"Iri kenapa, Nona?""Iri karena kamu bisa punya masa muda sebebas itu.""Kalau anda sendiri gimana?"Nayya mengerutkan keningnya ketika Galen bertanya. "Aku... Aku gak begitu ingat gimana masa mudaku. Yang aku ingat Mama sama Papa sering ngajak aku jalan-jalan pas kecil, seperti ke playground, taman Safari, tapi..." Ekspresi wajah Nayya berubah menjadi serius. "Herannya aku gak inget banyak saat aku masih sekolah."Galen meremas roda kemudinya ketika Nayya bercerita. Namun ekspresi di wajahnya tetap tenang dan santai.Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di area perkemahan yang cukup terpencil. Hutan pinus yang menjulang tinggi di sekitar mereka menciptakan suasana tenang dan damai. Nayya turun dari mobil dengan kagum, menghirup udara segar dalam-dalam. “Wow... ini indah banget,” gumamnya sambil memutar tubuhnya, menikmati suasana. "Haaaa... Udaranya juga sejuk banget."Galen mengeluarkan perlengkapan
Nayya dan Galen kini duduk berhadapan di dekat api unggun yang mulai meredup. Udara malam di perbukitan semakin dingin, membuat Nayya merapatkan jaketnya. Galen yang duduk di seberangnya memperhatikan gerak-geriknya dengan tatapan lembut, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaketnya sendiri dan menyampirkannya di bahu Nayya. “Pakai ini, Nona!" ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya.Nayya menatap Galen dengan sedikit terkejut, tapi ia menerima kehangatan jaket itu tanpa perlawanan. “Makasih... tapi kamu gak kedinginan?” tanyanya khawatir.Galen menggeleng santai. “Saya sudah terbiasa, Nona. Yang penting anda nyaman dan enggak kedinginan.” Nayya tersenyum kecil, jari-jarinya meremas ujung jaket yang masih menyimpan aroma khas Galen. Rasanya aneh, tapi juga... menyenangkan. Ia berdeham kecil untuk mengalihkan pikirannya, lalu menatap Galen yang kini sibuk menyiapkan peralatan untuk memanggang. 'Andai Mas Liam seperti ini?' bantinnya dalam hati. Namun Nayya segera menghap
"Jangan merasa kesepian lagi, Nona. Kan sekarang saya ada di sini."Nayya terdiam, merasakan genggaman Galen yang begitu nyata. Dadanya terasa sesak, bukan karena kesedihan, tapi karena perasaan yang semakin sulit ia abaikan. “Galen...” suaranya nyaris berbisik, ada keraguan di sana.Galen tersenyum lembut, ibu jarinya mengusap punggung tangan Nayya dengan gerakan menenangkan. "Saya serius, Nona. Saya mungkin gak bisa janji banyak hal, tapi tentang kesetiaan, saya juaranya."Nayya menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya—campuran antara rasa hangat dan takut. "Kamu tahu... selama ini aku selalu merasa seperti berjalan sendirian," ucapnya lirih. "Aku punya banyak orang di sekitarku, tapi rasanya mereka cuma... ya, cuma ada di sana, tanpa benar-benar ada untuk aku. Bahkan Mas Liam."Galen menggenggam tangannya lebih erat, seakan ingin meyakinkan Nayya bahwa dia benar-benar ada. "Saya menge
"Apa dia memang sesibuk itu sampai melupakanku?"Liam menghela napas panjang. Ia kemudian duduk kembali, tatapannya kosong. Pikirannya mulai berkelana pada beberapa kejadian terakhir. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang terasa berbeda.Liam meremas ponselnya. “Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. "Makanya dia juga jadi seperti ini?"Dengan pikiran kacau, ia mencoba menelpon Revan. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai bantuan.Di seberang sana, dering ponsel terdengar sebelum akhirnya tersambung. Suara Revan yang terdengar santai langsung menyapa.["Halo bro, kenapa? Tumben telfon malam-malam gini?"]Liam menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar gelisah. “Ada sedikit masalah kecil sebenarnya. Makanya aku menelfonmu."["Masalah apa?"]"Nayya."["Kenapa sama Nayya?"]"Nah itu dia, Van. Nayya tidak mengangkat telfonku sejak siang, chat juga gak di balas."Bukannya prihatin, Revan justru tertawa kencang di line seberang. Membuat Liam j
"Kamu ini sebenarnya mandul kan?"Perempuan yang sedang menuangkan teh hijau ke dalam cangkir keramik putih dengan ukiran mahal itu, melirik ke arah lawan bicaranya. Ekspresi wajahnya tampak menegang, terlihat tak terima dengan pernyataan yang baru saja dia dengar. "Maksud Mama apa?""Gak usah pura-pura polos kamu, Nay! Kamu sama Liam udah mau 3 tahun menikah, masa kalian berdua belum juga ngasih Mama cucu. Jadi cepet kasih tau Mama, kamu sebenarnya mandul kan? Tapi malu buat mengakuinya.""Ma, aku udah cek ke dokter. Dan hasilnya aku baik-baik aja kok.""Oooh, jadi kamu mau nyalahin Liam? Kamu pikir dia yang mandul begitu?" tukas wanita paruh baya itu balik, namanya— Widuri.Nayya menghela nafas panjang. "Aku gak nuduh Mas Liam mandul, Ma. Aku—""Jujur saja ya, Nayya. Sebenarnya Mama capek debat ama kamu soal cucu, tapi Mama ini juga males menghadapi pertanyaan temen-temen Mama soal ini.""Ini diluar kendaliku, Ma. Anak itu kan titipan Tuhan."Widuri mendengus, melipat tangannya di d
"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?""Tentu saja saya akan bicara kan masalah ini dengan Tuan Liam."Nayya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Mungkin kamu benar, Galen. Aku harus bicara sama Mas Liam.""Saya yakin, Tuan bisa mengerti posisi anda."Nayya menghela nafas panjang. Ia tersenyum ke arah Galen yang berdiri tak jauh darinya. "Oke, aku akan coba. Makasih ya sarannya."###"Mas Liam!" Perempuan 23 tahun itu melompat kecil ke arah suaminya. Kedua lengannya bergelayut manja di bahu kokoh pria tersebut dengan wajah sumringah. "Akhirnya Mas pulang juga. Aku... Kangen."Nayya tertegun sejenak, senyumnya perlahan memudar ketika Liam dengan halus menyingkirkan kedua lengannya dari bahunya."Maaf ya, Nay. Aku gerah banget." ujar Liam sembari mengusap tengkuknya. "Aku mau mandi dulu."Nayya menatap suaminya yang berjalan menjauh, tubuhnya terasa sedikit lemas. "Mas... sebentar," panggilnya ragu-ragu.Liam berhenti sejenak, lalu menoleh, sedikit terkejut. "Iya?
