"Jangan merasa kesepian lagi, Nona. Kan sekarang saya ada di sini."Nayya terdiam, merasakan genggaman Galen yang begitu nyata. Dadanya terasa sesak, bukan karena kesedihan, tapi karena perasaan yang semakin sulit ia abaikan. “Galen...” suaranya nyaris berbisik, ada keraguan di sana.Galen tersenyum lembut, ibu jarinya mengusap punggung tangan Nayya dengan gerakan menenangkan. "Saya serius, Nona. Saya mungkin gak bisa janji banyak hal, tapi tentang kesetiaan, saya juaranya."Nayya menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya—campuran antara rasa hangat dan takut. "Kamu tahu... selama ini aku selalu merasa seperti berjalan sendirian," ucapnya lirih. "Aku punya banyak orang di sekitarku, tapi rasanya mereka cuma... ya, cuma ada di sana, tanpa benar-benar ada untuk aku. Bahkan Mas Liam."Galen menggenggam tangannya lebih erat, seakan ingin meyakinkan Nayya bahwa dia benar-benar ada. "Saya menge
"Apa dia memang sesibuk itu sampai melupakanku?"Liam menghela napas panjang. Ia kemudian duduk kembali, tatapannya kosong. Pikirannya mulai berkelana pada beberapa kejadian terakhir. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang terasa berbeda.Liam meremas ponselnya. “Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. "Makanya dia juga jadi seperti ini?"Dengan pikiran kacau, ia mencoba menelpon Revan. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai bantuan.Di seberang sana, dering ponsel terdengar sebelum akhirnya tersambung. Suara Revan yang terdengar santai langsung menyapa.["Halo bro, kenapa? Tumben telfon malam-malam gini?"]Liam menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar gelisah. “Ada sedikit masalah kecil sebenarnya. Makanya aku menelfonmu."["Masalah apa?"]"Nayya."["Kenapa sama Nayya?"]"Nah itu dia, Van. Nayya tidak mengangkat telfonku sejak siang, chat juga gak di balas."Bukannya prihatin, Revan justru tertawa kencang di line seberang. Membuat Liam j
"Nona— belum tidur?" tanyanya dengan nada lembut.Nayya menggeleng, mengangkat ponselnya sedikit. "Tadinya aku mau tidur. Tapi tiba-tiba aku teringat Mas Liam."Galen memperhatikan Nayya yang sibuk mengangkat hapenya tinggi. Mencari sinyal. "Ck... Di sini gak ada sinyal," keluh Nayya sambil mempoutkan bibirnya. "Aku khawatir Mas Liam marah."Galen menatapnya beberapa detik sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Tuan tidak akan marah, nona. Saya akan bantu bicara sama Tuan kalau sudah ada sinyal.""Kamu kayak gak tau sifat Mas Liam aja," balas Nayya skeptis. Dia masih berusaha menghubungi suaminya meskipun sekarang sudah hampir tengah malam.Galen menghela napas pelan, menatap Nayya yang masih sibuk mengangkat ponselnya ke berbagai arah, berharap mendapatkan sinyal. Angin dingin pegunungan berembus pelan, menggoyangkan helaian rambut Nayya yang tergerai. Perempuan itu masih mengerucutkan bibirnya, ekspresinya jelas menunjukkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.“Nona,” panggil Gale
Nayya terbangun dengan kepala sedikit berat. Ia mengerjapkan mata, merasakan tubuhnya masih lelah setelah perjalanan kemarin. Udara pagi di pegunungan masih dingin, tetapi matahari mulai mengintip dari balik bukit, memberi sedikit kehangatan. Ia langsung teringat sesuatu—ponselnya! Dengan cepat, ia meraih tas kecil di sampingnya dan menyalakan ponselnya yang sejak kemarin mati. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya layar menyala penuh. Jantungnya berdebar keras saat melihat notifikasi yang langsung membanjiri layarnya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Liam sang suami."Duh, gawat. Pasti Mas Liam marah banget nih sama aku."Nayya memberanikan diri untuk membuka chat tersebut. Beberapa pesan itu terlihat penuh dengan makian yang ditunjukkan Liam padanya.["Nayya, kamu di mana?"]["Kenapa ponsel kamu mati?"]["Kamu pergi sama Galen kan? Kenapa gak bilang?"]["Kenapa ponsel Galen juga mati?"]["Apa yang sebenarnya kamu lakukan dengannya?"]["Nayya!"]Perempuan itu mengg
