Dua tahun kemudian. Angin musim semi berembus lembut di sebuah taman kecil di pinggiran kota London. Matahari bersinar hangat, menyinari wajah seorang wanita muda yang tengah tertawa bahagia bersama seorang anak lelaki kecil. Amber duduk di atas rerumputan hijau, membantu anak itu berdiri dengan kedua tangan mungilnya yang terangkat tinggi. âBagus, sayang! Ayo jalan ke sini,â ujar Amber dengan penuh semangat. Anak lelaki itu terkekeh senang, matanya yang bulat dan cerah bersinar seolah menggambarkan kebahagiaan tanpa beban. Ia melangkah dengan kaki kecilnya yang masih goyah, berjalan ke arah ibunya yang menunggu dengan tangan terbuka. Setiap kali berhasil melangkah beberapa langkah, ia akan tertawa, menunjukkan senyum yang begitu menggemaskan. Senyum yang sangat mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hati Amber. Brian yang duduk di bangku taman memperhatikan mereka dengan senyum hangat. Sudah hampir dua tahun sejak Amber tinggal di tempat ini, dan selama itu pula Brian sel
"Sudah dua tahun! Dua tahun, Julian! Dan kau masih belum bisa menemukan Amber!" Dave membanting dokumen di tangannya ke meja. Rahangnya mengeras, wajahnya merah padam karena emosi yang ditahannya sejak tadi. Suara bentakan Dave menggema di seluruh ruangan. Para anak buahnya, termasuk Julian, hanya bisa menundukkan kepala, menerima amarah yang meledak-ledak dari pria itu. Julian menelan ludah. Ia tahu ini akan terjadi. Dave sudah sangat frustasi. "Aku minta maaf, Dave," ucap Julian, berusaha tetap tenang. "Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi Amber seperti menghilang begitu saja." "Itu bukan alasan!" Dave menggebrak meja. "Sebarkan lebih banyak orang! Aku tidak peduli berapa pun biayanya! Aku ingin Amber ditemukan secepatnya!" "Baik, aku akan mengerahkan seluruh tim, menyebar ke seluruh Inggris untuk menemukannya." Julian mengangguk mantap. "Kenapa tidak kau lakukan itu dari dulu?" Dave mendengkus kesal. Ia tidak mengerti apa yang saja dilakukan oleh Julian selama ini hingga m
"Papa! Apa benar Tuan Martin Oliver sudah memberi izin pada Julian untuk mencari Amber?" suaranya meninggi, dipenuhi kemarahan. Terdengar helaan napas berat dari Tuan Richard. Pria paruh baya itu menatap wajah putrinya dengan perasaan bersalah. "Bella, maafkan Papa. Papa sudah berusaha membujuk Martin, tapi dia lebih memilih putranya." "Jadi begitu? Ayah tidak bisa lagi mengendalikan Martin Oliver?" Bella mengepalkan tangannya. "Bukan seperti itu, Bella." Tuan Richard mencoba menjelaskan dengan nada sabar. "Martin hanya ingin yang terbaik untuk Dave. Kau harus mengerti, selama dua tahun ini, Dave tidak pernah benar-benar menerima kepergian Amber. Usaha kita untuk mendekatkannya denganmu selalu gagal. Dan sekarang, keadaan Dave semakin memburuk. Martin tidak punya pilihan lain." "Tidak punya pilihan lain?" Bella mencibir. "Jangan bodoh, Papa! Kalau Amber kembali, semuanya akan berantakan! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!" "Bella, dengarkan aku duluâ" "Tidak!" teriak Be
Julian duduk di dalam mobilnya sambil membaca laporan dari anak buahnya. Tangannya sedikit bergetar saat melihat sebuah alamat yang tertera di sana. Setelah dua tahun, akhirnya ia mendapatkan titik terang. Amber ditemukan di sebuah kota kecil di pinggiran London."Akhirnya aku menemukan Amber setelah dua tahun ini aku menahan diri untuk mencarinya. Dave, aku akan membawa Amber untukmu." Julian tersenyum tipis. Tanpa membuang waktu, Julian segera menghidupkan mesin mobil dan melajukan kendaraannya menuju alamat yang diberikan. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam, namun itu tidak terasa lama baginya. Hatinya berdebar, membayangkan bagaimana reaksi Amber jika melihatnya nanti. Setibanya di kota kecil itu, Julian memarkir mobilnya di seberang sebuah restoran kecil yang disebutkan dalam laporan. Ia memperhatikan suasana di sekitar, memastikan bahwa ia berada di tempat yang tepat. Kemudian, matanya membulat ketika melihat sosok yang begitu dikenalnya keluar dari pintu restoran.
Julian melangkah masuk ke dalam mansion mewah milik Dave di Kensington dengan perasaan yang berat. Pikirannya dipenuhi kebimbangan setelah pertemuannya dengan Amber. Ia tahu betapa Dave menginginkan Amber kembali, tetapi ia juga berjanji untuk tidak mengungkap keberadaan wanita itu."Selamat Sore Tuan Julian!" Alfred yang baru turun dari lantai atas langsung menyapa Julian yang tampak tergesa. "Apa Dave ada?" tanyanya. "Ada di ruang kerjanya, Tuan," jawab Alfred. Julian pun mempercepat langkahnya memasuki ruang kerjanya. Begitu memasuki ruang kerja Dave, Julian mendapati pria itu sedang berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegap namun terlihat tegang. Begitu mendengar langkah kaki Julian, Dave langsung berbalik dengan tatapan tajam. "Bagaimana hasilnya?" suara Dave terdengar dingin dan penuh tekanan. "Apa kau sudah menemukan Amber?" Julian menahan napas sejenak, lalu menggeleng pelan. "Belum, Dave. Aku dan timku sudah mencari ke berbagai tempat, tapi sejauh ini belum ada
Dave terpaku.Anak itu mendongak ke arahnya, menatapnya dengan sepasang mata yang begitu familiar. Mata yang sama seperti miliknya. Mata yang mengingatkannya pada dirinya sendiri saat kecil.Jantung Dave berdegup kencang. Wajah anak itu... Begitu mirip dengannya. Hanya rambutnya saja yang berbeda, kulit cerah, dan ekspresi polos yang menggemaskan.Tanpa sadar, Dave berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan bocah kecil itu. Pandangannya mengunci erat ke wajah anak itu, mencoba memahami perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap hatinya."Siapa namamu, Nak?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Tangannya terulur untuk mengelus pipi anak itu. Anak itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Dave dengan mata bulatnya yang penuh rasa ingin tahu. Seolah-olah sedang mempelajari sosok pria asing di depannya.Sebelum Dave sempat mengulang pertanyaannya, sebuah suara perempuan terdengar memanggil dengan nada cemas."Ethan!"Suara itu...Dave terdiam.Jantungnya seperti berh
Amber melepaskan pelukan Dave dengan cepat, seolah sentuhan pria itu adalah sesuatu yang harus segera dijauhinya. Mata cokelatnya menatap Dave dengan dingin, tanpa sisa kehangatan yang dulu pernah ia berikan. Dave mengerutkan kening, tidak mengerti dengan sikap Amber yang begitu ketus padanya. Setelah dua tahun berpisah, Amber seharusnya juga merindukannya. Tapi yang ia lihat sekarang adalah perempuan yang tidak ingin ada di dekatnya. "Amber, kenapa kau bersikap seperti ini?" suara Dave terdengar penuh emosi. Amber tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meluapkan amarah yang sudah mendidih di dadanya. Dave mencoba untuk mendekati Amber lagi, tetapi perempuan itu justru mundur satu langkah. "Pergi, Dave," ucap Amber dingin. "Jangan pernah datang menemuiku lagi." Dave menggeleng tegas. "Aku tidak akan pergi." Matanya menatap Amber dengan penuh keyakinan. "Kali ini, aku tidak akan melepaskanmu lagi. Aku ingin kau kembali padaku. Aku akan mencintaim
Dave dan Julian segera meluncur menuju rumah Nenek Rose dengan kecepatan tinggi. Di sepanjang perjalanan, Dave tidak berkata apa pun. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di atas pahanya. Julian melirik bosnya itu sekilas. Ia tahu Dave sedang menahan emosi. Ia juga tahu bahwa Dave pasti sangat terluka dengan sikap Amber. Tapi Julian juga tidak bisa menyalahkan Amber. Perempuan itu pasti memiliki alasan kuat untuk bersikap seperti itu. Ketika mobil mereka berhenti di depan rumah kecil milik Nenek Rose, kebetulan Amber dan Brian baru saja tiba. Mereka keluar dari mobil Brian, sementara Ethan masih tertidur di dalam gendongan Amber. Tanpa berpikir panjang, Dave segera turun dari mobil dan melangkah cepat ke arah Amber. "Amber, kita perlu bicara," ucap Dave dengan suara tegas, nyaris memerintah. Amber baru saja hendak menjawab, tapi Brian langsung berdiri di depannya, menghadang Dave. "Maaf, tapi Amber tidak ingin bicara denganmu." Suara Brian t
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. âAku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.â Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!â gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h
Nyonya Eliza menatap suaminya dengan cemas dari balik cangkir teh yang belum sempat ia seruput. Wajah Tuan Martin tampak berubah drastis setelah mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ia sangka bahwa Amber ternyata memiliki anak dari Dave. âUlangi sekali lagi, Eliza. Anak ituâĶ EthanâĶ dia anak Dave?â Tuan Martin bertanya dengan suara tertahan namun jelas menunjukkan kemarahan yang ditahannya. Nyonya Eliza mengangguk pelan. âIya. Namanya Ethan, usianya sekitar dua tahun. Aku baru saja bertemu dengannya. Dia sangat mirip Dave saat masih kecil.â Tuan Martin berdiri dari kursinya dengan ekspresi tak percaya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sambil menghela napas panjang. âKenapa baru sekarang aku tahu soal ini?! Kenapa Dave tidak mengatakan apapun padaku?!â âKarena dia juga baru tahu, Pa. Dan dia sangat emosional setelah mengetahuinya. Anak itu adalah darah dagingnya. Itu alasan Dave begitu ngotot ingin memperbaiki hubungannya den
Amber akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja di restoran milik Tuan Grayson. Keputusan itu diambil setelah berbagai pertimbangan yang matang, meskipun ia sadar situasinya kini tidak lagi sama. Banyak rekan kerja yang tetap mencibirnya di belakang, tetapi setidaknya mereka tidak berani terang-terangan mengusik dirinya seperti sebelumnya. Namun, keputusan itu membuat Dave sedikit kesal. Bukan karena ia tidak mendukung pilihan Amber, tetapi karena dalam hatinya, ia lebih ingin Amber tidak perlu lagi bekerja di tempat itu. âKenapa kamu tetap ingin bekerja di sini?â tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak. Amber menghela napas. âKarena aku masih ingin mencari uang untuk biaya hidupku, Dave. Aku ingin tetap bekerja dan tidak bergantung pada siapa pun.â Dave mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tahu Amber adalah wanita yang keras kepala, tetapi tetap saja, ia berharap Amber lebih mempertimbangkan posisinya sekarang. "Aku bisa memberimu uang tanpa harus bekerja di sini. Bila perl
Amber sudah merasa ada yang tidak beres dengan sikap beberapa rekan kerjanya sejak beberapa hari ini. Sikap lunak Tuan Grayson yang biasanya selalu tegas dan tanpa ampun jika ada karyawannya yang melakukan kesalahan menjadi penyebabnya. Mereka berpikir kalau Tuan. Grayson telah dirayu oleh Amber hingga dia memaafkan kesalahan pria itu. Beberapa dari mereka sering berbisik-bisik saat Amber lewat, dan tatapan mereka penuh sindiran. "Aku yakin dia pasti punya hubungan spesial dengan Tuan Grayson," bisik salah satu dari mereka saat Amber berjalan melewati pantry. "Jelas. Kalau tidak, mana mungkin dia masih bekerja di sini setelah semua kesalahan yang dia buat?" sahut yang lain dengan nada sinis. "Amber menghentikan langkahnya dan menatap ke arah mereka yang membicarakannya. " Ngomong apa sih kalian? Amber bukan wanita seperti itu!" Rachel ikut geram. "Darimana kau tahu?" "Aku mengenal Amber dan aku yakin Amber tidak mungkin merendahkan dirinya seperti itu." "Sudahlah
Amber duduk di ruang tepi ranjang dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Dave. Sejak pria itu datang kembali ke kehidupannya, Amber merasa dunianya yang tenang mulai terusik. "Amber!" Suara ketukan di pintu disertai panggilan membuyarkan lamunan Amber. Pintu kamar terbuka dan Clara berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya. "Hallo Sayang, apa kabarmu?" Clara langsung berhambur memeluk Amber. "Kabarku baik Cla." Amber memaksakan senyum. Clara masuk dan duduk di sofa. Ia menatap Amber dengan penuh perhatian. "Kau terlihat lebih pucat dari biasanya, apa kau sakit?" tanyanya sambil mengamati wajah Amber. Amber menghela napas. Ia tahu tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Clara. "Dave sepertinya tahu kalau Ethan adalah anaknya." "Apa? Bagaimana mungkin?" Amber menggigit bibirnya ragu, lalu mulai bercerita tentang bagaimana Dave tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya, bagaimana pria itu berusaha membawa Ethan, dan bagaimana
Amber mondar-mandir gelisah di teras rumah. Jantungnya berdegup cepat, kepalanya dipenuhi pikiran buruk. Ia terus menunggu, berharap Dave segera datang dan mengembalikan Ethan. Saat akhirnya sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah, Amber langsung berlari ke arah gerbang. Napasnya memburu ketika melihat Dave keluar dari mobil dengan Ethan yang tertidur dalam gendongannya. Tanpa pikir panjang, Amber merebut Ethan dari pelukan Dave. Ia memeluk anaknya erat seolah takut kehilangan. Setelah memastikan Ethan baik-baik saja, ia menatap Dave dengan penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan, Dave?!" serunya dengan suara tertahan agar tidak membangunkan Ethan. "Aku sudah bilang jangan pernah membawa Ethan pergi tanpa izinku!" Dave menatap Amber tanpa ekspresi. Lalu, sebuah senyum tipis yang penuh arti terukir di bibirnya. "Kenapa kau begitu panik, Amber?" tanyanya santai. "Kau takut aku akan membawa Ethan pergi?" "Tentu saja!" jawab Amber ketus. Dave mengangkat alisnya. "Kenapa
Dave masih memeluk tubuh mungil Ethan dengan penuh haru. Perasaan yang mengalir di dalam dirinya begitu kuat, seakan semua rindu dan cinta yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya. Ethan tetap diam di dalam pelukannya, seolah mencoba memahami apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, Dave mengendurkan pelukannya dan menatap wajah anak itu dengan penuh kasih sayang. âNak, maukah kau pergi jalan-jalan dengan Papa?â tanyanya lembut, tangannya mengusap rambut lembut Ethan. Ethan menatapnya dengan mata bulatnya yang jernih. Sepertinya anak itu masih bingung, namun di dalam benaknya, ada sesuatu yang membuatnya tidak takut pada Dave. Ia merasa hangat dan nyaman di dekat pria ini, meskipun ia tidak mengerti mengapa. Sebelum Ethan sempat menjawab, suara Nenek Rose terdengar dari belakang. âTidak. Kau tidak bisa membawa Ethan pergi, Tuan Muda Oliver,â ucapnya tegas. Dave menoleh dan mendapati Nenek Rose berdiri di dekat pintu dengan ekspresi waspada. Jelas sekali kalau
Julian mengetuk pintu ruang kerja Dave sebelum melangkah masuk dengan ekspresi serius. Di tangannya, ia membawa sebuah amplop besar yang telah ia tunggu-tunggu hasilnya selama beberapa hari terakhir. Dave, yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, menatap Julian dengan tajam. "Kau sudah mendapatkan hasilnya?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Julian mengangguk dan menyerahkan amplop itu. "Hasil tes DNA Ethan sudah keluar." Dave langsung meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Ia mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya dan membaca setiap kata dengan seksama. Napasnya tertahan. "Kecocokan DNA: 99,9%. Subjek yang diuji memiliki hubungan biologis sebagai ayah dan anak." Dave membeku di tempat. Sejenak, ia tidak bisa berkata apa-apa. Semua dugaan dan harapannya selama ini terbukti benar. Ethan adalah darah dagingnya. "Ethan... adalah anakku..." bisiknya pelan, suaranya terdengar bergetar. Julian mengangguk. "Ya, Tuan. Ethan benar-benar anak Anda." Dave merasa dad
Amber keluar dari ruangan atasannya dengan wajah sedikit pucat. Perasaan lega karena tidak langsung dipecat bercampur dengan ketegangan akibat ancaman tadi. Jika dia sampai melakukan kesalahan lagi, pekerjaannya akan hilang. Itu berarti dia harus mencari cara lain untuk menghidupi Ethan. Tidak, dia tidak boleh kehilangan pekerjaan ini. Namun, baru saja ia hendak kembali bekerja, beberapa temannya sudah menunggunya di dekat pantry. Rachel, yang selama ini cukup dekat dengannya, menghampirinya dengan ekspresi khawatir. Tapi tidak semua yang berdiri di sana memiliki ekspresi yang sama. Banyak di antara mereka yang menatap marah dan iri pada Amber. "Apa yang terjadi di dalam?" tanya Rachel pelan. Amber menghela napas sebelum menjawab. "Aku ditegur karena keluar saat jam kerja kemarin. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Rachel tampak lega, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, seorang pelayan bernama Lany menyelanya. "Sudah kuduga," katanya dengan nada menyindir. "K