Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang.
“Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh helaian rambut Wanita berambut ikal itu sebelum akhirnya menundukkan wajahnya untuk mencium helaian rambut yang berada di genggamannya. “Bahkan rambutmu masih sewangi yang kuingat.” ‘Sial, Pria ini masih setidak normal yang ia ingat.’ Silvi menepis tangan Julian yang menyentuh rambutnya, ekspresinya berubah tidak suka. “Katakan sejak awal jika anda tidak tertarik untuk berbicara.” Bukannya marah, Julian justru tersenyum semakin lebar, Silvi yang merasa tidak nyaman hanya dapat membuang mukanya, terlalu malas untuk melihat wajah pria itu secara langsung. Rasa sungkan dan bersalah yang sempat ia rasakan menguap begitu saja. “Benar, sifat dan cara bicara yang arogan itu lebih cocok denganmu dibandingkan dengan permintaan maafmu yang palsu tadi.” Tanpa memperdulikan ekspresi Silvi, Julian kembali mencoba menyentuh wajahnya, tapi Wanita itu memalingkan wajahnya, hanya menyisakan beberapa helaian rambutnya yang bersentuhan dengan tangan Julian. “Saya tidak akan bersikap arogan jika anda tidak melakukan hal seperti ini.” “Oh ya? Memang hal seperti apa yang yang sedang aku lakukan?” Silvi melihat Julian dengan tidak nyaman, walau ragu ia akhirnya menjawab pertanyaan Julian dengan jujur. “Anda bersikap seperti orang mesum.” Julian tertawa keras, beberapa pekerja hotel yang kebetulan berada di dekat dirinya dan SIlvi melihat ke arah mereka. Silvi yang merasakan tatapan menghakimi itu langsung menundukkan wajahnya. Ia tidak nyaman, tapi Julian tidak peduli. “Kenapa? Apa karena aku hanya boleh melakukannya pada Wanita yang berada di level yang sama denganku?” Wajah Silvi memerah karena kaget, pria ini sepertinya masih mengingat perkataan buruknya di masa lalu dengan jelas. Apa sebenarnya dari awal sudah terlambat bagi Silvi untuk meminta maaf? “Saya tidak bermaksud mengatakan hal seperti itu…” Silvi memegang bahunya sendiri, matanya masih melihat ke samping, kearah di mana ia tidak perlu bertatapan secara langsung dengan Julian. Salah tingkah, malu dan perasaan kesal bercampur menjadi satu dalam dirinya. “Saya masih muda dan bodoh saat saya mengatakan hal seperti itu pada anda… Saya sudah belajar banyak setelah itu, dan saya menyadari bahwa tidak seharusnya saya mengatakan hal-hal seperti itu pada teman sekelas saya…” “Aku Juga sudah belajar Banyak hal Silvi, tidakkah kamu melihatnya?” Julian melebarkan tangannya, seolah sedang berusaha menarik perhatian Silvi Untuk melihat ke arahnya. Sekarang bagaimana jika kamu menjawab pertanyaanku?” “Pertanyaan Apa?” “Apakah aku sudah berada di level di mana aku bisa menjadi kekasihmu?” Silvi merapatkan bibirnya, ia ingin mengatakan bahwa pria di hadapannya ini sudah kehilangan akal sehat. Tapi jika ia mulai mengeluarkan kalimat-kalimat yang dapat menyinggung Julian, kali ini dirinyalah yang akan mengalami kerugian yang lebih besar. “Saya hanyalah seseorang yang bekerja untuk perusahaan milik keluarga anda...” Silvi memberikan jawaban setelah menghabiskan beberapa detik untuk berpikir. Mungkin jawaban ini dapat memuaskan ego Julian. “Kalau begitu, siapa yang berada di level yang lebih tinggi saat ini?” Silvi memalingkan wajahnya dengan cepat ke arah Julian, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Tapi yang ia lihat hanyalah senyuman mengejek di wajah pria itu. Silvi meremas dress yang ia kenakan, ia tidak ingin menjawabnya, tapi ia ingin segera lolos dari situasi tidak menyenangkan ini. “Anda…” Silvi menjawab setengah berbisik “Saya tidak mendengar jawabanmu.” “Anda, Pak Julian.” Kali ini Silvi meneriakkan jawabannya, tapi tangannya bergetar hebat menahan emosi. Sebuah kesadaran tiba-tiba terasa menampar wajahnya. Julian sedang mempermainkannya, dan sayangnya Silvi tidak memiliki pilihan selain membiarkan dirinya dipermainkan. Julian menyentuh bahu Silvi dengan kedua tangannya, senyum kemenangan terlihat di wajahnya. “Berbahagialah Silvi, karena aku tidak memiliki masalah untuk menurunkan levelku hanya untuk dirimu.” Silvi membuka mulutnya, bermaksud mempertanyakan maksud dari perkataan pria itu, tapi Julian langsung memotongnya. “Dan kali ini kamu tidak akan memiliki pilihan selain berkata iya.” Setelah mengatakan itu Julian meninggalkan Silvi yang masih terpaku di tempatnya. Ia merasakan firasat buruk, seperti sesuatu yang sangat buruk akan menimpanya.Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang
“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan.Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh?“Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi.“Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? K
Silvi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Alicia, ibunya. Rasa panas mulai menjalar di sana, matanya melebar karena tidak menduga perlakuan ibunya.“SEMUA KARENA KAMU! TIDAK SEHARUSNYA KAMU LAHIR!” Belum hilang rasa shock akibat tamparan yang diterimanya, sekarang dia juga harus memproses perkataan ibunya. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?“JANGAN BERANI-BERANINYA KAMU MENYALAHKAN ANAK YANG TIDAK PERNAH MINTA DILAHIRKAN DARI RAHIM PEREMPUAN JALANG SEPERTI KAMU! SEHARUSNYA KAMU YANG MEMOHON MAAF ATAS KELAKUANMU SENDIRI!!” Silvi melihat ke arah ayahnya yang balas berteriak pada ibunya, pria itu melangkah mendekat ke arah mereka dan menarik bahu sang istri, ayahnya yang tidak pernah sekalipun meninggikan suara pada ibunya sekarang berteriak dengan begitu keras, dan bahkan memperlakukan ibunya dengan kasar.“SUDAH KUBILANG AKU BUKAN WANITA JALANG, ITU HANYA SEBUAH KESALAHAN SATU MALAM, AKU BAHKAN TIDAK TAHU KALAU ANAK HARAM INI BUKAN ANAKMU.”Nafas
Hari itu tidak seperti biasanya, Pak Beni, supir keluarganya, terlambat menjemputnya! Silvi yang sejak tadi duduk tenang mulai gelisah saat melihat teman-temannya sudah pulang satu persatu. Mobil yang menjemput Sharon, satu-satunya temannya yang sedang menunggu jemputan bersamanya, berhenti di depan mereka. Membuat Silvi semakin kesal.Ia akan memastikan bahwa Pak Beni akan mendapatkan hukuman karena telah membuatnya menunggu selama berjam-jam.“Supir kamu masih belum bisa dihubungin? Mau pulang bareng?” Sharon bertanya sambil membuka pintu mobil di hadapan mereka. Silvi melihat ke dalam mobil itu, ayah Sharon yang menjemputnya tersenyum kepada Silvi.Sebenarnya Silvi tidak mau, ia tidak suka naik ke sembarang mobil milik orang lain, apalagi apabila mobil itu tidak termasuk ke dalam ‘standar’ milik Silvi. Terserah saja jika ada yang menganggap dirinya angkuh. Lagipula keluarganya mampu memenuhi standar itu.Tapi ia juga sama tidak Sukanya jika harus menunggu supir keluarganya itu data
Silvi membuka pintu ruangannya perlahan, berharap tidak ada yang menyadarinya. Tapi keinginan sekecil itu pun terasa sangat berlebihan di situasi ini. Semua orang yang berada dalam ruangan langsung memalingkan wajah mereka ke arah Silvi. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran, kecuali Samuel yang langsung mengalihkan pandangannya kembali pada laptop di hadapannya.Silvi berusaha bersikap seolah tidak ada apa-apa saat berjalan ke mejanya, tapi jelas orang-orang disekitarnya tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya langsung pada dirinya.“Aku dengar dari Pak Adrian kamu pernah satu sekolah dengan Pak Julian?” Atas dasar apa Pak Adrian menyebarkan cerita itu?Silvi menatap ke arah Dona yang melemparkan pertanyaan, “Iya, tapi hanya selama satu tahun.” Silvi menyerah, jika dia mengelak atau berbohong hal itu hanya akan memperparah keadaan.“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?”Silvi mengangkat bahunya, “Karena kami hanya satu sekolah sebentar, jadi aku rasa itu tidak penting.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. Julian meletakkan kardus yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan menjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” “Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Julian tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin. “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan sepe
Tapi Julian tidak mengindahkan perkataan Silvi. “Sil, kopi buat kamu.” Silvi mengangkat alisnya bingung saat Lina, teman seruangannya membawakannya segelas kopi hangat dari luar.“Loh, tumben? Ada angin apa kamu beliin aku kopi?” Walau mereka sudah bekerja sama cukup lama, Lina bukanlah tipe orang yang akan membelikan sesuatu kecuali jika Silvi sedang berulang tahun.Lina menggelengkan kepalanya, “Dari Pak Julian.”“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain ikut bertanya penasaran.“Tadi aku dititipin Pak Adrian, katanya dari Pak Julian buat Silvi.” Dan saat Silvi menyadarinya hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, atasan sekaligus pria yang sedang dekat dengan Silvi.Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama tidak di depan pria yang sedang dekat dengan dirinya.“Loh terus, kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimi
Sejak malam itu Silvi terus merasa khawatir, ada banyak skenario yang terus berputar di otaknya tentang bagaimana Julian akan memperlakukannya. Akankah ia memperlakukannya seperti sampah di hadapan orang lain? Akankah dia mengeluarkan hinaan bagi Silvi, tentang bagaimana dirinya sekarang berada di level yang jauh lebih tinggi darinya? Atau apakah Julian akan mengabaikannya?Silvi berharap bahwa yang terakhirlah yang menjadi kenyataan. Jika dua skenario lainnya yang akan menjadi kenyataan, maka Silvi akan tamat. Silvi berusaha menenangkan dirinya. JIka ini adalah sesuatu yang bisa ia tahan, maka ia akan bertahan untuk bekerja di sini, karena tidak ada tempat lain yang bisa membayarnya lebih baik di perusahaan ini.Tapi di sisi lain, ia juga terus membawa surat resign di dalam tasnya, siap ia layangkan kapanpun ia butuhkan. Silvi berjalan dengan cepat meninggalkan Lift sambil menundukkan kepalanya, berharap agar ia bisa segera masuk ke ruangannya tanpa menemui Julian. Ia hampir saja te
Silvi langsung memperhatikan sekitarnya, untungnya sepertinya seluruh rekan kerjanya masih berada di dalam ballroom dan tidak melihat dirinya sedang berdua dengan Julian. Dia memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf dengan Julian. Dengan begitu mungkin mereka berdua bisa meletakkan masa lalu di belakang. “Saya minta maaf atas semua hal yang pernah terjadi di masa lalu.” Silvi berucap dengan tulus, menundukkan kepalanya serendah mungkin di hadapan Julian. “Hal apa lebih tepatnya?” “Semua hal buruk yang pernah saya katakan di masa lalu.” Silvi masih tidak mengangkat kepalanya, ia ingin Julian merasakan ketulusan dari permintaan maafnya. Julian mengangkat wajah Silvi dengan telunjuknya, memaksa Silvi untuk menatap matanya. Pria itu sedang tersenyum, senyuman yang entah kenapa membuat SIlvi merinding saat melihatnya. “Kamu masih secantik yang aku ingat.” Silvi mengernyitkan dahinya. “Maaf?” Jemari Julian yang berada di dagu Silvi bergerak ke rambutnya, menyentuh he
“Aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?” Silvi menatap teman sekelas yang berada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Anak ini selalu mengusiknya, caranya memberikan perhatian yang tidak penting serta hadiah-hadiah yang sering muncul di meja dan lokernya sangat mengganggu.Jangankan berpacaran, jika teman-teman Silvi tau bahwa pria culun bertubuh kurus kering ini menyatakan cinta padanya yang terkenal sebagai anak tercantik di kelas mereka, ia pati akan diledek habis-habisan.Ah sialan, bahkan wajah merahnya yang sedang tertunduk malu dihadapan Silvi sangat mengganggu. Apa tidak ada yag memberitahunya bahwa caranya bersikap terlihat seperti orang bodoh?“Apa kamu pernah melihat dirimu sendiri di cermin?” Syukurnya sepertinya anak ini tidak sebodoh penampilannya Tangannya yang mengepal serta ekspresi wajahnya yang mengeras jelas berarti ia memahami apa maksud dari pertanyaan sakartis Silvi.“Sial!” Silvi mengumpat, apa dia terlihat seperti bisa dimiliki oleh siapa saja? K
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang