Jantungnya langsung berdegup kencang saat melihat nama yang tertera di layar. LIAM... Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih ponselnya. Ia menatap Galen sesaat sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "H—Halo, Mas?" suara Nayya terdengar hati-hati. Dari seberang telepon, suara Liam terdengar dingin dan tajam. ["Akhirnya kamu angkat juga telfonku."] Nayya menelan ludah. "Maaf, Mas… di sini sinyalnya susah. Aku baru bisa nyalain HP tadi pagi." ["Di sini? Memangnya kamu ada di mana?"] Liam bertanya dengan penuh nada intimidasi. Nayya menggigit ujung bibirnya. Dia cuma punya beberapa detik untuk memikirkan alasan yang tepat supaya Liam tidak semakin marah. ["Nayya! Jawab!"] "Aku pergi camping sama anak-anak di butik, Mas." Liam terdiam selama beberapa detik setelah mendengar jawaban Nayya. ["Camping? Sejak kapan kamu suka camping? Dan kenapa kamu gak bilang sebelumnya?"] Nayya menggigit bibirnya, tahu bahwa alasannya terdengar janggal bagi Liam. Ia menarik napas dalam, berus
Saat perjalanan pulang, Nayya duduk di dalam mobil sambil menatap pemandangan pegunungan yang perlahan menghilang dari pandangannya. Udara masih dingin, meskipun matahari sudah mulai tinggi. Namun, pikirannya tetap dipenuhi banyak pertanyaan, terutama tentang "Karina" —wanita yang tiba-tiba muncul di saat genting dan membantu menenangkan Liam. Nayya melirik ke arah Galen yang duduk di kursi pengemudi. Pria itu terlihat fokus pada jalanan berbatu, ekspresinya tenang seperti biasa. Namun, bagi Nayya, justru itu yang membuatnya semakin curiga.Ia menghela napas pelan, lalu akhirnya memberanikan diri bertanya, "Galen—""Iya Nona?""Kenapa kamu tau kalau Mas Liam bakal nanya soal karyawanku?"Pria itu melirik sekilas ke arah Nayya yang duduk di sampingnya dan menjawab, "Telepati."Nayya menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ekspresi tak bersalah Galen. "Masalahnya, kamu bayar dia berapa sampai mau nolongin kita tadi?"Galen tersenyum tipis. "Saya hanya menjelaskan apa yang terjadi, d
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai.Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi—"Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum.Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona."Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya." Galen h
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai. Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi— "Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum. Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona." Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya."
Di dalam mobil, Nayya duduk di samping Liam, sementara Galen tetap fokus mengemudi. Meski mereka sudah kembali bersama, perasaan Nayya masih sedikit mengganjal. Tapi ia memilih mengabaikannya dan menikmati momen ini. "Mas pasti capek banget ya?" tanya Nayya sambil menoleh ke arah Liam. Liam yang tengah membuka satu kancing atas kemejanya sekilas tersenyum. "Lumayan. Tapi lihat kamu, capeknya langsung hilang." Nayya tertawa kecil. "Gombal," gumamnya, tapi pipinya bersemu merah. Liam mengulurkan tangan dan menggenggam jemari istrinya. "Aku serius. Aku kangen banget sama kamu." Ia mengecup pelipis istrinya. Mendengar itu, Nayya semakin tersenyum. "Aku juga, Mas." Setelah beberapa saat terdiam menikmati kebersamaan mereka, Nayya kembali membuka suara. "Di Surabaya, selain kerja dan ketemu klien, Mas ngapain aja?" tanyanya penasaran. Liam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Ya, cuma itu sih. Aku sibuk banget, Nay. Dari pagi sampai malam ketemu klien, meeting, nge
