Sophia sudah mengganti pakaian, bahkan juga sempat berendam dan membersihkan diri. Lalu setelah itu dia duduk di pinggir ranjang dengan perasaan gugup. Handuk masih menggantung di leher, ujung rambutnya masih basah dan dia belum bersisir.Pakaian yang dikenakannya adalah baju tidur paling tertutup yang dia punya. Sophia tidak mau Albert berpikir bahwa dia tengah menggoda lelaki itu jika menggunakan baju tidurnya yang biasa, yang jauh lebih terbuka dari yang sekarang dikenakannya.Sophia tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini. Semuanya tidak pernah berjalan seperti yang dia inginkan kalau itu menyangkut Albert. Tapi yang terpenting, sekarang Sophia lega karena dia sudah mengutarakan keinginannya. Dia sudah berani melakukannya dan hal itu adalah sebuah rekor yang sangat besar karena selama ini Sophia lebih sering menutup diri dan merasa insecure dengan dirinya.Tangan Sophia kemudian tanpa sadar menyentuh bahunya, turun ke payudara dan berhenti di pinggang. Albert belum melihat ‘bag
Sophia membelalak. Apa yang baru saja Albert katakan? “Be-beri aku jawaban, bukan pertanyaan ulang.”“Ya, aku yakin karenamu aku jadi tidak masuk kerja hari ini.”“Kenapa karena aku?”“Kau membuatku mabuk kemarin malam.”Cara Albert mengatakannya… terdengar seperti lelaki itu tengah menyalahkannya. Sedangkan Sophia tadi berpikiran berbeda, sekarang dia malu dengan pikirannya sendiri.“Apa aku pernah memaksa sampanye itu masuk ke tenggorokanmu?!”“Wow, kasar sekali.” Albert menyengir, menyembunyikan rasa gelinya.“Kau sendiri yang menerima bergelas-gelas sampanye dari wanita itu! Kenapa aku? Kau bersikap seolah kau tidak terbiasa mabuk saja. Dan seharusnya aku juga menyalahkanmu, pagi ini aku tidak mungkin bangun dengan sakit di kepala kalau kau tidak mengajakku ke pertemuan bisnis yang konyol itu.”“Hm, kau sekarang terdengar benar-benar kesal,” gumam Albert pada dirinya sendiri. Ada nada geli yang terdengar di sana dan membuat Sophia berang.“Aku memang kesal!” Sophia lantas berbalik
Sophia melepaskan diri dari pelukan Albert dan lelaki itu sama sekali tidak menahannya, lalu Sophia bangun dan duduk membelakangi Albert. Albert juga melakukan hal yang sama, menatap punggung Sophia penuh penasaran.Sementara itu, Sophia merasa sangat gugup dan takut. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, memantapkan diri. Mereka memang sudah berbicara, tapi hubungan mereka belum terlalu jauh.Albert harus tahu sekarang, karena masih ada waktu untuk mundur.Sophia pun meyakinkan diri, membuka sisa kancing baju tidurnya secara perlahan. Dia tidak sadar jemarinya bergetar ketika melakukan itu.“Sophie…?” panggil Albert dengan mata membelalak lebar, menyadari apa yang hendak Sophia lakukan.Setelah semua kancing dibuka, Sophia menurunkan pakaian tidurnya. Kain lembut itu menuruni bahu Sophia, memperlihatkan garis-garis tidak beraturan dari bekas lukanya, lalu turun semakin ke bawah sampai Sophia yakin semua yang dia punya telah terlihat.Selama melakukan itu, Sophia
“Apa kau berpikir bahwa aku akan lari karena jijik?”“Hm.”“Tapi aku tidak melakukannya. Itu hanya apa yang kau pikirkan saja, Sophie. Kalau kau berpikir bekas luka itu akan merubah pikiranku, kau salah besar. Kau salah besar karena telah menilaiku serendah itu. Aku berhak marah karena itulah tepatnya yang kau pikirkan.”“Albert…, jujur saja. Belum terlambat kalau kau mau memutus semuanya.”“Pikiranmu terlalu pendek. Kau wanita cerdas, jangan bersikap bodoh!”Sophia menghembuskan napas lelah. “Albert… tolong.”“Sophie, apa masih kurang jelas? Aku tidak jijik seperti yang kau tuduhkan. Dan aku juga tidak akan lari ke manapun. Kau lah satu-satunya orang yang tampak sudah siap untuk kabur. Kalau saja aku tidak langsung memegangmu, kau mungkin sudah meloncat turun dan lari pergi seolah kau lah yang jijik padaku.”“Bukan begitu. A-aku—”“Apa aku menyakitimu?”Sophia menggeleng. Tidak, Albert tidak benar-benar menyakitinya. Rasa sakit yang Sophia rasakan di dadanya sekarang hanyalah rasa ke
Sophia tertidur di dalam pelukan Albert.Namun ketika pagi menyingsing, dia tidak menemukan lelaki itu di kamarnya lagi.Satu hari berlalu, Sophia pikir Albert akan lembur di kantor karena sehari sebelumnya dia mengambil cuti.Namun, hari itu berganti menjadi minggu. Pemikiran negatif di kepala Sophia mulai bermunculan.Albert tiba-tiba menghilang seperti ini. Tepat setelah Sophia menunjukkan kekurangannya malam itu. Walau Albert sudah berulang kali meyakinkannya bahwa hubungan mereka tidak akan berubah. Tapi Sophia yakin, pandangan Albert padanya sekarang pasti berubah.‘Rasa kasihan, kah?’ renung Sophia sendiri saat duduk di dekat jendela pada sore yang dibasahi hujan deras. Ada buku tebal yang terbuka di pangkuannya, dan laptop menyala di meja kecil di depannya.“Kalau tahu begini…,” lirih Sophia pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Dia sudah menahannya selama berhari-hari, sudah sekuat tenaga meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa kepergian Albert tidak ada sangkut pautnya dengan ma
Albert tanpa sadar membayangkan wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Sophia. Mengenakan handuk pendek yang melilit di tengah dadanya, mempertontonkan gundukan kenyal menggoda itu di mata lelaki yang akan menatapnya lapar.Namun Albert menyadari bahwa Sophia yang dia kenal tidak akan melakukan ini. Malam itu, saat melihat Sophia menangis mencoba untuk menutupi diri dari pandangannya, Albert merasa begitu terpukul. Rasa sakit yang terpancar jelas di mata wanita itu… membuat Albert marah. Marah pada siapapun yang telah membuat Sophia menjadi seperti itu.Tapi bukankah dia adalah kandidat pertama pelakunya?Albert begitu hilang dalam pikirannya memikirkan Sophia sehingga dia nyaris lupa pada wanita di hadapannya. Yang saat ini telah melepas handuk yang melilit di tubuhnya sehingga dia tanpa sehelai benang pun, merosot turun dan berlutut di bawah Albert.Ekspresi di wajah Albert masih sama seperti sebelumnya. Gairah yang beberapa detik lalu sempat bangkit sekarang telah lenyap.Al
Sophia tidak bisa mengerti bagaimana semua ini benar-benar terjadi.Albert, yang sudah pergi selama hampir dua minggu, tiba-tiba saja pulang membawa serta kedua orang tuanya. Urusan di antara mereka berdua bahkan belum selesai, dan kini Sophia harus berhadapan dengan mertuanya.Apakah ini cara Albert untuk menebus kesalahannya yang tiba-tiba menghilang? Menjadikan orang tuanya sebagai temeng?Tapi untuk apa? Karena Sophia akan semakin marah dan tidak akan memaafkannya.“Dari mana saja kau?” desis Sophia pelan, bertanya pada Albert yang tengah membuat minuman di dapur, untuk dua orang yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.Albert menoleh pada Sophia.Ada lingkaran hitam samar di mata lelaki itu, janggut dan kumisnya tumbuh sedikit panjang seolah dia tidak bercukur selama berhari-hari. Sophia sedikit terkejut melihat penampilannya yang tidak biasa.“Albert…”Air yang tengah ia tuang ke dalam gelas terhenti. Albert menaruh kembali botol air es itu ke tempatnya kemudian mendekati Soph
Albert langsung meraba rahangnya dan merasakan bulu-bulu kasar telah tumbuh cukup panjang di sana. “Aku tidak sempat bercukur. Sesaat setelah pekerjaanku selesai, aku langsung mengambil tiket penerbangan pulang.”Perasaan hangat itu menjalar ke dada Sophia. Apakah Albert memang benar-benar merindukannya sampai sebesar itu? Sophia jadi merasa malu pernah berpikir Albert meninggalkannya.Suasana di antara mereka mendadak menjadi canggung. Sophia sudah berhasil lepas dari pelukan Albert dan berdiri sekitar satu meter di hadapannya, dengan pipi merona merah.Diam-diam, tanpa Sophia ketahui, senyum kecil terbit di bibir Albert. Dia baru saja ingin merengkuh kembali perempuan itu ke dalam pelukannya saat tiba-tiba saja sebuah dehaman terdengar.Keduanya pun langsung mengalihkan pandang ke arah pintu dapur. Millie berdiri di sana sambil melipat tangan di dada dan bersandar pada ambang pintu.“Aku bertanya-tanya kenapa minumannya datang begitu lama,” kata Millie menatap Albert dan Sophia seca
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig