“Kamu apa kabar, Fal? Apa kamu sakit, Nak? Bude lihat, muka kamu agak pucet gitu?”
Falisha segera menampik pertanyaan Mirna dengan senyum disertai gelengan samar. “Fal sehat, Bude. Fal baik-baik aja di sini. Keluarga Mas Arka menerima Fal dengan baik dan Fal bahagia banget, Bude.”
Terlihat wajah wanita paruh baya yang sedang melakukan panggilan video dengan Falisha itu tersenyum, menunjukkan rasa lega setelah beberapa hari belakangan, hatinya diliputi kekhawatiran.
“Syukurlah kalau gitu. Bude seneng dengernya. Bude doain, semoga kamu sama Nak Arka lekas dikarunia momongan, biar lengkap.”
Tidak ada yang salah dengan kalimat yang diucapkan Mirna, tetapi kali ini, rasanya sungguh menusuk ulu hati, hingga meninggalkan nyeri yang tidak terperi pada hati terdalam Falisha.
Gimana Fal mau hamil kalau Mas Arka aja enggak sentuh Fal sama sekali, Bude? Bahkan secara terang-terangan Mas Arka menegaskan ke Fal, kalau pernikahan kami cuma hitam di atas putih. Mas Arka enggak cinta sama Fal dan tetap menjalin hubungan dengan pacarnya di luar sana.
Dengan mati-matian Falisha memendam keluh kesah itu sendiri tanpa ingin Mirna tahu. Bagaimanapun, Mirna sudah cukup berjasa dalam mengurus Falisha sepeninggal kedua orang tuanya, dan Falisha tidak ingin membuat wanita itu mengkhawatirkan dirinya.
“Fal, kok diem aja?” Pertanyaan Mirna dari seberang, cukup mengejutkan Falisha yang sedang sibuk menata hati. “Malam pertama lancar, kan? Enggak usah malu-malu, kamu. Nanti juga terbiasa,” goda Mirna tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Lagi-lagi, Falisha melempar senyum lebar. “Iya, Bude. Bude enggak usah khawatir soal itu. Mas Arka ....” Falisha sedikit mendekatkan mikrofon gawai dengan bibirnya. “Mas Arka hebat, Bude,” lanjutnya dengan suara lirih, khawatir ada yang mendengar, mengingat dirinya tengah berada di gazebo sekarang.
Falisha melihat Mirna cekikikan. Dia lega melihat wanita itu turut bahagia dan tidak curiga sedikit pun tentang kebohongan kecil yang mulai dirangkai Falisha demi menjaga perasaan Mirna.
“Pokonya Bude ikut seneng, Fal. Bude doain, kamu di situ bahagia selalu. Jangan lupa pola makan dijaga biar magnya enggak kambuh, ya! Bahaya. Apalagi kamu pengantin baru, badan harus tetap fit, karena menyambut kedatangan malaikat kecil yang bakal melengkapi kebahagiaan kamu, Nak,” pinta Mirna dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada yang bisa dilakukan Falisha selain mengangguk patuh. “Iya, Bude, pasti. Falisha enggak pernah telat makan di sini. Bude jangan khawatir sama kesehatan Fal. Bude sendiri juga harus jaga kesehatan, kan? Inget tuh, pesennya Kak Lita, kalau Bude enggak boleh banyak-banyak konsumsi makanan atau minuman yang manis-manis.”
“Iya, iya. Kamu itu malah balik nasihatin Bude. Soal itu juga Bude udah tahu, Fal. Bude aja kalau minum kopi sambil ngaca.”
Falisha tertawa kecil menanggapi kalimat Mirna. “Biar apa, Bude?”
