Nayya mengerutkan keningnya. "Alasan lain? Apa itu?"Galen tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahu, Nona.""Kenapa?" Nayya mengerutkan keningnya. "Pasti ada hubungannya sama sesuatu yang penting kan?"Galen memandangi perempuan itu. Ia kembali menampilkan senyum penuh arti. "Makan dulu, Nona. Baru nanti kita bicara."Nayya menghela nafas panjang. Merasa kurang puas dengan jawaban Galen yang menurutnya sangat menggantung. "Sejak Mas Liam ke luar kota, aku gak ada teman ngobrol," desis Nayya dengan bibir sedikit mencebik. "Apalagi Mas Liam juga gak bisa dihubungi dan jarang balas chatku. Aku jadi makin feeling lonely.""Saya tau, Nona. Tapi kalau anda bicara terus, nanti makanannya jadi dingin!" balas Galen dengan lembut. "Kita bisa ngobrol sebanyak apapun setelah anda makan. Gimana?"Nayya menatap pemuda itu dengan mata menyipit. "Nanti deh, aku pikir-pikir dulu."Galen reflek tertawa pelan mendengar jawaban majikannya itu. Ditambah ekspresi wajah Nayya tersebut. Membuat perempuan
Setelah Galen meninggalkan butik untuk membeli makan siang, Nayya kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sedang mengecek beberapa sketsa desain ketika suara pintu butik terbuka dengan keras. Seorang wanita berusia sekitar 30-an, dengan wajah marah dan riasan tajam, masuk dengan langkah menghentak. "Di mana Nayya?" suara wanita itu menggema, membuat beberapa karyawan di butik menoleh kaget.Nayya mengangkat wajahnya dan berdiri, menatap wanita itu dengan tenang meski dalam hatinya merasa waspada. "Saya Nayya. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu melangkah mendekat, membawa sebuah kantong besar yang ia lemparkan ke meja Nayya. "Ini! Apa benar ini gaun buatan kamu? Gaun ini benar-benar menghancurkan acaraku!"Nayya mengerutkan kening, berusaha memahami situasinya. "Maaf, ada apa dengan gaunnya? Apa ada yang kurang sesuai?"Wanita itu melipat tangannya, matanya menyala penuh emosi. "Kurang sesuai? Banyak! Bikin malu acaraku aja!"Nayya menarik napas dalam, mencoba tetap tenang meskipun na
"Nona, anda baik-baik saja?""Aku gak apa-apa. Tapi aku sebel sama orang itu," balas Nayya sambil memijat tengkuknya. Rasanya dia hampir darah tinggi karena kedatangan orang seperti itu.Melihat ekspresi kesal di wajah Nayya, Galen pun menghampiri majikannya tersebut. Setrlah menaruh tas makan siangnya di meja, kemudian berjalan ke belakang kursi Nayya. “Sini saya bantu pijat,” ucapnya lembut. Sebelum Nayya sempat bertanya, Galen sudah menempatkan kedua tangannya di atas pundaknya. "G- Galen?" Nayya sedikit tersentak karena sentuhan Galen tersebut."Otot anda terlalu tegang, Nona. Rileks sedikit! Dan biarkan saya memijat anda," balas pria itu dengan suara yang terdengar dalam."Tapi—""Ssst! Begini-begini saya juga ahli dalam pijatan."Awalnya, Nayya ingin memprotes, tapi sentuhan Galen terasa nyaman. Pijatannya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengurangi rasa kaku di bahunya. Ia pun memejamkan mata, mencoba menikmati momen itu meski gengsinya masih berusaha menahan. Setelah
"Sekarang, tolong bantu milik saya supaya rileks," pinta Galen sambil menurunkan zipper celananya.Wajah Nayya memanas melihat milik Galen yang terpampang nyata di depannya. Ia bahkan sampai menelan ludah. "Bisa bantu saya, Nona?""M- maksudnya gimana? Bantu apa?" tanya Nayya pura-pura tidak mengerti."Oral.""A— umph..." Terlambat. Galen sudah memulai aksinya terlebih dahulu bahkan sebelum Nayya sempat menolak."Mmm... Mpphmm..." Nayya kesulitan bernafas saat milik Galen memenuhi mulutnya. Ia hanya mampu mengerang pelan sambil memejamkan mata. Mengikuti tempo Galen yang sedang menikmati servisnya."Ssshh.. Nonaaa..." Galen mendongak. Menikmati sensasi yang Nayya berikan padanya. Tubuhnya memanas hingga tanpa sadar ia mendorong kepala Nayya makin dalam."Mphhmm..." Nayya meremas bagian ujung kemeja Galen. Rahang mulai kram, bahkan jalan nafasnya mulai terengah akibat ulah sang bodyguard, tapi herannya, tubuhnya bereaksi berbeda. Ia merasa panas, ada sesuatu yang lain yang membuat dia
"Nayya, apa yang terjadi?"Nayya menelan ludah, jari-jarinya gemetar di atas layar ponselnya. Ia tahu jika ia terus berbicara, suara tubuhnya yang bergetar karena ulah Galen akan terdengar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol merah di layar, mengakhiri panggilan dengan Liam. "Hhh..." Nayya menarik napas dalam-dalam, matanya membelalak menatap Galen yang masih berdiri di depannya dengan tatapan penuh kemenangan. "Galen... kamu keterlaluan..." ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menjaga jarak. Namun, Galen hanya tersenyum tipis, mendekat perlahan hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. "Kenapa? Bukannya Nona yang tidak bisa menolaknya?" bisiknya di telinga Nayya, membuat bulu kuduk perempuan itu meremang. Nayya menggigit bibirnya, perasaan bersalah bercampur dengan ketegangan yang terus menguar di antara mereka. "Nanti kalau Mas Liam tau gimana?" desisnya dengan suara lirih, tapi tetap terdengar tegas. Galen menatapnya dalam, jemarinya masih berada di pinggang
"Iri kenapa, Nona?""Iri karena kamu bisa punya masa muda sebebas itu.""Kalau anda sendiri gimana?"Nayya mengerutkan keningnya ketika Galen bertanya. "Aku... Aku gak begitu ingat gimana masa mudaku. Yang aku ingat Mama sama Papa sering ngajak aku jalan-jalan pas kecil, seperti ke playground, taman Safari, tapi..." Ekspresi wajah Nayya berubah menjadi serius. "Herannya aku gak inget banyak saat aku masih sekolah."Galen meremas roda kemudinya ketika Nayya bercerita. Namun ekspresi di wajahnya tetap tenang dan santai.Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di area perkemahan yang cukup terpencil. Hutan pinus yang menjulang tinggi di sekitar mereka menciptakan suasana tenang dan damai. Nayya turun dari mobil dengan kagum, menghirup udara segar dalam-dalam. “Wow... ini indah banget,” gumamnya sambil memutar tubuhnya, menikmati suasana. "Haaaa... Udaranya juga sejuk banget."Galen mengeluarkan perlengkapan
Nayya dan Galen kini duduk berhadapan di dekat api unggun yang mulai meredup. Udara malam di perbukitan semakin dingin, membuat Nayya merapatkan jaketnya. Galen yang duduk di seberangnya memperhatikan gerak-geriknya dengan tatapan lembut, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaketnya sendiri dan menyampirkannya di bahu Nayya. “Pakai ini, Nona!" ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya.Nayya menatap Galen dengan sedikit terkejut, tapi ia menerima kehangatan jaket itu tanpa perlawanan. “Makasih... tapi kamu gak kedinginan?” tanyanya khawatir.Galen menggeleng santai. “Saya sudah terbiasa, Nona. Yang penting anda nyaman dan enggak kedinginan.” Nayya tersenyum kecil, jari-jarinya meremas ujung jaket yang masih menyimpan aroma khas Galen. Rasanya aneh, tapi juga... menyenangkan. Ia berdeham kecil untuk mengalihkan pikirannya, lalu menatap Galen yang kini sibuk menyiapkan peralatan untuk memanggang. 'Andai Mas Liam seperti ini?' bantinnya dalam hati. Namun Nayya segera menghap
"Jangan merasa kesepian lagi, Nona. Kan sekarang saya ada di sini."Nayya terdiam, merasakan genggaman Galen yang begitu nyata. Dadanya terasa sesak, bukan karena kesedihan, tapi karena perasaan yang semakin sulit ia abaikan. “Galen...” suaranya nyaris berbisik, ada keraguan di sana.Galen tersenyum lembut, ibu jarinya mengusap punggung tangan Nayya dengan gerakan menenangkan. "Saya serius, Nona. Saya mungkin gak bisa janji banyak hal, tapi tentang kesetiaan, saya juaranya."Nayya menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya—campuran antara rasa hangat dan takut. "Kamu tahu... selama ini aku selalu merasa seperti berjalan sendirian," ucapnya lirih. "Aku punya banyak orang di sekitarku, tapi rasanya mereka cuma... ya, cuma ada di sana, tanpa benar-benar ada untuk aku. Bahkan Mas Liam."Galen menggenggam tangannya lebih erat, seakan ingin meyakinkan Nayya bahwa dia benar-benar ada. "Saya menge
Nayya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya mulai berair. Ini seperti mimpi. Selama bertahun-tahun ia mencoba, menahan segala rasa sakit—baik secara fisik maupun emosional. Berulang kali ia menghadapi tatapan iba, sindiran, bahkan tuduhan. Dan kini, dokter mengatakan bahwa ia hamil? Liam yang duduk di tepi ranjang masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, kali ini tidak ada lagi pertanyaan atau kecurigaan di wajahnya. Yang ada hanya keterkejutan yang sama seperti yang dialami Nayya. "Kamu beneran... gak bohong?" suara Nayya nyaris bergetar, masih tidak percaya. Liam tersenyum kecil. "Dokter yang bilang, sayang. Aku juga sama kagetnya seperti kamu." Air mata akhirnya jatuh di pipi Nayya. Ia tidak bisa menahannya lagi. Bahagia, lega, dan juga perasaan tidak percaya bercampur menjadi satu. Ia menangis dalam diam, mengingat segala rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Ternyata… selama ini aku tidak mandul," gumamnya di antara isak tangis. "Semua tudu
Setelah mendengar kabar dari dokter, Liam keluar dari ruang perawatan dengan langkah gontai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berantakan. Kabar kehamilan ini seharusnya menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia dan Nayya perjuangkan bersama. Tapi kenapa justru ada perasaan aneh yang menyelip di dadanya? Ia berdiri di depan jendela besar rumah sakit, menatap keluar tanpa benar-benar melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya terus memutar pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin Nayya bisa hamil? Itu sangat mustahil.'Apa jangan-jangan Nayya bohong? Dan sebenarnya dia berhenti mengonsumsi obat itu?''Kalau memang Nayya berhenti minum, wajar jika dia hamil. Tapi kemarin dia bilang—'"Anda kenapa Tuan? Kenapa anda terlihat tidak bahagia?" Liam tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di dekatnya, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi sorot matanya terlihat agak berbeda.L
Di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumah sakit, suasana terasa begitu tegang. Galen yang duduk di kursi pengemudi menekan pedal gas lebih dalam, matanya fokus ke jalan, tapi pikirannya sepenuhnya tertuju pada wanita yang kini terbaring lemah di pelukan Liam. Liam, yang duduk di kursi belakang, memangku Nayya dengan hati-hati. Tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. Wajahnya pucat, napasnya masih lemah, dan itu cukup membuat dada Liam terasa sesak. “Nayya...” bisiknya, menyelipkan rambut istrinya yang berantakan ke belakang telinga. Namun, Nayya tetap diam, tak merespons. Liam menghela napas panjang, lalu menunduk, mengecup dahi istrinya dengan penuh kasih. "kamu tahan sebentar ya!"Galen melirik sekilas dari kaca spion. Rahangnya mengeras saat melihat bagaimana Liam memperlakukan Nayya dengan begitu lembut—dengan kepedulian yang seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa panas. CEMBURU.Galen tahu tempa
"Kamu menolak Safira kemarin, karena ada calon lain?"Liam mengepalkan tangannya. Ia bisa melihat luka di mata Nayya, dan itu membuat dadanya terasa sesak. "Sayang, dengar dulu!"Nayya tertawa kecil, tapi terdengar pahit. "Aku gak perlu dengar lagi, Mas. Aku udah dengar cukup banyak tadi." Ia menunduk, menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Liam merasa panik. Ia menggenggam lengan istrinya dengan lembut. "Dengar aku, aku gak ada niatan untuk menikah lagi. Dan calon— calon apa sayang?! Aku gak punya wanita lain kecuali kamu. Tolong jangan salah paham! Aku bicara begitu karena Mama terus saja memancingku!"Nayya menepis tangan Liam dengan kasar, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menghimpitnya dengan begitu kuat.“Kamu bohong…” suaranya bergetar penuh luka. “Kamu bilang kamu setia… Kamu bilang aku satu-satunya untuk kamu… Tapi ternyata?” Nayya tertawa kecil, terdengar getir. “Ternyata ucapan kamu cuma omong kosong,
Liam sudah siap menyambut istrinya. Namun ternyata yang datang justru adalah sang Mama."Mama? Mama kok bisa ke sini?"Bu Widuri tak menjawab. Ia berjalan dengan gaya tegas ke arah putranya dan duduk di kursi tepat di hadapan putranya. "Mama mau bicara sama kamu.""Soal Safira?" tembak Liam tepat sasaran.Bu Widuri menatap putranya tajam. “Jadi, kenapa kamu menolak, Liam? Safira itu perempuan baik. Dia sudah lama dekat dengan keluarga kita, dan Mama yakin dia bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”Liam menghela napas pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ma, aku gak tertarik untuk menikah lagi.” “Kenapa?” Bu Widuri menatapnya dengan ekspresi serius. “Apa kamu gak ingin punya anak? Mama tau di dalam hati kamu yang paling dalam, sebenarnya kamu juga mau kan punya anak? Kalau kamu menikah lagi, peluang kamu untuk punya anak lebih besar.” Liam menatap ibunya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia memilih merangkai kata-katanya dengan hati-hati.“Aku memang ingin
Cintya mengangguk, namun dalam hatinya, ia sedikit senang melihat Liam tampak kesal saat pria lain memujinya. "Kamu cemburu?"Liam melihat ke arah wanita itu. Tatapannya masih sama tajamnya dengan yang sebelumnya. "Apa perlu aku harus menjawab pertanyaan kamu itu?"Cintya mendesah panjang. "Kan aku cuma memastikan."Liam mendengkus. Ia memilih untuk membuka laptopnya dan mulai mengerjakan laporan.Cintya mengamati Liam yang sibuk dengan laptopnya. Bibirnya sedikit melengkung, merasa senang karena berhasil mengusik pria itu meskipun hanya sedikit.“Aku heran,” gumamnya pelan. Liam tak menoleh, tapi dia berhenti mengetik. “Heran soal apa?” “Soal kamu. Katanya tidak cemburu, tapi jelas-jelas sikap kamu tadi nunjukin hal sebaliknya.” Liam menghela napas, menutup laptopnya dengan satu tangan. “Cintya, kalau aku benar-benar cemburu, aku gak akan diam saja. Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi.” Cintya menatapnya, mencoba menebak apakah Liam serius atau hanya ingin mengakhiri pemb
Liam baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat. Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam, pertengkarannya dengan sang ibu, dan kekhawatiran terhadap Nayya. Ia tahu istrinya sedang berusaha bersikap kuat, tetapi Liam juga sadar bahwa dalam hatinya, Nayya terluka. Saat ia meletakkan tas kerjanya di meja, sebuah suara lembut namun menggoda menyapanya. "Pagi, Pak Liam. Anda terlihat tidak bersemangat hari ini. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu berasal dari Cintya, sekretaris pribadinya yang terkenal dengan kecantikan dan pesona yang sulit diabaikan. Liam menghela napas dan mengusap pelipisnya. "Pagi, Cintya. Aku hanya sedikit lelah. Banyak hal yang terjadi kemarin." Cintya berjalan mendekat, membawa secangkir kopi yang masih mengepul. "Mungkin kopi ini bisa sedikit membantu?" katanya sambil tersenyum, meletakkan cangkir itu di meja Liam dengan gerakan anggun. Liam menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil cangkir itu. "Terima kasih."
Selama perjalanan, Nayya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya sesekali melirik ke arah Liam yang tetap fokus menyetir. Ia tahu bahwa Widuri tidak akan tinggal diam setelah kejadian malam ini. "Mas, Mama tadi kelihatan sangat marah. Aku jadi gak enak ama dia," ucap Nayya dengan suara pelan. Liam menghela napas dan menggenggam tangan istrinya, mencoba meyakinkannya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku ada di sini. Mama memang keras kepala, tapi dia tidak bisa mengubah keputusan yang sudah aku buat. Kamu istriku, dan itu tidak akan berubah." Nayya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan. Ia tahu Liam berusaha menenangkannya, tapi ia juga paham betul bagaimana sifat Widuri. Mertuanya itu tidak akan menyerah begitu saja. "Tapi aku agak khawatir." Liam menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Nanti kalau suasana sudah kondusif, aku akan bicara ke Mama." "Kamu yakin?" "Iya sayang. Kamu tenang aja ya! Aku yakin marahnya Mama cuma sementara." Setiba
"Aku menghormati Mama, tapi aku tidak bisa diam saja kalau seseorang berusaha merusak rumah tanggaku."Safira tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan tersenyum lembut. "Nayya, kamu salah paham. Aku tidak punya niat seperti itu. Aku hanya senang bertemu dengan Liam setelah sekian lama. Tidak lebih.""Benarkah?" Nayya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik. "Lucu sekali, karena selama makan malam ini, aku tidak melihat kamu berbicara tentang hal lain selain betapa luar biasanya suamiku dan bagaimana kalian memiliki banyak kesamaan."Widuri menepuk meja dengan sedikit keras, suaranya mulai meninggi. "Cukup, Nayya! Kamu tidak perlu bersikap seperti ini di depan tamu Mama."Liam yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya ikut berbicara. "Ma! Aku tidak suka arah pembicaraan ini. Aku datang ke sini untuk makan malam keluarga, bukan untuk dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Aku sudah meni