Sophia tahu bahwa apa yang tengah dia lakukan sekarang adalah keputusan yang bodoh. Untuk apa dia pergi menjemput Luke Abraham? Berputar-putar di kota, meloncat ke satu bar ke bar yang lain. Menghadiri keramaian yang sangat dibencinya. Mendapat satu dua godaan dari pria-pria hidung belang.“Ini gila,” erang Sophia di dalam taksi yang tengah melaju lambat di jalanan yang padat.‘Satu lagi,’ batinnya. Kalau bar yang satu ini dia tidak menemukan orang yang dicarinya, maka Sophia akan pulang. Pasti akan ada seseorang yang mencari pria itu nanti.“Oh, kenapa aku tidak memikirkan ini tadi?” Sophia lagi-lagi bergumam pada dirinya sendiri.Tentu saja bakal ada orang yang mencari Luke. Karena dia adalah seorang Abraham.Sophia memarahi dirinya sendiri yang terlalu cepat mengambil keputusan. Sekarang dia sendiri yang menyesal dan lelah dengan keputusan yang diambilnya.Namun, sekalipun begitu, Sophia begitu lega saat menemukan kakak lelakinya itu berada di bar yang terakhir dia datangi. Luke te
“Luke!” Sophia buru-buru menjauh dari Daniel, tidak sempat mencerna apa yang terjadi, dia segera membantu kakak lelakinya bangkit.Daniel menghela napas melihat wanita di hadapannya yang tampak begitu kesusahan. Maka Daniel pun memutuskan untuk membantunya, memapah tubuh Luke Abraham di bahunya yang tentu saja jauh lebih kokoh ketimbang bahu kecil milik Sophia.“Ayo!”Saat Daniel mengatakan itu, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Daniel memberikannya tatapan peringatan.“Aku akan berbicara denganmu nanti,” kata Daniel sebelum satpam itu sempat mengatakan apapun, seperti permintaan maaf karena sudah meninggalkan posnya.Daniel dan Sophia pun berhasil membawa Luke ke dalam salah satu kamar hotel, menidurkannya di ranjang yang nyaman di mana lelaki itu langsung tidak sadarkan diri sepenuhnya alias tertidur.Sophia menatap kakak lelakinya sekilas dan merasa terganggu melihat sepatu yang masih terpasang maka Sophia pun membukanya.Daniel yang melihat itu diam-diam merasa
Satpam yang tadi sempat dimarahi oleh Daniel, kini kembali dengan gelas kopi di tangannya. Kopi yang sama persis seperti yang tadi Daniel jatuhkan. Hanya saja, jumlahnya yang hanya satu membuat Daniel ragu untuk mengambilnya.“Kenapa, Tuan Mateo?” tanya si satpam.Daniel menoleh pada Sophia yang masih menunggu taksi, berdiri tidak jauh dari Daniel dan satpam itu bertemu.“Tidak ada. Terima kasih, Dean,” jawab Daniel, kemudian mengambil kopi itu dan berjalan lagi mendekati Sophia, berdiri di sampingnya sambil menyesap minumannya dengan khidmat.“Sepertinya kau harus menunggu sampai beberapa jam ke depan untuk mendapatkan taksi. Kalau begitu, kau akan pulang larut malam. Kecuali kau mau menerima tawaranku tadi,” kata Daniel.Sophia menoleh padanya, kemudian menggeleng. “Sebentar lagi,” balasnya, sembari mengusap bahunya yang terasa sedikit dingin.Daniel menyadari hal itu kemudian menyodorkan kopinya ke hadapan Sophia. “Kau mau?”“Apa kau serius menawarkan minuman yang sudah kau minum k
Sophia menatap Daniel bertanya, lalu tersadar akan sesuatu. “Ah ya, aku lupa! Terima kasih atas bantuanmu, Daniel. Kau benar-benar penyelamatku.”Sophia tidak bisa melupakan begitu saja bagaimana kerepotannya dia tadi dan merasa sangat lega seolah setengah bebannya terangkat saat melihat Daniel muncul di sana.“Ya, sama-sama,” jawab Daniel dengan sneyuman manis.Albert menatap dua orang itu secara bergantian, lalu berdecak kesal.“Oh, and for your information,” tukas Daniel, mendahului Albert yang juga hendak mengatakan sesuatu.“Apa?” tanya Sophia.“Aku dan kakakmu bertetanggaan. Mungkin kalau besok kau hendak datang menjenguknya, kau juga bisa sekalian mampir ke kamarku. Bagaimana?”Setelah mengucapkan itu, Daniel tidak bohong saat mengatakan bahwa belakang kepalanya terasa panas. Yang pasti berasal dari tatapan tajam pria di belakangnya.Sophia yang menyadari tekanan berat nan berbahaya dari dua orang itu segera menyela dengan melepas tangan Daniel dari lengannya, lalu menatap pria