“Ya kan kopinya pahit. Kalau Bude sambil ngaca, kan jadi ada manis-manisnya, gitu. Masa kamu enggak paham?” canda Mirna yang memang pandai bergurau. “Ya udah, Fal. Udah sore. Bude tutup dulu teleponnya, ya. Sebagai istri yang baik, kamu siapinlah baju ganti. Sebentar lagi suamimu pulang kerja, kan? Jangan lupa siapin makanan juga, karena selezat-lezatnya makanan mbak-mbak yang ada di situ, akan lebih baik kalau kamu siapin sendiri makanan buat suamimu. Pahalanya dapet, suamimu juga pasti merasa lebih diperhatikan. Otomatis dia akan lebih sayang dan cintanya ke kamu jadi semakin besar.”
“Iya, Bude. Fal juga mau mandi dulu, terus salat Ashar. Salam buat Kak Lita, ya, Bude.”
Wanita yang wajahnya masih terlihat pada layar gawai itu mengangguk cepat. “Iya, nanti Bude sampein. Ya udah, ya. Assalamualaikum,” pungkasnya sebelum mengakhiri panggilan.
“Waalaikum salam, Bude.”
Usai menerima panggilan video dari Mirna, Falisha segera meletakkan gawai di meja kecil yang sedari tadi dia gunakan untuk bekerja dengan laptopnya. Kedua netranya sejenak memejam, sementara pikiran sibuk berperang.
Di satu sisi, Falisha ingin sekali protes dengan Arka, karena sudah diperlakukan seenaknya mentang-mentang posisinya di sini hanyalah sebagai istri yang dinikahi bukan karena cinta. Namun, di sisi lain, Falisha tidak ingin melihat wajah kesal Arkatama saat menatap dirinya.
Meski sakit, Falisha tetap berusaha mengambil hati Arka dengan berbagai cara, berharap laki-laki yang sudah lama dia kagumi itu, perlahan bisa membuka hati untuknya.
Perempuan itu pun meraih gawainya kembali ke dalam genggaman, kemudian mengetik pesan yang segera dikirim untuk Arka.
Me:
Mas Arka pulang jam berapa? Mas mau dimasakin apa? Biar Fal siapin makanan buat Mas Arka.
Usai mengirim pesan, Falisha masih menimang-nimang gawai, menunggu Arka membalas secepatnya. Namun, sayang sekali. Balasan yang didapat tidak seperti yang Falisha inginkan.
Hubby:
Enggak usah repot-repot. Aku lembur dan enggak akan makan malem di rumah.
Meski tidak berdarah, rasanya sesakit itu diabaikan oleh orang yang dicintai. Sayangnya, Falisha tidak bisa protes apa-apa dan membiarkan semua berjalan sesuai alurnya.
Me:
Ya udah, enggak apa-apa. Mas Arka jangan capek-capek, ya. Meski sibuk, Mas jangan lupa jaga kesehatan.
Rasanya sungguh berat bagi Falisha. Dia tidak pernah menyangka, Arkatama memiliki hati sekeras baja. Namun, dia tidak ingin mengecewakan kedua orang tua Arka dan juga keluarga Mirna yang sudah mendukung penuh pernikahannya dengan Arka.
Di sini, Falisha merasa bertanggung jawab untuk meyakinkan semua, bahwa dirinya bahagia atas pernikahannya dengan Arka.
“Mood booster, Kak.”
Kedatangan Arsya cukup mengejutkan Falisha. Adik iparnya itu meletakkan secangkir cokelat hangat di meja, juga cokelat batangan dari brand ternama.
“Sebuah penelitian nunjukin, konsumsi cokelat bisa merangsang otak buat memproduksi lebih banyak hormon endorfin dan serotonin yang bisa bikin orang jadi happy. Enggak cuma itu, cokelat juga bisa nurunin hormon kortisol yang dihasilkan tubuh ketika stres.” Arsya melanjutkan panjang lebar.
“Kakak enggak stres, Arsya.” Falisha berusaha menampik. Kedua netranya saling bertatapan dengan Arsya cukup dalam, merasa tersentuh atas perhatian adik ipar.
Kalau aja Mas Arka sebaik kamu, Arsya. Kalau aja Mas Arka punya sedikit aja cinta buat aku, apa Mas Arka juga akan seperhatian ini? batin Falisha bergemuruh.
Arsya duduk dengan santai di gazebo, tidak jauh dari Falisha. Laki-laki berusia dua puluh tahun itu menghela napas panjang.
“Kakak pasti enggak percaya kalau aku mahir dalam segala bidang, termasuk baca pikiran Kakak sekarang.”
“Jangan bercanda, Arsya.”
“Minum, gih. Minimal, Kakak bisa lebih rileks habis itu.”
Arsya tidak memaksa, tetapi melihat tatapannya yang dalam, tidak bisa membuat Falisha berkutik selain menuruti permintaan adik iparnya.
“Enak. Makasih, Arsya,” ucap Falisha setelah menyeruput cokelat hangat dari Arsya.
Tanpa kata, Arsya membuka bungkus cokelat batangan yang dibawanya. “Ini juga enak. Cobain,” pinta Arsya sambil mengulurkan sepotong cokelat ke arah Falisha. “Enggak usah sungkan, kayak sama siapa aja.”
Arsya mendekatkan potongan cokelat di tangannya ke bibir Falisha yang lagi-lagi tidak bisa ditolak.
“Enak, kan?” Arsya meraih pergelangan Falisha dan meletakkan cokelat sisanya di telapak tangan kakak ipar. “Masih banyak, kalau Kakak mau lagi nanti aku ambilin.”
“Makasih, Arsya.” Falisha menikmati cokelat batangan pemberian Arsya.
“Kakak kenapa enggak terus terang sama Bude kalau Kak Arka enggak perlakuin Kakak dengan baik?”
Falisha tersedak mendengar penuturan Arsya.
Laki-laki itu pun meraih botol minum berisi air putih di meja, kemudian membuka tutup dan menyerahkannya kepada Falisha. “Maaf, maaf, Kak,” sesalnya yang tidak bermaksud mengejutkan sang kakak ipar.
Setelah meneguk air putih, Falisha meletakkan kembali botol minum di meja. Sontak kedua tangannya meraih jemari Arsya ke dalam genggaman.
“Arsya, Kakak mohon. Jangan kasih tahu Bude soal itu, ya? Kakak enggak mau buat Bude khawatir. Mama sama Papa juga, jangan sampai tahu kalau Mas Arka ....”
Falisha tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Bulir bening luruh begitu saja dari kedua sudut mata.
“Selain itu, apa yang bisa aku lakuin biar Kakak bahagia?”
Pertanyaan tersebut tidak segera mendapat jawaban dari Falisha. Perempuan itu justru tertegun mendengar kata-kata Arsya.
Apa maksud Arsya?
“Bu, maaf. Tadi teh Bapak telepon, katanya minta diambilin dokumen ada yang ketinggalan di meja kerjanya. Saya diminta buat cariin dan kirim pakai kurir.” Bi Atik mendekati Falisha, masih dengan koyo menempel di pelipis kanan dan kirinya.“Tapi, Bi, apa aman kalau dikirim pakai kurir?” Falisha menghentikan aktivitas sejenak, kemudian memperhatikan Bi Atik yang terlihat sedikit pucat.“Nah, itu, Bu. Saya juga khawatir. Biasanya kan ada orang dari kantor yang ambilin misal ada yang ketinggalan,” terang Bi Atik.Falisha baru menulis satu bab cerita untuk novel yang sedang dia publikasikan dalam bahasa Inggris. Namun, dia tidak bisa membiarkan dokumen Arka diantar kurir ke kantor, khawatir jika dokumen itu penting dan tidak aman dalam perjalanan.“Kalau gitu biar Falisha yang anterin ke kantor, Bi. Bibi bisa kembali istirahat.”“Syukurlah kalau gitu. Saya jadi lega, Bu. Makasih banyak ya, Bu, udah mau bantu.”Falisha mengulas senyum. “Fal yang harusnya berterima kasih sama Bibi karena uda
“Akhirnya, penantian kamu selama ini enggak sia-sia, Fal. Kakak seneng lihat kamu bahagia. Kakak doain, sakinah ma waddah wa rahmah, ya.”Melalui pantulan cermin di hadapan, Falisha melihat senyum semringah dari wajah Thalita, anak Bude Mirna yang sudah menganggapnya seperti adik kandung sendiri.“Aamiin, terima kasih, ya, Kak. Berkat doa Kak Lita juga, jadi doa Fal terkabul.” Falisha tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena menikah dengan laki-laki yang selama ini dia kagumi.“Kalian ini kok masih di sini. Itu keluarga Nak Arka udah pada dateng.” Suara Mirna membuat Falisha dan Thalita sama-sama menoleh. “Nak Arka juga udah nunggu kamu di depan penghulu, Fal. Masa iya, kamu masih di sini?” Wanita itu melanjutkan sembari melangkah tergopoh-gopoh mendekati Falisha yang sudah siap dengan kebaya pengantin yang dikenakan.“Fal masih gugup katanya, Ma. Malu, mau ketemu calon suami,” bisik Thalita setengah menggoda, membuat pipi Falisha yang merah merona, semakin merah seperti kepit
“Selamat pagi, menantu Mama yang cantik. Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?” Salma yang sedang sibuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, menyambut kedatangan Falisha di ruang makan dengan hangat.“Mama ini gimana, sih? Falisha sama Arka baru kemarin menikah, mana mungkin malam pertama mereka tidur dengan nyenyak? Pastinya kan yaaa ... Mama tahu sendiri, lah. Kayak enggak pernah muda aja,” timpal Wilis yang duduk di salah satu kursi meja makan dengan koran terbuka lebar di tangan.Salma cekikikan. “Papa betul juga. Mama lupa.”“Yaaah, namanya juga orang tua. Gimana enggak pelupa?” timpal Wilis dengan kacamata sedikit melorot.Falisha hanya menanggapi dengan senyum simpul. Bagaimanapun, dia masih teringat betul akan kalimat yang diucapkan Arka kemarin, saat belum lama tiba di kediaman mewah yang kini menjadi tempatnya bernaung.“Yang penting kan Mama enggak pernah lupa kalau Papa itu suami Mama tercinta.” Salma terkekeh seraya mendekati Falisha dan menariknya menuju meja ma
“Kopinya, Mas.” Falisha mendekati Arka dan meletakkan secangkir kopi di meja, tepat di hadapan suaminya.Arka tidak menyahut, hanya melipat koran di tangan dan meraih kopi yang disajikan istrinya. Sebentar kemudian, Arka menyemburkan kopi yang baru saja diseruput.“Kenapa, Mas?” tanya Falisha heran saat melihat Arka yang ternyata tidak berkenan dengan kopi buatannya.“Kamu bikin apa, sih? Kamu sengaja ngerjain?”Falisha ternganga. Dia sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataan suaminya. “Ngerjain gimana, maksud Mas? Fal cuma bikin kopi buat temenin Mas Arka baca koran sebelum sarapan,” dalihnya.“Terus ini apa?” Arka melempar tatapan dingin sambil jarinya menunjuk ke arah kopi yang sudah dia letakkan kembali di meja.Falisha tidak tahu harus bagaimana membela diri. Penasaran, Falisha segera meraih cangkir berisi kopi dan menyeruputnya. Perempuan itu terbatuk dan berlari menuju kamar mandi terdekat. Dia baru tahu kesalahan apa yang sudah diperbuat sampai membuat Arkatama menjadi mu
“Bekal yang Kakak bawain kemarin itu enak banget. Boleh enggak, kalau aku minta dimasakin sama Kakak? Kebetulan, Mbak Nia baru pulang kampung karena ada urusan. Sementara Bi Atik, mendadak enggak enak badan. Jadi enggak ada yang masak.”Arsya baru bangun tidur dan membawa tas bekal ke dapur, bertepatan dengan Falisha yang sedang mengambil air minum.“Jadi Arsya suka? Arsya mau dimasakin apa? Nanti Kakak masakin habis mandi.”Tidak buru-buru menjawab, Arsya justru terpesona melihat cantiknya Falisha meski penampilannya masih terlihat berantakan dengan piyama yang dikenakan.“Arsya ....”“Kalau dimasakin sekarang, bisa, enggak? Aku udah laper banget,” pinta Arsya yang baru tersadar dari lamunan. “Aku bakal tungguin Kakak di meja makan. Atau ... mau aku bantu siapin bahan?”Dari Salma, Arsya tahu Falisha adalah tipe orang yang tidak enakan, sehingga kemungkinan kecil perempuan baik hati itu menolak permintaannya. Terlebih, Arsya sudah memperlihatkan tampangnya yang memelas.“Tapi, Kakak
“Bu, maaf. Tadi teh Bapak telepon, katanya minta diambilin dokumen ada yang ketinggalan di meja kerjanya. Saya diminta buat cariin dan kirim pakai kurir.” Bi Atik mendekati Falisha, masih dengan koyo menempel di pelipis kanan dan kirinya.“Tapi, Bi, apa aman kalau dikirim pakai kurir?” Falisha menghentikan aktivitas sejenak, kemudian memperhatikan Bi Atik yang terlihat sedikit pucat.“Nah, itu, Bu. Saya juga khawatir. Biasanya kan ada orang dari kantor yang ambilin misal ada yang ketinggalan,” terang Bi Atik.Falisha baru menulis satu bab cerita untuk novel yang sedang dia publikasikan dalam bahasa Inggris. Namun, dia tidak bisa membiarkan dokumen Arka diantar kurir ke kantor, khawatir jika dokumen itu penting dan tidak aman dalam perjalanan.“Kalau gitu biar Falisha yang anterin ke kantor, Bi. Bibi bisa kembali istirahat.”“Syukurlah kalau gitu. Saya jadi lega, Bu. Makasih banyak ya, Bu, udah mau bantu.”Falisha mengulas senyum. “Fal yang harusnya berterima kasih sama Bibi karena uda
“Kamu apa kabar, Fal? Apa kamu sakit, Nak? Bude lihat, muka kamu agak pucet gitu?”Falisha segera menampik pertanyaan Mirna dengan senyum disertai gelengan samar. “Fal sehat, Bude. Fal baik-baik aja di sini. Keluarga Mas Arka menerima Fal dengan baik dan Fal bahagia banget, Bude.”Terlihat wajah wanita paruh baya yang sedang melakukan panggilan video dengan Falisha itu tersenyum, menunjukkan rasa lega setelah beberapa hari belakangan, hatinya diliputi kekhawatiran.“Syukurlah kalau gitu. Bude seneng dengernya. Bude doain, semoga kamu sama Nak Arka lekas dikarunia momongan, biar lengkap.”Tidak ada yang salah dengan kalimat yang diucapkan Mirna, tetapi kali ini, rasanya sungguh menusuk ulu hati, hingga meninggalkan nyeri yang tidak terperi pada hati terdalam Falisha.Gimana Fal mau hamil kalau Mas Arka aja enggak sentuh Fal sama sekali, Bude? Bahkan secara terang-terangan Mas Arka menegaskan ke Fal, kalau pernikahan kami cuma hitam di atas putih. Mas Arka enggak cinta sama Fal dan teta
“Bekal yang Kakak bawain kemarin itu enak banget. Boleh enggak, kalau aku minta dimasakin sama Kakak? Kebetulan, Mbak Nia baru pulang kampung karena ada urusan. Sementara Bi Atik, mendadak enggak enak badan. Jadi enggak ada yang masak.”Arsya baru bangun tidur dan membawa tas bekal ke dapur, bertepatan dengan Falisha yang sedang mengambil air minum.“Jadi Arsya suka? Arsya mau dimasakin apa? Nanti Kakak masakin habis mandi.”Tidak buru-buru menjawab, Arsya justru terpesona melihat cantiknya Falisha meski penampilannya masih terlihat berantakan dengan piyama yang dikenakan.“Arsya ....”“Kalau dimasakin sekarang, bisa, enggak? Aku udah laper banget,” pinta Arsya yang baru tersadar dari lamunan. “Aku bakal tungguin Kakak di meja makan. Atau ... mau aku bantu siapin bahan?”Dari Salma, Arsya tahu Falisha adalah tipe orang yang tidak enakan, sehingga kemungkinan kecil perempuan baik hati itu menolak permintaannya. Terlebih, Arsya sudah memperlihatkan tampangnya yang memelas.“Tapi, Kakak
“Kopinya, Mas.” Falisha mendekati Arka dan meletakkan secangkir kopi di meja, tepat di hadapan suaminya.Arka tidak menyahut, hanya melipat koran di tangan dan meraih kopi yang disajikan istrinya. Sebentar kemudian, Arka menyemburkan kopi yang baru saja diseruput.“Kenapa, Mas?” tanya Falisha heran saat melihat Arka yang ternyata tidak berkenan dengan kopi buatannya.“Kamu bikin apa, sih? Kamu sengaja ngerjain?”Falisha ternganga. Dia sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataan suaminya. “Ngerjain gimana, maksud Mas? Fal cuma bikin kopi buat temenin Mas Arka baca koran sebelum sarapan,” dalihnya.“Terus ini apa?” Arka melempar tatapan dingin sambil jarinya menunjuk ke arah kopi yang sudah dia letakkan kembali di meja.Falisha tidak tahu harus bagaimana membela diri. Penasaran, Falisha segera meraih cangkir berisi kopi dan menyeruputnya. Perempuan itu terbatuk dan berlari menuju kamar mandi terdekat. Dia baru tahu kesalahan apa yang sudah diperbuat sampai membuat Arkatama menjadi mu
“Selamat pagi, menantu Mama yang cantik. Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?” Salma yang sedang sibuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, menyambut kedatangan Falisha di ruang makan dengan hangat.“Mama ini gimana, sih? Falisha sama Arka baru kemarin menikah, mana mungkin malam pertama mereka tidur dengan nyenyak? Pastinya kan yaaa ... Mama tahu sendiri, lah. Kayak enggak pernah muda aja,” timpal Wilis yang duduk di salah satu kursi meja makan dengan koran terbuka lebar di tangan.Salma cekikikan. “Papa betul juga. Mama lupa.”“Yaaah, namanya juga orang tua. Gimana enggak pelupa?” timpal Wilis dengan kacamata sedikit melorot.Falisha hanya menanggapi dengan senyum simpul. Bagaimanapun, dia masih teringat betul akan kalimat yang diucapkan Arka kemarin, saat belum lama tiba di kediaman mewah yang kini menjadi tempatnya bernaung.“Yang penting kan Mama enggak pernah lupa kalau Papa itu suami Mama tercinta.” Salma terkekeh seraya mendekati Falisha dan menariknya menuju meja ma
“Akhirnya, penantian kamu selama ini enggak sia-sia, Fal. Kakak seneng lihat kamu bahagia. Kakak doain, sakinah ma waddah wa rahmah, ya.”Melalui pantulan cermin di hadapan, Falisha melihat senyum semringah dari wajah Thalita, anak Bude Mirna yang sudah menganggapnya seperti adik kandung sendiri.“Aamiin, terima kasih, ya, Kak. Berkat doa Kak Lita juga, jadi doa Fal terkabul.” Falisha tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena menikah dengan laki-laki yang selama ini dia kagumi.“Kalian ini kok masih di sini. Itu keluarga Nak Arka udah pada dateng.” Suara Mirna membuat Falisha dan Thalita sama-sama menoleh. “Nak Arka juga udah nunggu kamu di depan penghulu, Fal. Masa iya, kamu masih di sini?” Wanita itu melanjutkan sembari melangkah tergopoh-gopoh mendekati Falisha yang sudah siap dengan kebaya pengantin yang dikenakan.“Fal masih gugup katanya, Ma. Malu, mau ketemu calon suami,” bisik Thalita setengah menggoda, membuat pipi Falisha yang merah merona, semakin merah seperti kepit