Hari-hari berikutnya, Nayya dan Liam menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasa. Nayya sibuk mengurus butik, sementara Liam kembali bekerja di kantornya. Meski jadwal mereka padat, mereka tetap menyempatkan waktu untuk bersama—makan malam berdua, menonton film di rumah, atau sekadar menghabiskan waktu di taman belakang sambil berbincang santai. "Sayang..." Nayya yang sedang membuat makan malam ketika Liam muncul dan memeluknya dari belakang. Perempuan itu sedikit tersentak namun segera bersikap rileks ketika sadar siapa yang ada di belakangnya. "Udah pulang Mas?" "Hm, barusan," balas Liam sambil mengecup pelipis Nayya. "Ihh... Kamu bau asap." Nayya mengerutkan hidungnya, aroma jalanan yang menguar dari tubuh suaminya sedikit mengganggu indra penciumannya. "Namanya juga abis pulang kantor." Liam memberikan pembelaan, sebelum kedua bola matanya tertuju ke arah masakan yang sedang Nayya oleh di atas telfon. "Mau bikin steak ya?" Nayya mengangguk. "Tumben? Kenapa gak beli aja s
"Kamu ini sebenarnya mandul kan?"Perempuan yang sedang menuangkan teh hijau ke dalam cangkir keramik putih dengan ukiran mahal itu, melirik ke arah lawan bicaranya. Ekspresi wajahnya tampak menegang, terlihat tak terima dengan pernyataan yang baru saja dia dengar. "Maksud Mama apa?""Gak usah pura-pura polos kamu, Nay! Kamu sama Liam udah mau 3 tahun menikah, masa kalian berdua belum juga ngasih Mama cucu. Jadi cepet kasih tau Mama, kamu sebenarnya mandul kan? Tapi malu buat mengakuinya.""Ma, aku udah cek ke dokter. Dan hasilnya aku baik-baik aja kok.""Oooh, jadi kamu mau nyalahin Liam? Kamu pikir dia yang mandul begitu?" tukas wanita paruh baya itu balik, namanya— Widuri.Nayya menghela nafas panjang. "Aku gak nuduh Mas Liam mandul, Ma. Aku—""Jujur saja ya, Nayya. Sebenarnya Mama capek debat ama kamu soal cucu, tapi Mama ini juga males menghadapi pertanyaan temen-temen Mama soal ini.""Ini diluar kendaliku, Ma. Anak itu kan titipan Tuhan."Widuri mendengus, melipat tangannya di d
"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?""Tentu saja saya akan bicara kan masalah ini dengan Tuan Liam."Nayya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Mungkin kamu benar, Galen. Aku harus bicara sama Mas Liam.""Saya yakin, Tuan bisa mengerti posisi anda."Nayya menghela nafas panjang. Ia tersenyum ke arah Galen yang berdiri tak jauh darinya. "Oke, aku akan coba. Makasih ya sarannya."###"Mas Liam!" Perempuan 23 tahun itu melompat kecil ke arah suaminya. Kedua lengannya bergelayut manja di bahu kokoh pria tersebut dengan wajah sumringah. "Akhirnya Mas pulang juga. Aku... Kangen."Nayya tertegun sejenak, senyumnya perlahan memudar ketika Liam dengan halus menyingkirkan kedua lengannya dari bahunya."Maaf ya, Nay. Aku gerah banget." ujar Liam sembari mengusap tengkuknya. "Aku mau mandi dulu."Nayya menatap suaminya yang berjalan menjauh, tubuhnya terasa sedikit lemas. "Mas... sebentar," panggilnya ragu-ragu.Liam berhenti sejenak, lalu menoleh, sedikit terkejut. "Iya?
