“Masuk..!” seru Budi dari dalam ruang kerjanya, setelah Bimo mengetuk pintu ruangan itu.
“Selamat Pagi Pak Budi. Bapak memanggil saya?” ucap Bimo sopan. “Duduklah Bimo! Ada peringatan yang harus kaudengar dan perhatikan baik-baik!” ucap tegas Budi, dengan tatapan tajam ke arah Bimo. “Bimo! Aku mendapat laporan dari Bu Devi, tentang perilakumu yang ceroboh dan tak senonoh dalam bekerja! Karenanya aku langsung memberikan peringatan kedua padamu!” “Ahh! Langsung peringatan kedua Pak Budi..?” desah tegang Bimo bertanya. “Ya! Dan kau tahu artinya peringatan kedua itu Bimo..?! Sekali lagi kau membuat kesalahan, maka tak ada pilihan lain selain kau dipecat dan keluar dari kantor ini! Paham Bimo..?!” “Paham Pak Budi,” sahut Bimo, seraya memberanikan diri balas menatap wajah kepala personalia itu. Dan sebuah lintasan tentang Budi pun langsung tergambar jelas di benak Bimo. “Ahh..!” seru Bimo tanpa sadar. Hal yang tentu saja mengejutkan bagi Budi, pria berumur 39 tahun itu. “Kenapa kau terkejut seperti itu Bimo..?!” tanya kesal Budi. “Maaf Pak Budi. Bolehkah saya bicara secara pribadi dengan Pak Budi, di luar masalah peringatan untuk saya..?” tanya Bimo hati-hati. Ya, dalam lintasannya itu, Bimo melihat suatu masalah yang cukup fatal dalam rumah tangga atasannya itu. “Bicaralah Bimo. Tapi jangan coba-coba menjilatku untuk mendapatkan keringanan sangsi!” sahut ketus Budi, dengan setengah hati mempersilahkan Bimo bicara. “Maaf Pak Budi. Apakah Bapak merasakan ada hal yang aneh dengan ‘kemampuan’ Pak Budi di ranjang akhir-akhir ini? Dan hal aneh itu hanya terjadi di rumah Pak Budi saja,” ujar Bimo pelan. “Heii..! D-darimana kau tahu soal itu Bimo..?!” kejut dan gugup Budi bukan kepalang. Wajahnya memerah seketika, karena rasa malu dan penasaran bercampur aduk. Ya, sudah dua bulan ini Budi memang merasakan kemampuannya di ranjang seperti lenyap. Burungnya loyo dan tak mampu menunaikan tugasnya untuk sang istri tercinta. Namun anehnya, jika dia mengajak istrinya bercinta di luar rumah, maka burungnya bisa tegak dan gagah seperti biasanya. “Tenanglah Pak Budi. Saya juga baru saja mengetahuinya setelah melihat Pak Budi. Apakah ada tetangga baru di sekitar kediaman Pak Budi? Sepertinya dia menanam sesuatu di halaman rumah Bapak, karena dia menaruh hasrat pada istri Pak Budi,” ungkap Bimo, sambil setengah pejamkan matanya. “Hahh..! Kau benar lagi Bimo..! Memang ada tetangga baru yang berselisih 3 rumah dari rumahku. Dan dia baru 3 bulan pindah di situ!” seru terkejut Budi, demi mendengar kebenaran dari ucapan Bimo. “Tapi Pak Budi harus janji tak akan mendendam pada orang itu. Karena apa yang di tanamnya akan berbalik menyerangnya. Setelah Pak Budi membakar benda yang di tanam di halaman rumah Pak Budi,” ujar Bimo tenang. Ya, sungguh hati Bimo sendiri juga heran. Bagaimana dia bisa bersikap setenang itu berbicara dengan Pak Budi. Bimo merasa yang tengah berbicara dengan Budi seperti bukan dirinya. Lalu siapa..?! “B-benda apa sebenarnya yang di tanam si brengsek itu Mas Bimo..?! Sungguh membuatku ingin pulang sekarang juga!” seru Budi geram, panggilannya seketika berubah menjadi sopan pada Bimo. Ya, Budi seperti melihat pancaran wibawa dan kharisma Bimo yang sungguh berbeda saat itu. Hal yang membuatnya seketika merasa hormat dan segan pada pemuda itu. Aneh! “Pak Budi tak perlu membuka bungkusan kain putih pada benda itu. Pak Budi cukup langsung membakarnya saja di halaman belakang rumah. Maka pengaruh buruk benda itu akan hilang, dan kemampuan Pak Budi akan normal kembali,” ujar Bimo tenang. “Ahh..! L-lalu dimana tepatnya benda terkutuk itu berada Mas Bimo..?” sentak Budi semakin penasaran. “Benda itu memiliki kekuatan Pelemah Hasrat, dan ditanam di bawah pot bonsai beringin halaman rumah Pak Budi. Biarlah akan saya pagari rumah Pak Budi dari jauh, agar dia tak bisa lagi mengerjai keluarga Pak Budi.” Seth, seth, seth! Bimo langsung pejamkan matanya dan membuat garis berbentuk kotak, dengan jari telunjuknya yang tiba-tiba saja bergetar kepulkan asap putih. “Hahh..!” seru terkejut Budi dengan mata terbelalak. Karena dia bukan hanya melihat kepulan asap putih dari jari Bimo, namun dia juga merasakan hawa hangat yang tiba-tiba menebar di ruangannya. ‘Gila..! Bagaimana Bimo bisa tahu soal tanaman bonsai beringin kesayanganku..?! Ke rumahku saja dia belum pernah! Fix..! Bimo memang asli orang pintar!’ seru batin Budi, merasa takjub dan yakin akan kemampuan Bimo. “Sudah Pak Budi. Kini Pak Budi tinggal membakar saja benda yang di tanam itu. Dan bersikap biasa sajalah pada penanam benda itu. Karena akibat buruk benda itu akan balik menyerangnya, dan akan terus begitu sampai dia minta maaf pada Pak Budi.,” ujar Bimo tersenyum. “Ahh..! M-maafkan saya Mas Bimo..! Saya percaya kejadian kemarin dengan Bu Devi itu hanya ketidaksengajaan belaka. Saya pribadi menarik kembali peringatan kedua itu ya Mas Bimo. Terimakasih atas bantuan Mas Bimo..!” sentak rikuh Budi, karena rasa tak enaknya telah bersikap keras pada Bimo tadi. “Tak apa Pak Budi. Pak Budi hanya menjalankan tugas saja kok. Saya permisi ya Pak Budi,” ujar Bimo tersenyum maklum, seraya beranjak dari kursi. “S-silahkan Mas Bimo. Terimakasih.. terimakasih ya Mas Bimo,” ucap sopan dan gugup Budi. Dia langsung beranjak mengiringi Bimo dan sekaligus membukakan pintu ruangannya untuk Bimo. ‘Tak kusangka! Di balik kelemahanmu, ternyata kau menyembunyikan kemampuan yang luar biasa Bimo!’ bathin Budi kagum dan takjub. Dari ruangan Budi, Bimo pun langsung menuju ke ruang OB. Nampak rekan-rekan OBnya tengah berbincang di sana. Namun mereka serentak menoleh ke arah Bimo, saat menyadari kehadirannya. “Bagaimana Bimo..?!” “Apakah kau dipecat..?!”Pertanyaan bernada sindiran dan juga senyum mengejek, nampak jelas di wajah para rekan OBnya itu.“Aman..!” seru Bimo seraya tersenyum, untuk membuat keki para rekan OB yang pastinya berharap dia celaka bahkan dipecat itu.“Kalau begitu, sekarang cepat kau bersihkan ruang toilet lalu pel lorong lantai 2 sekalian..!” seru Luki dengan nada kesal dan wajah tak senang.“Lho? Bukankah tugas mengepel lantai 2 adalah tugas Paul, Kak Luki..?” ujar Bimo heran dan bernada protes.“Ya, hari ini kau yang mengerjakannya Bimo! Karena aku dan Paul akan keluar untuk membeli perlengkapan logistik! Kerjakan saja, jangan banyak tanya!” seru Luki bertambah kesal.“Banyak omong kau Bimo! Hihh..!” Blaakh! Paul ikut memaki marah, seraya menyepak betis Bimo. Karena dia merasa cemas tak jadi di ajak Luki keluar kantor, dan urung mendapatkan uang lebihan belanja.“Aihh..!” seru kaget semua rekan OB di ruangan itu, saat mendengar kerasnya suara sepakkan kaki Paul membentur betis kaki Bimo.Namun Bimo sendiri tak
“Hei..! K-kenapa Bimo..?!” seru heran dan terkejut Lidya.“Ada apa Bimo..?!” seru Rindy yang ikut merasa kaget dan heran melihat sikap Bimo.“Mbak Lidya. Apakah ada rekan pria sekantor Mbak Lidya yang mengendarai Rubicon hitam dan mengenakan jam Rolex..?” tanya Bimo dengan wajah serius.“Heii..! Bagaimana kau bisa mengenali Rudy manajer pemasaran di perusahaanku Bimo..?! Apakah kau pernah bertemu dengannya..?” sentak terkejut Lidya, mendengar ciri-ciri Rudy disebutkan dengan tepat oleh Bimo.“Sama sekali aku tak pernah bertemu dengannya Mbak Lidya. Hanya saja sebaiknya Mbak Lidya berhati-hati dengan orang itu. Apakah dia tadi memberikan sesuatu pada Mbak Lidya..?” ujar Bimo tenang, seraya bertanya.“Hahh..! Rudy memang memberikan parfum untukku tadi siang Bimo. Katanya itu hadiah dari temannya yang baru kembali dari Paris. Memangnya ada apa dengan parfum itu Bimo..?” seru heran Lidya lagi, merasa takjub dengan ketepatan terawangan Bimo.“Bisa kulihat parfum yang diberikan si Rudy itu
'Heii..! Siapa Devi itu..?!' sentak penasaran batin sang penyelinap itu. Perlahan dia menghampiri ranjang tempat Bimo terbaring pulas. Perlahan dengan dada berdebar sosok penyelinap itu menatapi sosok Bimo, yang diam-diam telah lama mencuri hati dan menjadi obyek fantasinya. Ya, sosok itu adalah Rindy, sang pemilik kost! Malam itu usai Lidya pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Rindy merasa harus menuntaskan keinginan yang telah lama direncanakannya. Memiliki anak dari benih Bimo! Bahkan Rindy sudah mempersiapkan sebuah rumah di desa. Yang disiapkan untuk ditinggalinya, jika dia hamil dari benih Bimo nantinya. Dan dia akan kembali ke Kajarta setelah anaknya dilahirkan. Sementara dalam tidurnya, Bimo tiba-tiba saja bermimpi berada dalam ruangan Devi. Dalam mimpinya itu, Devi menyatakan rasa cintanya pada Bimo, dan tentu saja Bimo menerimanya. Bimo heran dengan keagresifan Devi dalam mimpinya itu, karena Devi dengan lincahnya membuka bajunya, sleetingnya, dan juga memelorotkan celan
"Bimo..! Kemarilah cepat..!" seru Luki memanggil dari arah pintu utara gedung kantor. Bimo pun bergegas menghampiri seniornya itu. "Ada apa Kak Luki..?" "Bimo, kau harus menjenguk Paul di klinik sebelah kantor secepatnya. Paul terus memanggil-manggil namamu sejak semalam. Sepertinya dia ingin bertemu denganmu!" seru Luki kesal. Karena sebenarnya dia enggan dan malas mengabarkan hal itu pada Bimo. 'Entah apa hubungannya Bimo dengan penyakitmu Paul', batin Luki bingung. "Baik Kak Luki. Aku akan menemuinya di klinik sebelah setelah berganti pakaian," sahut Bimo, seraya beranjak hendak masuk ke gedung kantor. "Baik! Cepatlah Bimo!" seru Luki lagi. Akhirnya usai berganti dengan pakaian kerjanya, Bimo pun langsung keluar kantor dan menuju ke klinik 24 jam yang berada di sebelah kantornya itu. Nampak Wanti, Tia, Dino, serta rekan OB lainnya yang tengah menunggui Paul, karena memang saat itu belum masuk jam kerja. "Ahh! Akhirnya kau datang Bimo! Lekaslah kau temui Paul, sejak semalam
"Hai cantik..! Kok pagi-pagi sudah melamun di lobi..?" Seruan seorang pria mengejutkan Devi dari lamunannya, dia pun sontak menoleh ke arah suara itu. "Ahh! Tony mengejutkan saja. Hehe," sahut Devi terkejut seraya terkekeh. Setelah melihat sosok yang datang adalah Tony, putra sang Direktur Umum kantor itu. "Kenapa dengan OB tadi itu Devi..?" tanya Tony, yang rupanya ikut melihat ke arah pandangan Devi tadi. Jujur saja ada rasa kurang senang dan cemburu di hati Tony. Saat dia melihat cara Devi menatap hangat, pada sosok Bimo yang tengah berjalan tadi. Dan walau sekilas saja. Hal itu sudah cukup bagi Tony, untuk mengenali dan mengingat sosok Bimo. OB yang baru saja diperhatikan Devi. "Ahh! Tak ada apa-apa Tony. Hanya kebetulan saja aku sedang melihat ke arah sana," desah Devi menyahut. Dia agak terkejut, karena Tony mengetahui siapa yang tengah diperhatikannya barusan. "Oh begitu. Baik Devi, mari kita bicara di ruanganmu. Kebetulan ada hal yang ingin kubicarakan denganmu," ajak To
"Tidak Bimo! Kau duduklah di lantai saja. Toh lantai ruangan ini dilapisi karpet, tak akan membuat celanamu kotor!" seru Tony lagi. "Baik Pak Tony." "Hhh..!" dan Devi pun hanya bisa menghela nafas sebalnya, terhadap prilaku semena-mena Tony di hadapannya. Namun dia sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membela Bimo. 'Inilah yang menyebabkan aku tak sudi menerima cintamu Tony! Kau seperti anak kecil..!' sungut geram batin Devi. Dan memang sesungguhnya tak ada yang kotor atu pun salah dengan sepatu Tony. Dia hanya ingin menunjukkan kekuasaan dan kelebihannya saja atas diri Bimo, di hadapan Devi. Dengan berbuat begitu, maka Tony seperti ingin memperlihatkan pada Devi. Bahwa Bimo bukanlah apa-apa dan siapa-siapa dibanding dirinya! Sungguh Picik..! *** Akhirnya jam kerja pun usai. Bimo bergegas berganti pakaian dan beranjak hendak keluar dari gedung kantornya. "Bimo. Bisakah kita bicara sebentar di ruangku sebelum pulang?" ucap berbisik seseorang, yang bergegas menjajajri lang
'Awas kau Bimo..! Jika aku sampai dipecat, akan kuhadang dan kuhabisi kau bersama grupku!' bathin Luki mengancam, sambil terus berjalan keluar dari kantor. *** "Ini benar kau sudah ada uangnya Bimo..?" tanya Rindy agak heran, saat Bimo datang dan membayar sewa kost untuk dua bulan di muka. Ya, tentu saja begitu. Karena baru kemarin Bimo bicara padanya, soal kemungkinan akan telat membayar sewa kostnya. "Kebetulan Bimo ada rejeki tak terduga Tante," sahut Bimo tersenyum tenang. Hal yang membuat Rindy gemas, dan ingin mencium wajah Bimo saat itu juga. Namun dia masih sadar, jika mereka berada di teras terbuka kediamannya. Bimo memang telah menghitung isi amplop pemberian pak Budi. Amplop itu ternyata berisi uang senilai 15 juta. Uang yang cukup besar bagi Bimo, yang berpenghasilan di bawah UMR itu. "Baiklah, aku terima uangnya ya Bimo. Kalau kau butuh sesuatu, kau jangan sungkan bilang padaku ya," ucap Rindy akhirnya. "Baik Tante, terimakasih." "O ya Bimo. Jangan lupa dengan pe
"Heii..! Bimo..! Kau sungguh OB yang tak tahu diri dan tak becus dalam bekerja..! Bisa hancur nama perusahaan Ayahku ini, jika kau terus bekerja di sini..!" seru keras Tony di tengah ruang lobi. Bimo pun hanya tertunduk diam, mendengarkan seruan serta caci maki Tony di ruang lobi terbuka itu. Namun wajah Bimo sama sekali tak menampakkan rasa takut atau panik, mendengar teguran keras Tony itu. Dan sontak para karyawan lain pun heboh. Dengan diam-diam mereka mencoba mengintip, atau pura-pura melintas di ruang lobi. Hanya untuk mengetahui kenapa Bimo mendapat teguran keras dari Tony. Nampak Devi, Pak Budi, serta beberapa staf lain juga berjalan menuju ke arah lobi. Bahkan para OB seperti Wanti, Dino, Paul, dan lainnya juga ikut menyaksikan dari sudut koridor di sisi ruang lobi. *** Sementara di saat yang sama.Masuk ke area kantor Bimo sebuah sedan Audi A8L hitam, yang langsung memarkirkan mobilnya di area parkir kantor. Klekh! Turun sepasang kaki jenjang seorang wanita cantik dar
"Ini nomor siapakah Lidya..? Apakah dia seorang paranormal..?" "Itu adalah nomor konsultan pribadiku Fika. Sepertinya dia bisa membantu melihat masalahmu dengan Randy. Dia memang memiliki kemampuan di luar akal, Fika. Namanya Mas Bimo, orangnya seumuran dengan kita," ungkap Lidya. "Baik Lidya. Mungkin nanti akan kuhubungi dia. Terimakasih ya," ujar Fika. "Tapi agak susah untuk bertemu dengannya Fika, karena dia tinggal di Gorbo. Tapi aku yakin, dia bisa membantumu hanya dari jarak jauh saja," ujar Lidya tersenyum yakin. 'Ahh! Lidya, dari dulu aku tuh paling anti dengan yang namanya paranormal, dukun, cenayang, kebathinan, dan sebagainya. Tapi baiklah, tak ada salahnya aku menghubungi rekomendasi dari Lidya ini', bathin Fika. Ya, usai melakukan meeting di ballroom hotel itu bersama para pengusaha lainnya. Lidya bertemu dengan Fika, sobat lamanya itu. Dan ternyata Fika sudah menikah dengan Randy, yang sama-sama teman kuliahnya dulu. Sudah hampir 2 tahun Fika dan Randy menikah, nam
Demi mewujudkan ambisi dan impian hatinya, Kyoshi menyanggupi perintah dari Tuan Shanada. Dan dengan diam-diam, Kyoshi mulai bergerak mengumpulkan data-data dan berkas rahasia Katada Corp, tempatnya bekerja. Menjadi musuh dalam selimut! Sementara Yuriko sendiri seperti halnya Lidya, dia juga tengah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukkan sang ayah di Katada Corp. Namun Yuriko belum mendapat keleluasaan seperti halnya Lidya, karena dia belum pada tahap sebagai pengambil keputusan dalam Katada Corp.Ya, Yuriko baru pada tahap mempelajari, menjalani perintah, serta arahan dari ayahnya, dalam mengelola Katada Corp. Praktis sedikit sekali waktu bagi Yuriko, untuk bisa meluaskan wawasannya pada soal percintaan dan asmara. Hal yang membuatnya masih virgin sampai saat itu..! Sebuah fakta yang mencengangkan memang, mengingat di negeri Pangje rata-rata gadis telah mengenal olah asmara bahkan sejak usia 15-16 tahun. Demikianlah sekelumit kisah tentang Katada Corp, yang tengah memelihar
Rumah itu nampak sangat asri, megah, dan juga cukup luas. "Nah kita sudah sampai Mas Bimo," ujar Lidya, seraya beranjak keluar dari dalam mobil. "Baik Lidya," Bimo pun berkata sambil ikut keluar dari mobil.Sementara barang bawaannya milik Bimo dari kost memang tak banyak, hanya barang-barang penting saja yang dibawanya. Selebihnya bahkan dia tinggalkan begitu saja, setelah Lidya bilang perkakas rumah sudah tersedia lengkap di rumah barunya itu. Di gerbang masuk tadi ada seorang security yang berjaga di pos jaga yang terletak di belakang pagar gerbang. Dan kini nampak sepasang lelaki daan wanita berumur menghampiri mereka. "Wah! Selamat datang Non Lidya, Tuan! Mari saya bawakan tasnya Tuan," ucap lelaki berumur itu hangat dan sopan. "Wah tak usah Pak. Ringan kok ini," sahut Bimo, seraya menyalami lelaki itu dan istrinya. Bimo merasa tak perlu merepotkan lelaki berumur itu. "Salam Pak Adi, Ibu. Ini teman Lidya, namanya Mas Bimo. Dia yang akan menetap di sini," ujar Lidya ramah pa
Tutt.. Tutt..! "Ya Halo Bu Devi. Tumben malam-malam menghubungi saya." "Malam Pak Budi. Tak ada apa-apa kok. Saya hanya sekedar mau tanya nomor ponsel Bimo Pak. Siapa tahu Pak Budi tahu nomornya." "Wah! Kebetulan saya ada tuh kontaknya Bu Devi. Ini juga karena Bimo pernah menolong saya.. Sebentar ya Bu." "Wah kebetulan sekali kalau begitu. Baik Pak Budi. Saya tutup dulu panggilannya ya." Klikh! Tak lama setelah Devi menutup panggilannya. Bip! Masuk chat dari Pak Budi pada Devi, yang berisikan nomor kontak Bimo. Devi : "Baik Pak Budi terimakasih ya." Pak Budi : "Baik Bu Devi." Devi pun menyimpan nomor kontak Bimo di ponselnya. Namun ada sesuatu yang terbersit di benaknya saat itu. 'Pak Budi bilang Bimo pernah menolongnya..? Menolong dalam hal apa ya..? Baiklah, besok akan kutanyakan hal itu di kantor saja', bathin Devi, dengan rasa penasaran. *** Bimo baru saja mandi dan berganti pakaian saat itu. Usai meladeni keinginan gila dari Rindy tadi. Bimo merasa dia harus member
"Ahhk..! T-tante.. bisakah k-kita hentikan saja semua ini..!" seru terbata Bimo, di tengah erangan tertahan yang tak sengaja keluar dari mulutnya. "Ahh, Bimo.. Kau sudah berjanji satu jam padaku Bimo... Ini belum lagi 15 menit sayang..!" seru Rindy di tengah kegemasan dan gairahnya yang meletup-letup terhadap Bimo. Dan Bimo pun terhenyak diam, karena memang dia sudah berjanji seperti itu pada tante kostnya itu. Tak ada alibi lagi baginya kini. Dan yang lebih celakanya, saat itu Bimo mengenakan celana panjang trainingnya. Karena dia memang biasa mengenakan celana bola atau training saat malam dan hendak tidur. Maka semakin jelaslah penampakkan 'Bimo Junior' yang tercetak di celana trainingnya itu. Hal yang semakin membuat Rindy bernafsu meraba, membelai, bahkan setengah meremas benda itu. "Ahks..! T-tante.. j-jangan begitu..!" seru tersentak Bimo, saat merasakan remasan gemas tangan Rindy pada miliknya, yang sudah tegak maksimal itu. Setengah mati Bimo menahan hasrat dan gairahnya
'Huh..! Dasar orangtua bodoh...!' bathin Rindy, saat melihat kasus pembuangan anak bayi di semak-semak jalanan. Ya, tentu saja dia menjadi marah dan menyesalkan kejadian itu. Karena dirinya sendiri sedang sangat mendambakan seorang anak. "Malam Tante Rindy. Bimo bisa bicara sebentar dengan Tante..?" sapa Bimo, yang berniat mengutarakan sesuatu pada tante kostnya itu. "Langsung duduk saja Bimo. Bicara semalaman juga tak apa kok. Hihihi..!" sahut Rindy seraya tertawa geli. Sebenarnya Rindy memang tengah menanti Bimo lewat sejak tadi. Karena biasanya Bimo memang keluar mencari makan malam pada jam-jam itu. "Tante. Bimo sudah diberhentikan dari kantor yang lama. Dan sekarang Bimo bekerja pada Lidya.Dan kebetulan Bimo mendapat fasilitas rumah dari Lidya, Tante. Karenanya Bimo mau pamit dan tinggal di Gorbo, menempati rumah fasilitas itu. Bimo mohon maaf, jika selama Bimo kost di sini selalu merepotkan Tante Rindy. Karena Tante sudah sangat baik dan bijak pada Bimo," ungkap Bimo akhi
"Ahh..! Terimakasih Bimo," desah haru Ki Sabdo. Kepekaan bathinnya langsung menangkap maksud baik Bimo. Ya, kini jelas sudah bagi Ki Sabdo, akan maksud sebenarnya Bimo terhadap dirinya. Bahwa Bimo bukan tak mau membantunya menghadapi Ki Condro, bahkan dengan mudah Bimo bisa mengalahkan Ki Condro seorang diri dengan Ki Naga Kencana miliknya. Tetapi Bimo ingin dirinyalah yang mengalahkan Ki Condro, agar kepercayaan keluarga Hendra semakin bertambah tinggi terhadapnya. "Sama-sama Ki Sabdo," ujar Bimo tenang. "Bagaimana Ki Sabdo, Bimo..? Apakah kalian sudah menemukan cara, untuk menghadapi serangan Ki Condro nanti malam..?" tanya Hendra dengan wajah cemas, saat Bimo dan Ki Sabdo kembali tiba di teras. "Tenanglah Tuan Hendra. Kami telah menemukan cara untuk mengatasi seranga Ki Condro itu. Tuan Hendra sekeluarga tenang saja di dalam rumah nanti malam," ujar Ki Sabdo tersenyum tenang. Ya, kini Ki Sabdo benar-benar berkata dengan kemantapan hati, sehingga getar suaranya bagai menembus
"Ahh..! Jala Langit..!" kini Ki Sabdo yang berseru kaget, setelah dia ikut menatap ke arah langit. "Benar Ki Sabdo. Bentuknya memang seperti jala yang menutupi langit tepat di atas rumah ini. Sepertinya ada yang akan mengirim 'sesuatu' ke rumah ini nanti malam," ujar Bimo menimpali ucapan Ki Sabdo. Bahkan Bimo juga bisa menjelaskan makna tersirat dari pertanda fenomena itu. Dan dari kepekaan dan kecepatan respon saja Hendra kini bisa menilai, bahwa kemampuan Bimo bahkan telah melampaui kemampuan Ki Sabdo. Kepercayaannya pada Bimo, sebagai Konsultan Pribadi putrinya itu pun semakin menebal. "Ahh..! Benarkah itu Bimo..?" sentak Hendra kaget, mendengar akan ada serangan halus ke kediamannya nanti malam. "Benar Tuan Hendra. Sepertinya memang akan ada yang mengirimkan serangan halus ke sini nanti malam. Aku juga merasa tak asing dengan pemilik kekuatan bathin ini..? Tapi aku takut salah sangka terhadapnya," ujar Ki Sabdo membenarkan pandangan bathin Bimo. "Dia bernama Ki Condro. Ki Sa
"Baik Lidya. Tenanglah, semua akan baik-baik saja," ujar Bimo tersenyum, saat melihat kecemasan di wajah Lidya. "Iya Mas Bimo. Tak biasanya Ayah bersikap begini padaku," ucap Lidya, seraya terus melangkah ke arah mobilnya. Bimo pun berjalan tenang di sisi Lidya. Tak lama kemudian tibalah mereka di daerah Gading Kelapa, daerah di mana Hendra Winata membangun istana kediamannya. Setelah melalui dua gerbang pos security di kediaman Hendra, akhirnya mereka pun masuk ke area halaman kediaman konglomerat sukses itu. Bimo pun mengikuti Lidya turun dari mobil, saat mereka tiba di garasi parkir luas sebuah rumah mewah dan megah milik Hendra. Nampak puluhan mobil mewah dari berbagai merk berada dalam garasi itu, yang terlihat masih lega tersebut. "Papah, Mamah. Lidya datang," ucap Lidya, saat melihat kedua orangtuanya tengah duduk di teras, seolah memang tengah menantinya. Namun ada seorang lelaki sepuh yang juga turut hadir di teras itu, dan Lidya mengenalinya sebagai Ki Sabdo, penasehat