"Kamu denger sendiri kan? Mama kamu itu keras kepala, bahkan ucapan kamu aja gak di dengar sama dia."Liam melepaskan dasinya dengan kasar. Ia melempar benda itu ke lantai dan melihat ke arah Nayya sang istri. Beberapa waktu yang lalu mereka berdua baru saja pulang dari rumah bu Widuri untuk makan malam bersama."Jaga bicara kamu, Nayya! Gimana pun juga, dia itu mertua kamu."Nayya melipat kedua tangannya di dada. Perempuan dengan lipstik merah itu tampak lelah dengan balasan sang suami yang ujung-ujungnya pasti menyudutkan dirinya."Lupain soal itu, Mas! Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Nayya setengah frustasi. Bagaimana tidak, kedatangan mereka ke rumah Widuri beberapa waktu yang lalu sama sekali tak membuahkan hasil. Widuri masih bersih kukuh untuk memaksa Liam dan Nayyara bercerai jika tidak kunjung juga mendapatkan momongan.Dan Liam— walaupun berusaha membantah, namun pada akhirnya dia hanya bisa pasrah pada perintah sang Mama."Ya semua itu kan tergantung kamu.""Lo
"Nona!!"Dengan panik, Galen naik ke lantai dua. Gerakannya begitu sigap menuju kamar sang majikan."Non Nayya! Apa yang terjadi?"Galen menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat dengan rasa cemas. Sudah beberapa kali ia mencoba mengetuk pintu kamar majikannya. Namun yang ia dapati hanyalah suara jerit frustasi Nayyara. Juga beberapa barang yang sepertinya menjadi sasaran amuknya."Nona, buka pintunya! Apa yang terjadi? Apa Nona baik-baik saja?" Galen masih mencoba membujuk Nayya agar keluar. Namun Nayya masih saja mengabaikan dirinya. Khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu, dengan satu hentakan, ia mendobrak pintu di depannya."Nona!!!" Galen berlari kecil ke dalam dan mendapati Nayya terduduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidur. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah dengan air mata yang mengalir tanpa henti. Sementara kamar tersebut sudah seperti kapal pecah. Banyak barang berserakan di lantai, bahkan beberapa di antaranya ada yang terbuat dari kaca.“Nona…” Galen mende
"Apa dia memang sesibuk itu sampai melupakanku?"Liam menghela napas panjang. Ia kemudian duduk kembali, tatapannya kosong. Pikirannya mulai berkelana pada beberapa kejadian terakhir. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang terasa berbeda.Liam meremas ponselnya. “Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. "Makanya dia juga jadi seperti ini?"Dengan pikiran kacau, ia mencoba menelpon Revan. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai bantuan.Di seberang sana, dering ponsel terdengar sebelum akhirnya tersambung. Suara Revan yang terdengar santai langsung menyapa.["Halo bro, kenapa? Tumben telfon malam-malam gini?"]Liam menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar gelisah. “Ada sedikit masalah kecil sebenarnya. Makanya aku menelfonmu."["Masalah apa?"]"Nayya."["Kenapa sama Nayya?"]"Nah itu dia, Van. Nayya tidak mengangkat telfonku sejak siang, chat juga gak di balas."Bukannya prihatin, Revan justru tertawa kencang di line seberang. Membuat Liam j
"Jangan merasa kesepian lagi, Nona. Kan sekarang saya ada di sini."Nayya terdiam, merasakan genggaman Galen yang begitu nyata. Dadanya terasa sesak, bukan karena kesedihan, tapi karena perasaan yang semakin sulit ia abaikan. “Galen...” suaranya nyaris berbisik, ada keraguan di sana.Galen tersenyum lembut, ibu jarinya mengusap punggung tangan Nayya dengan gerakan menenangkan. "Saya serius, Nona. Saya mungkin gak bisa janji banyak hal, tapi tentang kesetiaan, saya juaranya."Nayya menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya—campuran antara rasa hangat dan takut. "Kamu tahu... selama ini aku selalu merasa seperti berjalan sendirian," ucapnya lirih. "Aku punya banyak orang di sekitarku, tapi rasanya mereka cuma... ya, cuma ada di sana, tanpa benar-benar ada untuk aku. Bahkan Mas Liam."Galen menggenggam tangannya lebih erat, seakan ingin meyakinkan Nayya bahwa dia benar-benar ada. "Saya menge
Nayya dan Galen kini duduk berhadapan di dekat api unggun yang mulai meredup. Udara malam di perbukitan semakin dingin, membuat Nayya merapatkan jaketnya. Galen yang duduk di seberangnya memperhatikan gerak-geriknya dengan tatapan lembut, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaketnya sendiri dan menyampirkannya di bahu Nayya. “Pakai ini, Nona!" ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya.Nayya menatap Galen dengan sedikit terkejut, tapi ia menerima kehangatan jaket itu tanpa perlawanan. “Makasih... tapi kamu gak kedinginan?” tanyanya khawatir.Galen menggeleng santai. “Saya sudah terbiasa, Nona. Yang penting anda nyaman dan enggak kedinginan.” Nayya tersenyum kecil, jari-jarinya meremas ujung jaket yang masih menyimpan aroma khas Galen. Rasanya aneh, tapi juga... menyenangkan. Ia berdeham kecil untuk mengalihkan pikirannya, lalu menatap Galen yang kini sibuk menyiapkan peralatan untuk memanggang. 'Andai Mas Liam seperti ini?' bantinnya dalam hati. Namun Nayya segera menghap
"Iri kenapa, Nona?""Iri karena kamu bisa punya masa muda sebebas itu.""Kalau anda sendiri gimana?"Nayya mengerutkan keningnya ketika Galen bertanya. "Aku... Aku gak begitu ingat gimana masa mudaku. Yang aku ingat Mama sama Papa sering ngajak aku jalan-jalan pas kecil, seperti ke playground, taman Safari, tapi..." Ekspresi wajah Nayya berubah menjadi serius. "Herannya aku gak inget banyak saat aku masih sekolah."Galen meremas roda kemudinya ketika Nayya bercerita. Namun ekspresi di wajahnya tetap tenang dan santai.Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di area perkemahan yang cukup terpencil. Hutan pinus yang menjulang tinggi di sekitar mereka menciptakan suasana tenang dan damai. Nayya turun dari mobil dengan kagum, menghirup udara segar dalam-dalam. “Wow... ini indah banget,” gumamnya sambil memutar tubuhnya, menikmati suasana. "Haaaa... Udaranya juga sejuk banget."Galen mengeluarkan perlengkapan
"Nayya, apa yang terjadi?"Nayya menelan ludah, jari-jarinya gemetar di atas layar ponselnya. Ia tahu jika ia terus berbicara, suara tubuhnya yang bergetar karena ulah Galen akan terdengar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol merah di layar, mengakhiri panggilan dengan Liam. "Hhh..." Nayya menarik napas dalam-dalam, matanya membelalak menatap Galen yang masih berdiri di depannya dengan tatapan penuh kemenangan. "Galen... kamu keterlaluan..." ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menjaga jarak. Namun, Galen hanya tersenyum tipis, mendekat perlahan hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. "Kenapa? Bukannya Nona yang tidak bisa menolaknya?" bisiknya di telinga Nayya, membuat bulu kuduk perempuan itu meremang. Nayya menggigit bibirnya, perasaan bersalah bercampur dengan ketegangan yang terus menguar di antara mereka. "Nanti kalau Mas Liam tau gimana?" desisnya dengan suara lirih, tapi tetap terdengar tegas. Galen menatapnya dalam, jemarinya masih berada di pinggang
"Sekarang, tolong bantu milik saya supaya rileks," pinta Galen sambil menurunkan zipper celananya.Wajah Nayya memanas melihat milik Galen yang terpampang nyata di depannya. Ia bahkan sampai menelan ludah. "Bisa bantu saya, Nona?""M- maksudnya gimana? Bantu apa?" tanya Nayya pura-pura tidak mengerti."Oral.""A— umph..." Terlambat. Galen sudah memulai aksinya terlebih dahulu bahkan sebelum Nayya sempat menolak."Mmm... Mpphmm..." Nayya kesulitan bernafas saat milik Galen memenuhi mulutnya. Ia hanya mampu mengerang pelan sambil memejamkan mata. Mengikuti tempo Galen yang sedang menikmati servisnya."Ssshh.. Nonaaa..." Galen mendongak. Menikmati sensasi yang Nayya berikan padanya. Tubuhnya memanas hingga tanpa sadar ia mendorong kepala Nayya makin dalam."Mphhmm..." Nayya meremas bagian ujung kemeja Galen. Rahang mulai kram, bahkan jalan nafasnya mulai terengah akibat ulah sang bodyguard, tapi herannya, tubuhnya bereaksi berbeda. Ia merasa panas, ada sesuatu yang lain yang membuat dia
"Nona, anda baik-baik saja?""Aku gak apa-apa. Tapi aku sebel sama orang itu," balas Nayya sambil memijat tengkuknya. Rasanya dia hampir darah tinggi karena kedatangan orang seperti itu.Melihat ekspresi kesal di wajah Nayya, Galen pun menghampiri majikannya tersebut. Setrlah menaruh tas makan siangnya di meja, kemudian berjalan ke belakang kursi Nayya. “Sini saya bantu pijat,” ucapnya lembut. Sebelum Nayya sempat bertanya, Galen sudah menempatkan kedua tangannya di atas pundaknya. "G- Galen?" Nayya sedikit tersentak karena sentuhan Galen tersebut."Otot anda terlalu tegang, Nona. Rileks sedikit! Dan biarkan saya memijat anda," balas pria itu dengan suara yang terdengar dalam."Tapi—""Ssst! Begini-begini saya juga ahli dalam pijatan."Awalnya, Nayya ingin memprotes, tapi sentuhan Galen terasa nyaman. Pijatannya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengurangi rasa kaku di bahunya. Ia pun memejamkan mata, mencoba menikmati momen itu meski gengsinya masih berusaha menahan. Setelah
Setelah Galen meninggalkan butik untuk membeli makan siang, Nayya kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sedang mengecek beberapa sketsa desain ketika suara pintu butik terbuka dengan keras. Seorang wanita berusia sekitar 30-an, dengan wajah marah dan riasan tajam, masuk dengan langkah menghentak. "Di mana Nayya?" suara wanita itu menggema, membuat beberapa karyawan di butik menoleh kaget.Nayya mengangkat wajahnya dan berdiri, menatap wanita itu dengan tenang meski dalam hatinya merasa waspada. "Saya Nayya. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu melangkah mendekat, membawa sebuah kantong besar yang ia lemparkan ke meja Nayya. "Ini! Apa benar ini gaun buatan kamu? Gaun ini benar-benar menghancurkan acaraku!"Nayya mengerutkan kening, berusaha memahami situasinya. "Maaf, ada apa dengan gaunnya? Apa ada yang kurang sesuai?"Wanita itu melipat tangannya, matanya menyala penuh emosi. "Kurang sesuai? Banyak! Bikin malu acaraku aja!"Nayya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun na
Nayya mengerutkan keningnya. "Alasan lain? Apa itu?"Galen tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahu, Nona.""Kenapa?" Nayya mengerutkan keningnya. "Pasti ada hubungannya sama sesuatu yang penting kan?"Galen memandangi perempuan itu. Ia kembali menampilkan senyum penuh arti. "Makan dulu, Nona. Baru nanti kita bicara."Nayya menghela nafas panjang. Merasa kurang puas dengan jawaban Galen yang menurutnya sangat menggantung. "Sejak Mas Liam ke luar kota, aku gak ada teman ngobrol," desis Nayya dengan bibir sedikit mencebik. "Apalagi Mas Liam juga gak bisa dihubungi dan jarang balas chatku. Aku jadi makin feeling lonely.""Saya tau, Nona. Tapi kalau anda bicara terus, nanti makanannya jadi dingin!" balas Galen dengan lembut. "Kita bisa ngobrol sebanyak apapun setelah anda makan. Gimana?"Nayya menatap pemuda itu dengan mata menyipit. "Nanti deh, aku pikir-pikir dulu."Galen reflek tertawa pelan mendengar jawaban majikannya itu. Ditambah ekspresi wajah Nayya tersebut. Membuat perempuan