Hari-hari berikutnya, Nayya dan Liam menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasa. Nayya sibuk mengurus butik, sementara Liam kembali bekerja di kantornya. Meski jadwal mereka padat, mereka tetap menyempatkan waktu untuk bersama—makan malam berdua, menonton film di rumah, atau sekadar menghabiskan waktu di taman belakang sambil berbincang santai. "Sayang..." Nayya yang sedang membuat makan malam ketika Liam muncul dan memeluknya dari belakang. Perempuan itu sedikit tersentak namun segera bersikap rileks ketika sadar siapa yang ada di belakangnya. "Udah pulang Mas?" "Hm, barusan," balas Liam sambil mengecup pelipis Nayya. "Ihh... Kamu bau asap." Nayya mengerutkan hidungnya, aroma jalanan yang menguar dari tubuh suaminya sedikit mengganggu indra penciumannya. "Namanya juga abis pulang kantor." Liam memberikan pembelaan, sebelum kedua bola matanya tertuju ke arah masakan yang sedang Nayya oleh di atas telfon. "Mau bikin steak ya?" Nayya mengangguk. "Tumben? Kenapa gak beli aja s
Di dalam mobil, Nayya duduk di samping Liam, sementara Galen tetap fokus mengemudi. Meski mereka sudah kembali bersama, perasaan Nayya masih sedikit mengganjal. Tapi ia memilih mengabaikannya dan menikmati momen ini. "Mas pasti capek banget ya?" tanya Nayya sambil menoleh ke arah Liam. Liam yang tengah membuka satu kancing atas kemejanya sekilas tersenyum. "Lumayan. Tapi lihat kamu, capeknya langsung hilang." Nayya tertawa kecil. "Gombal," gumamnya, tapi pipinya bersemu merah. Liam mengulurkan tangan dan menggenggam jemari istrinya. "Aku serius. Aku kangen banget sama kamu." Ia mengecup pelipis istrinya. Mendengar itu, Nayya semakin tersenyum. "Aku juga, Mas." Setelah beberapa saat terdiam menikmati kebersamaan mereka, Nayya kembali membuka suara. "Di Surabaya, selain kerja dan ketemu klien, Mas ngapain aja?" tanyanya penasaran. Liam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Ya, cuma itu sih. Aku sibuk banget, Nay. Dari pagi sampai malam ketemu klien, meeting, nge
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai. Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi— "Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum. Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona." Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya."
Keesokan paginya, Nayya bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan bersiap untuk hari yang telah lama ia nantikan. Setelah berjam-jam memilih pakaian semalam, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan dress putih dipadu dengan cardigan berbahan rajut dengan rambut yang dibiarkan tergerai alami. Ia ingin terlihat anggun tetapi tetap santai.Saat keluar dari kamar, aroma masakan menguar dari dapur. Ternyata asisten rumah tangganya, Bu Sari, sedang memasak sarapan. "Nona mau sarapan dulu?" tanya Bibi ART ramah. Nayya melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum berangkat ke bandara. Tapi—"Enggak deh Bi, makasih. Nanti aja makannya bareng Mas Liam," jawab Nayya sembari tersenyum.Bibi ART menarik kedua sudut bibirnya sambil menganggukkan kepala. "Siap Nona."Tak lama, Galen muncul dengan kemeja kasual dan jaket hitam. "Nona sudah siap?" Nayya mengangguk sambil menyuapkan roti ke mulutnya. "Iya, kita berangkat sebentar lagi ya." Galen h
Saat perjalanan pulang, Nayya duduk di dalam mobil sambil menatap pemandangan pegunungan yang perlahan menghilang dari pandangannya. Udara masih dingin, meskipun matahari sudah mulai tinggi. Namun, pikirannya tetap dipenuhi banyak pertanyaan, terutama tentang "Karina" —wanita yang tiba-tiba muncul di saat genting dan membantu menenangkan Liam. Nayya melirik ke arah Galen yang duduk di kursi pengemudi. Pria itu terlihat fokus pada jalanan berbatu, ekspresinya tenang seperti biasa. Namun, bagi Nayya, justru itu yang membuatnya semakin curiga.Ia menghela napas pelan, lalu akhirnya memberanikan diri bertanya, "Galen—""Iya Nona?""Kenapa kamu tau kalau Mas Liam bakal nanya soal karyawanku?"Pria itu melirik sekilas ke arah Nayya yang duduk di sampingnya dan menjawab, "Telepati."Nayya menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ekspresi tak bersalah Galen. "Masalahnya, kamu bayar dia berapa sampai mau nolongin kita tadi?"Galen tersenyum tipis. "Saya hanya menjelaskan apa yang terjadi, d
Jantungnya langsung berdegup kencang saat melihat nama yang tertera di layar. LIAM... Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih ponselnya. Ia menatap Galen sesaat sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "H—Halo, Mas?" suara Nayya terdengar hati-hati. Dari seberang telepon, suara Liam terdengar dingin dan tajam. ["Akhirnya kamu angkat juga telfonku."] Nayya menelan ludah. "Maaf, Mas… di sini sinyalnya susah. Aku baru bisa nyalain HP tadi pagi." ["Di sini? Memangnya kamu ada di mana?"] Liam bertanya dengan penuh nada intimidasi. Nayya menggigit ujung bibirnya. Dia cuma punya beberapa detik untuk memikirkan alasan yang tepat supaya Liam tidak semakin marah. ["Nayya! Jawab!"] "Aku pergi camping sama anak-anak di butik, Mas." Liam terdiam selama beberapa detik setelah mendengar jawaban Nayya. ["Camping? Sejak kapan kamu suka camping? Dan kenapa kamu gak bilang sebelumnya?"] Nayya menggigit bibirnya, tahu bahwa alasannya terdengar janggal bagi Liam. Ia menarik napas dalam, berus
Nayya terbangun dengan kepala sedikit berat. Ia mengerjapkan mata, merasakan tubuhnya masih lelah setelah perjalanan kemarin. Udara pagi di pegunungan masih dingin, tetapi matahari mulai mengintip dari balik bukit, memberi sedikit kehangatan. Ia langsung teringat sesuatu—ponselnya! Dengan cepat, ia meraih tas kecil di sampingnya dan menyalakan ponselnya yang sejak kemarin mati. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya layar menyala penuh. Jantungnya berdebar keras saat melihat notifikasi yang langsung membanjiri layarnya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Liam sang suami."Duh, gawat. Pasti Mas Liam marah banget nih sama aku."Nayya memberanikan diri untuk membuka chat tersebut. Beberapa pesan itu terlihat penuh dengan makian yang ditunjukkan Liam padanya.["Nayya, kamu di mana?"]["Kenapa ponsel kamu mati?"]["Kamu pergi sama Galen kan? Kenapa gak bilang?"]["Kenapa ponsel Galen juga mati?"]["Apa yang sebenarnya kamu lakukan dengannya?"]["Nayya!"]Perempuan itu mengg
"Nona— belum tidur?" tanyanya dengan nada lembut.Nayya menggeleng, mengangkat ponselnya sedikit. "Tadinya aku mau tidur. Tapi tiba-tiba aku teringat Mas Liam."Galen memperhatikan Nayya yang sibuk mengangkat hapenya tinggi. Mencari sinyal. "Ck... Di sini gak ada sinyal," keluh Nayya sambil mempoutkan bibirnya. "Aku khawatir Mas Liam marah."Galen menatapnya beberapa detik sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Tuan tidak akan marah, nona. Saya akan bantu bicara sama Tuan kalau sudah ada sinyal.""Kamu kayak gak tau sifat Mas Liam aja," balas Nayya skeptis. Dia masih berusaha menghubungi suaminya meskipun sekarang sudah hampir tengah malam.Galen menghela napas pelan, menatap Nayya yang masih sibuk mengangkat ponselnya ke berbagai arah, berharap mendapatkan sinyal. Angin dingin pegunungan berembus pelan, menggoyangkan helaian rambut Nayya yang tergerai. Perempuan itu masih mengerucutkan bibirnya, ekspresinya jelas menunjukkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.“Nona,” panggil Gale
"Apa dia memang sesibuk itu sampai melupakanku?"Liam menghela napas panjang. Ia kemudian duduk kembali, tatapannya kosong. Pikirannya mulai berkelana pada beberapa kejadian terakhir. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang terasa berbeda.Liam meremas ponselnya. “Apa aku terlalu mengabaikannya selama ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. "Makanya dia juga jadi seperti ini?"Dengan pikiran kacau, ia mencoba menelpon Revan. Satu-satunya orang yang bisa dia mintai bantuan.Di seberang sana, dering ponsel terdengar sebelum akhirnya tersambung. Suara Revan yang terdengar santai langsung menyapa.["Halo bro, kenapa? Tumben telfon malam-malam gini?"]Liam menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar gelisah. “Ada sedikit masalah kecil sebenarnya. Makanya aku menelfonmu."["Masalah apa?"]"Nayya."["Kenapa sama Nayya?"]"Nah itu dia, Van. Nayya tidak mengangkat telfonku sejak siang, chat juga gak di balas."Bukannya prihatin, Revan justru tertawa kencang di line seberang. Membuat Liam j