Saat Albert terdiam, dia berpikir bahwa apa yang dirasakannya memang rasa cemburu. Lalu kenapa? Sophia adalah istrinya. Sebagai suami tentu saja Albert akan merasa seperti itu saat melihat sang istri bertemu dengan lelaki lain tanpa sepengetahuannya.Tapi hal yang sudah sangat jelas itu, masa Sophia tidak tahu dan harus bertanya?Karena harga diri Albert terlalu tinggi untuk mengaku, jadi dia tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung membuang pandang ke luar jendela. Sebagai ganti, Albert merapatkan tubuh sang istri ke tubuhnya dan memeluknya erat.Gestur itu sudah cukup menjawab pertanyaan di benak Sophia, jadi dia tidak bertanya lagi dan membalas pelukan Albert sama eratnya.***Sophia memimpikan kejadian itu lagi. Api yang panas, asap yang membuat dada sesak, serta rasa sakit di sekujur tubuh, dan suara teriakan melengking seorang perempuan meminta tolong.Saat Sophia bangun, badannya dibanjiri peluh, tangan dan kakinya bergetar hebat. Albert tengah memeluknya sambil mengusap-usap
Sophia bangun saat matahari tampaknya sudah terbit cukup tinggi. Tidak biasanya Sophia bangun sesiang ini karena sinar matahari biasanya pasti akan mengganggu tidurnya setiap pukul sepuluh pagi, menjadi alarm alami yang sengaja Sophia lakukan dengan membuka gorden kamarnya.Namun saat Sophia terbangun beberapa detik lalu, dia melihat gordennya tertutup dan kamarnya berada dalam remang-remang cahaya.Sophia menoleh ke samping tempat tidurnya dan mendapati sisi itu kosong.Tentu saja, Albert pasti sudah berangkat ke kantor.Sekalipun sudah bangun, tapi Sophia tidak juga bangkit dari ranjangnya. Sophia malah merapatkan selimutnya dan memejamkan matanya lagi.Namun belum sempat Sophia kembali ke alam tidur, suara pintu diketuk mengiterupsi.Sophia menduga kalau itu adalah Dana maka dia menggumamkan kata ‘masuk’ dan terkejut dengan suaranya sendiri yang terdengar sangat serak dan lemah.Dana masuk membawa nampan berisi makanan. Ekspresi di wajah keibuan wanita paruh baya itu tampak cemas.
Sophia tadi menganggap perkataan Albert yang mengatakan padanya untuk tidak pingsan dulu adalah hal yang sangat konyol dan berlebihan.Tapi sekarang, Sophia berbaring di atas ranjang dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Tidak tahu bagaimana kondisinya bisa jadi seburuk ini, Sophia hanya ingat tadi karena terlalu pusing setelah telepon Albert, dia membaringkan tubuhnya lalu menutup mata.Tahu-tahu saat bangun, Albert sudah ada di kamarnya dengan seorang dokter wanita yang tengah memeriksa keadaannya.Sophia tidak kuasa membuka mata, dia hanya mendengar suara-suara di sekitarnya. Dan Sophia dapat mendengar seberapa cemasnya Albert, sesekali Sophia juga mendengar nada khawatir Dana, dan juga suara lembut nan profesional dokter yang menjelaskan mengenai kondisi Sophia.Sungguh, Sophia berharap bisa membuka mata, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan dingin. Kepalanya berdentum sangat keras dan menyakitkan. Sedikit saja suara yang didengar telinganya akan membuat dentuman itu semak
“Pukul berapa sekarang?” tanya Sophia.“Sepuluh,” jawab Albert.“Malam?!” Sophia bertanya tidak percaya. “Jadi aku tidur selama itu,” gumamnya pada diri sendiri.Albert tersenyum datar. “Kupikir kau sama sekali tidak tidur, yang benar adalah kau pingsan selama hampir seharian ini.”Sophia mengibaskan tangannya acuh. “Aku tidak mungkin pingsan. Kau tidak bisa membedakan mana orang tidur dan pingsan ya?” Sophia masih tidak menyadari seberapa buruk kondisinya kali ini. Karena biasanya ketika demam, Sophia tidak pernah sampai jatuh pingsan begitu.Albert menatap Sophia tidak habis pikir.“Sudah kubilang, aku hanya kelelahan,” sambung Sophia lagi.Albert hanya menyahut dengan gumaman pelan.“Tidurlah,” katanya sebelum pergi membawa nampan, lalu kembali ke kamar Sophia dan langsung masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Albert ke luar dan melangkah ke ranjang.“Kau mau apa?” tanya Sophia yang sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya, alih-alih tidur seperti yang lelaki itu suruh.A