Jantungnya langsung berdegup kencang saat melihat nama yang tertera di layar. LIAM... Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih ponselnya. Ia menatap Galen sesaat sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "H—Halo, Mas?" suara Nayya terdengar hati-hati. Dari seberang telepon, suara Liam terdengar dingin dan tajam. ["Akhirnya kamu angkat juga telfonku."] Nayya menelan ludah. "Maaf, Mas… di sini sinyalnya susah. Aku baru bisa nyalain HP tadi pagi." ["Di sini? Memangnya kamu ada di mana?"] Liam bertanya dengan penuh nada intimidasi. Nayya menggigit ujung bibirnya. Dia cuma punya beberapa detik untuk memikirkan alasan yang tepat supaya Liam tidak semakin marah. ["Nayya! Jawab!"] "Aku pergi camping sama anak-anak di butik, Mas." Liam terdiam selama beberapa detik setelah mendengar jawaban Nayya. ["Camping? Sejak kapan kamu suka camping? Dan kenapa kamu gak bilang sebelumnya?"] Nayya menggigit bibirnya, tahu bahwa alasannya terdengar janggal bagi Liam. Ia menarik napas dalam, berus
Saat perjalanan pulang, Nayya duduk di dalam mobil sambil menatap pemandangan pegunungan yang perlahan menghilang dari pandangannya. Udara masih dingin, meskipun matahari sudah mulai tinggi. Namun, pikirannya tetap dipenuhi banyak pertanyaan, terutama tentang "Karina" —wanita yang tiba-tiba muncul di saat genting dan membantu menenangkan Liam. Nayya melirik ke arah Galen yang duduk di kursi pengemudi. Pria itu terlihat fokus pada jalanan berbatu, ekspresinya tenang seperti biasa. Namun, bagi Nayya, justru itu yang membuatnya semakin curiga.Ia menghela napas pelan, lalu akhirnya memberanikan diri bertanya, "Galen—""Iya Nona?""Kenapa kamu tau kalau Mas Liam bakal nanya soal karyawanku?"Pria itu melirik sekilas ke arah Nayya yang duduk di sampingnya dan menjawab, "Telepati."Nayya menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ekspresi tak bersalah Galen. "Masalahnya, kamu bayar dia berapa sampai mau nolongin kita tadi?"Galen tersenyum tipis. "Saya hanya menjelaskan apa yang terjadi, d
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai.Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi—"Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum.Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona."Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya." Galen h
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai. Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi— "Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum. Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona." Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya."
Nayya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya mulai berair. Ini seperti mimpi. Selama bertahun-tahun ia mencoba, menahan segala rasa sakit—baik secara fisik maupun emosional. Berulang kali ia menghadapi tatapan iba, sindiran, bahkan tuduhan. Dan kini, dokter mengatakan bahwa ia hamil? Liam yang duduk di tepi ranjang masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, kali ini tidak ada lagi pertanyaan atau kecurigaan di wajahnya. Yang ada hanya keterkejutan yang sama seperti yang dialami Nayya. "Kamu beneran... gak bohong?" suara Nayya nyaris bergetar, masih tidak percaya. Liam tersenyum kecil. "Dokter yang bilang, sayang. Aku juga sama kagetnya seperti kamu." Air mata akhirnya jatuh di pipi Nayya. Ia tidak bisa menahannya lagi. Bahagia, lega, dan juga perasaan tidak percaya bercampur menjadi satu. Ia menangis dalam diam, mengingat segala rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Ternyata… selama ini aku tidak mandul," gumamnya di antara isak tangis. "Semua tudu
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni