdoa bahwa itu hanyalah nama yang sama dan orang yang berbeda. “Silahkan untuk Bapak Julian menyampaikan kata sambutan dan pesan kepada kami semua.” Silvi memperhatikan pria bertubuh tinggi dan atletis yang berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju panggung, bahkan dengan penampilan yang sudah berubah sepenuhnya, Silvi tau bahwa dibalik tubuh tinggi dan wajah yang tegas itu, dia adalah Julian yang sama dengan pria culun yang pernah ia tolak secara tidak baik-baik. ‘Sial, apa aku sudah salah menolak orang?’ Silvi memandangi dirinya di cermin, begitu kenyataan bahwa Julian yang merupakan putra dari bosnya adalah Julian yang sama dengan Julian yang ia tolak dengan begitu sombongnya di masa SMA adalah orang yang sama, ia langsung meninggalkan ballroom dan kabur ke toilet. Julian tidak mungkin mengenalinya, kan? Bagaimana jika ia tahu dan mempermalukan dirinya di kantor untuk balas dendam? Tujuan dari direktur mengenalkan anaknya malam ini juga adalah penanda bahwa Julian akan segera bergabung untuk mengambil posisinya di perusahaan yang sialnya adalah milik keluarganya itu. Apa Silvi mengundurkan diri saja? Rasanya ia tidak tau harus bersikap bagaimana apabila ia bertemu dengan Julian di kantor nanti. Silvi tau dia banyak melakukan kesalahan di masa remajanya dulu akibat kesombongannya yang tak terbendung. Tapi ia tidak tau bahwa salah satu dari kesalahannya itu akan muncul sebagai mimpi buruk seperti ini. Ah tidak, pria itu tidak mungkin mengingat Silvi, sebelas tahun sudah berlalu, dan Julian baru saja kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan studinya dan bekerja selama beberapa tahun di sana sebagai pengalaman. Setidaknya itulah yang sempat Silvi dengarkan tadi. Ya, Silvi hanyalah bagian dari masa lalu tidak penting yang pernah ia tinggalkan. Eksistensinya tidak mungkin menjadi hal penting di kehidupan pria sepenting Julian. “Ah… Sial.” Silvi menjambak rambutnya sendiri dengan kesal, harusnya ia bersikap lebih baik di masa lalu. Tapi semua sudah terlambat, sekarang ia hanya bisa berpura-pura bersikap seperti biasa. Silvi menghembuskan nafasnya, lalu tersenyum pada bayangannya yang berada di cermin. Ya, dia hanya perlu bersikap seperti biasanya, Silvi yang ramah danbaik hati. Dengan begitu, walau mengenalinya, Julian mungkin akan mengabaikan dirinya. Tapi senyumnya langsung menghilang sesaat ia melangkah keluar dari toilet, begitu melihat siapa yang tengah menunggunya dibalik pintu. Julian, pria itu berdiri di hadapannya, seolah memang menunggu dirinya keluar dari balik pintu sejak tadi. “Apa kamu mengingat namaku dengan baik kali ini?” Bangsat.Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang. “Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh he
Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang. “Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh he
“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan.Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh?“Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi.“Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? K
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang