Sophia melepaskan diri dari pelukan Albert dan lelaki itu sama sekali tidak menahannya, lalu Sophia bangun dan duduk membelakangi Albert. Albert juga melakukan hal yang sama, menatap punggung Sophia penuh penasaran.Sementara itu, Sophia merasa sangat gugup dan takut. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, memantapkan diri. Mereka memang sudah berbicara, tapi hubungan mereka belum terlalu jauh.Albert harus tahu sekarang, karena masih ada waktu untuk mundur.Sophia pun meyakinkan diri, membuka sisa kancing baju tidurnya secara perlahan. Dia tidak sadar jemarinya bergetar ketika melakukan itu.“Sophie…?” panggil Albert dengan mata membelalak lebar, menyadari apa yang hendak Sophia lakukan.Setelah semua kancing dibuka, Sophia menurunkan pakaian tidurnya. Kain lembut itu menuruni bahu Sophia, memperlihatkan garis-garis tidak beraturan dari bekas lukanya, lalu turun semakin ke bawah sampai Sophia yakin semua yang dia punya telah terlihat.Selama melakukan itu, Sophia
“Apa kau berpikir bahwa aku akan lari karena jijik?”“Hm.”“Tapi aku tidak melakukannya. Itu hanya apa yang kau pikirkan saja, Sophie. Kalau kau berpikir bekas luka itu akan merubah pikiranku, kau salah besar. Kau salah besar karena telah menilaiku serendah itu. Aku berhak marah karena itulah tepatnya yang kau pikirkan.”“Albert…, jujur saja. Belum terlambat kalau kau mau memutus semuanya.”“Pikiranmu terlalu pendek. Kau wanita cerdas, jangan bersikap bodoh!”Sophia menghembuskan napas lelah. “Albert… tolong.”“Sophie, apa masih kurang jelas? Aku tidak jijik seperti yang kau tuduhkan. Dan aku juga tidak akan lari ke manapun. Kau lah satu-satunya orang yang tampak sudah siap untuk kabur. Kalau saja aku tidak langsung memegangmu, kau mungkin sudah meloncat turun dan lari pergi seolah kau lah yang jijik padaku.”“Bukan begitu. A-aku—”“Apa aku menyakitimu?”Sophia menggeleng. Tidak, Albert tidak benar-benar menyakitinya. Rasa sakit yang Sophia rasakan di dadanya sekarang hanyalah rasa ke
Sophia tertidur di dalam pelukan Albert.Namun ketika pagi menyingsing, dia tidak menemukan lelaki itu di kamarnya lagi.Satu hari berlalu, Sophia pikir Albert akan lembur di kantor karena sehari sebelumnya dia mengambil cuti.Namun, hari itu berganti menjadi minggu. Pemikiran negatif di kepala Sophia mulai bermunculan.Albert tiba-tiba menghilang seperti ini. Tepat setelah Sophia menunjukkan kekurangannya malam itu. Walau Albert sudah berulang kali meyakinkannya bahwa hubungan mereka tidak akan berubah. Tapi Sophia yakin, pandangan Albert padanya sekarang pasti berubah.‘Rasa kasihan, kah?’ renung Sophia sendiri saat duduk di dekat jendela pada sore yang dibasahi hujan deras. Ada buku tebal yang terbuka di pangkuannya, dan laptop menyala di meja kecil di depannya.“Kalau tahu begini…,” lirih Sophia pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Dia sudah menahannya selama berhari-hari, sudah sekuat tenaga meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa kepergian Albert tidak ada sangkut pautnya dengan ma
Albert tanpa sadar membayangkan wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Sophia. Mengenakan handuk pendek yang melilit di tengah dadanya, mempertontonkan gundukan kenyal menggoda itu di mata lelaki yang akan menatapnya lapar.Namun Albert menyadari bahwa Sophia yang dia kenal tidak akan melakukan ini. Malam itu, saat melihat Sophia menangis mencoba untuk menutupi diri dari pandangannya, Albert merasa begitu terpukul. Rasa sakit yang terpancar jelas di mata wanita itu… membuat Albert marah. Marah pada siapapun yang telah membuat Sophia menjadi seperti itu.Tapi bukankah dia adalah kandidat pertama pelakunya?Albert begitu hilang dalam pikirannya memikirkan Sophia sehingga dia nyaris lupa pada wanita di hadapannya. Yang saat ini telah melepas handuk yang melilit di tubuhnya sehingga dia tanpa sehelai benang pun, merosot turun dan berlutut di bawah Albert.Ekspresi di wajah Albert masih sama seperti sebelumnya. Gairah yang beberapa detik lalu sempat bangkit sekarang telah lenyap.Al
Sophia tidak bisa mengerti bagaimana semua ini benar-benar terjadi.Albert, yang sudah pergi selama hampir dua minggu, tiba-tiba saja pulang membawa serta kedua orang tuanya. Urusan di antara mereka berdua bahkan belum selesai, dan kini Sophia harus berhadapan dengan mertuanya.Apakah ini cara Albert untuk menebus kesalahannya yang tiba-tiba menghilang? Menjadikan orang tuanya sebagai temeng?Tapi untuk apa? Karena Sophia akan semakin marah dan tidak akan memaafkannya.“Dari mana saja kau?” desis Sophia pelan, bertanya pada Albert yang tengah membuat minuman di dapur, untuk dua orang yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.Albert menoleh pada Sophia.Ada lingkaran hitam samar di mata lelaki itu, janggut dan kumisnya tumbuh sedikit panjang seolah dia tidak bercukur selama berhari-hari. Sophia sedikit terkejut melihat penampilannya yang tidak biasa.“Albert…”Air yang tengah ia tuang ke dalam gelas terhenti. Albert menaruh kembali botol air es itu ke tempatnya kemudian mendekati Soph
Albert langsung meraba rahangnya dan merasakan bulu-bulu kasar telah tumbuh cukup panjang di sana. “Aku tidak sempat bercukur. Sesaat setelah pekerjaanku selesai, aku langsung mengambil tiket penerbangan pulang.”Perasaan hangat itu menjalar ke dada Sophia. Apakah Albert memang benar-benar merindukannya sampai sebesar itu? Sophia jadi merasa malu pernah berpikir Albert meninggalkannya.Suasana di antara mereka mendadak menjadi canggung. Sophia sudah berhasil lepas dari pelukan Albert dan berdiri sekitar satu meter di hadapannya, dengan pipi merona merah.Diam-diam, tanpa Sophia ketahui, senyum kecil terbit di bibir Albert. Dia baru saja ingin merengkuh kembali perempuan itu ke dalam pelukannya saat tiba-tiba saja sebuah dehaman terdengar.Keduanya pun langsung mengalihkan pandang ke arah pintu dapur. Millie berdiri di sana sambil melipat tangan di dada dan bersandar pada ambang pintu.“Aku bertanya-tanya kenapa minumannya datang begitu lama,” kata Millie menatap Albert dan Sophia seca
Pada akhirnya, Sophia tidak punya pilihan lain selain mengikuti ucapan Millie untuk memasak bersamanya. Ini juga didukung oleh Adrian yang berkata bahwa dia ingin membicarakan sesuatu dengan Albert, meninggalkan Sophia dan Millie berdua di dapur.Millie berkata bahwa dia akan membuat makanan kesukaan Albert.Dengan wajah sedikit kesal, Sophia memotong bawang atas suruhan Millie, sedangkan wanita itu mencuci sayuran sambil bersenandung kecil.“Sophie, bagaimana hubunganmu dengan Albert akhir-akhir ini? Apakah sudah ada kemajuan?” tanya Millie.Sophia mengusap matanya yang berair dengan punggung tangan sebelum menjawab, “Begitulah,” jawabnya asal.Millie menoleh padanya sejenak. “Apa maksudmu ‘begitulah’?”Sophia ingin sekali menyuruh wanita untuk diam karena dia tengah disusahkan oleh bawang yang kini membuat matanya memanas.“Ugh!” erang Sophia pelan.“Kau baik-baik saja?” tanya Millie.“Jawabannya kau bisa lihat sendiri.”Millie terbahak. “Hahaha… baru memotong bawang saja kau sudah b
“Sophie, kenapa kau tidak menjawab?” Millie menelengkan kepalanya ke samping.Sophia mencoba tampak acuh. “Karena itu adalah privasi. Sesuatu yang tidak perlu aku umbar ke orang-orang yang tidak penting,” sahutnya.“Hm… begitu kah?”Sophia tahu bahwa ada sesuatu yang hendak Millie katakan, tapi wanita itu sengaja mengulur-ulur waktu agar Sophia semakin penasaran.“Apa yang kau lakukan di sini? Tidak kah seharusnya kau memasak?” kata Sophia.“Oh, ya, itulah yang hendak aku lakukan. Tapi seseorang bekerja dengan begitu lambat membuatku harus menunggu.”Seseorang, yang Millie maksud itu, tentu saja Sophia.Tapi lagi-lagi, sekalipun tahu, Sophia hanya bisa menahannya. Karena kehilangan kontrol diri adalah apa yang Millie inginkan darinya. Sophia tidak akan memberikan itu.“Jangan marah,” kata Millie, “lanjutkan saja pekerjaanmu. Dua pria itu biasanya mengobrol sangat lama kalau sudah menyangkut bisnis.” Millie beranjak dari samping Sophia ke kompor, mengangkat sayuran yang telah dia rebus
Albert membawa Sophia ke mobil dengan susah payah, menggendong istrinya yang terus saja memberontak. Pengunjung lain yang ada di luar mulai menatap mereka aneh, bahkan salah seorang penjaga mendekati Albert dengan tatapan penuh curiga.“Dia istriku,” sahut Albert tanpa menghentikan langkahnya, si penjaga pun kembali mundur.Pintu dibuka, Albert memasukkan Sophia ke dalam dan memasangkannya safety-belt juga.“Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku pergi!” berontak Sophia dengan tenaga yang mulai melemah.Albert tidak menghiraukannya dan segera berlari ke sisi lain mobil kemudian masuk ke dalam. Tepat ketika Albert menyalakan mesin, Sophia membuka sabuk pengamannya lalu bergerak cepat membuka pintu. Tapi gerakan Albert lebih cepat lagi, menangkap tubuh istrinya itu dan mendorongnya ke kursi, lalu tanpa peringatan menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam.Rontaan Sophia melemah, tangannya yang mencengkeram lengan Albert per
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad