“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Akhirnya, penantian kamu selama ini enggak sia-sia, Fal. Kakak seneng lihat kamu bahagia. Kakak doain, sakinah ma waddah wa rahmah, ya.”Melalui pantulan cermin di hadapan, Falisha melihat senyum semringah dari wajah Thalita, anak Bude Mirna yang sudah menganggapnya seperti adik kandung sendiri.“Aamiin, terima kasih, ya, Kak. Berkat doa Kak Lita juga, jadi doa Fal terkabul.” Falisha tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena menikah dengan laki-laki yang selama ini dia kagumi.“Kalian ini kok masih di sini. Itu keluarga Nak Arka udah pada dateng.” Suara Mirna membuat Falisha dan Thalita sama-sama menoleh. “Nak Arka juga udah nunggu kamu di depan penghulu, Fal. Masa iya, kamu masih di sini?” Wanita itu melanjutkan sembari melangkah tergopoh-gopoh mendekati Falisha yang sudah siap dengan kebaya pengantin yang dikenakan.“Fal masih gugup katanya, Ma. Malu, mau ketemu calon suami,” bisik Thalita setengah menggoda, membuat pipi Falisha yang merah merona, semakin merah seperti kepiti
“Selamat pagi, menantu Mama yang cantik. Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?” Salma yang sedang sibuk membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, menyambut kedatangan Falisha di ruang makan dengan hangat.“Mama ini gimana, sih? Falisha sama Arka baru kemarin menikah, mana mungkin malam pertama mereka tidur dengan nyenyak? Pastinya kan yaaa ... Mama tahu sendiri, lah. Kayak enggak pernah muda aja,” timpal Wilis yang duduk di salah satu kursi meja makan dengan koran terbuka lebar di tangan.Salma cekikikan. “Papa betul juga. Mama lupa.”“Yaaah, namanya juga orang tua. Gimana enggak pelupa?” timpal Wilis dengan kacamata sedikit melorot.Falisha hanya menanggapi dengan senyum simpul. Bagaimanapun, dia masih teringat betul akan kalimat yang diucapkan Arka kemarin, saat belum lama tiba di rumah yang kini menjadi tempatnya bernaung.“Yang penting kan Mama enggak pernah lupa kalau Papa itu suami tercintanya Mama.” Salma terkekeh seraya mendekati Falisha dan menariknya menuju meja makan. “K
“Kopinya, Mas.” Falisha mendekati Arka dan meletakkan secangkir kopi di meja, tepat di hadapan suaminya.Arka tidak menyahut, hanya melipat koran di tangan dan meraih kopi yang disajikan istrinya. Sebentar kemudian, Arka menyemburkan kopi yang baru saja diseruput.“Kenapa, Mas?” tanya Falisha heran saat melihat Arka yang ternyata tidak berkenan dengan kopi buatannya.“Kamu bikin apa, sih? Kamu sengaja ngerjain?”Falisha ternganga. Dia sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataan suaminya. “Ngerjain gimana, maksud Mas? Fal cuma bikin kopi buat temenin Mas Arka baca koran sebelum sarapan,” dalihnya.“Terus ini apa?” Arka melempar tatapan dingin sambil jarinya menunjuk ke arah kopi yang sudah dia letakkan kembali di meja.Falisha tidak tahu harus bagaimana membela diri. Penasaran, Falisha segera meraih cangkir berisi kopi dan menyeruputnya. Perempuan itu terbatuk dan berlari menuju kamar mandi terdekat. Dia baru tahu kesalahan apa yang sudah diperbuat sampai membuat Arkatama menjadi mur
“Bekal yang Kakak bawain kemarin itu enak banget. Boleh enggak, kalau aku minta dimasakin sama Kakak? Kebetulan, Mbak Nia baru pulang kampung karena ada urusan. Sementara Bi Atik, mendadak enggak enak badan. Jadi enggak ada yang masak.”Arsya baru bangun tidur dan membawa tas bekal ke dapur, bertepatan dengan Falisha yang sedang mengambil air minum.“Jadi Arsya suka? Arsya mau dimasakin apa? Nanti Kakak masakin habis mandi.”Tidak buru-buru menjawab, Arsya justru terpesona melihat cantiknya Falisha meski penampilannya masih terlihat berantakan dengan piyama yang dikenakan.“Arsya ....”“Kalau dimasakin sekarang, bisa, enggak? Aku udah laper banget,” pinta Arsya yang baru tersadar dari lamunan. “Aku bakal tungguin Kakak di meja makan. Atau ... mau aku bantu siapin bahan?”Dari Salma, Arsya tahu Falisha adalah tipe orang yang tidak enakan, sehingga kemungkinan kecil perempuan baik hati itu menolak permintaannya. Terlebih, Arsya sudah memperlihatkan tampangnya yang memelas.“Tapi, Kakak b
“Kamu apa kabar, Fal? Apa kamu sakit, Nak? Bude lihat, muka kamu agak pucat gitu?”Falisha segera menampik pertanyaan Mirna dengan senyum disertai gelengan samar. “Fal sehat, Bude. Fal baik-baik aja di sini. Keluarga Mas Arka menerima Fal dengan baik dan Fal bahagia banget, Bude.”Terlihat wajah wanita paruh baya yang sedang melakukan panggilan video dengan Falisha itu tersenyum, menunjukkan rasa lega setelah beberapa hari belakangan, hatinya diliputi kekhawatiran.“Syukurlah kalau gitu. Bude seneng dengernya. Bude doain, semoga kamu sama Nak Arka lekas dikarunia momongan, biar lengkap.”Tidak ada yang salah dengan kalimat yang diucapkan Mirna, tetapi kali ini, rasanya sungguh menusuk ulu hati, hingga meninggalkan nyeri yang tidak terperi pada hati terdalam Falisha.Gimana Fal mau hamil kalau Mas Arka aja enggak sentuh Fal sama sekali, Bude? Bahkan secara terang-terangan Mas Arka menegaskan ke Fal, kalau pernikahan kami cuma hitam di atas putih. Mas Arka enggak cinta sama Fal dan tetap
“Bu, maaf. Tadi teh Bapak telepon, katanya minta diambilin dokumen, ada yang ketinggalan di meja ruang kerjanya. Saya diminta buat cariin dan kirim pakai kurir.” Atik mendekati Falisha, masih dengan koyo menempel di pelipis kanan dan kirinya.“Tapi, Bi, apa aman kalau dikirim pakai kurir?” Falisha menghentikan aktivitas sejenak, kemudian memperhatikan Atik yang terlihat sedikit pucat.“Nah, itu, Bu. Saya juga khawatir. Biasanya kan ada orang dari kantor yang ambilin misal ada yang ketinggalan,” terang Atik.Falisha baru menulis satu bab cerita untuk novel yang sedang dia publikasikan dalam bahasa Inggris. Namun, dia tidak bisa membiarkan dokumen Arka diantar kurir ke kantor, khawatir jika dokumen itu penting dan tidak aman dalam perjalanan.“Kalau gitu biar saya aja yang anterin ke kantor, Bi. Bibi bisa kembali istirahat.”“Syukurlah kalau gitu. Saya jadi lega, Bu. Makasih banyak ya, Bu, udah mau bantu.”Falisha mengulas senyum. “Saya yang harusnya berterima kasih sama Bibi karena udah
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil
“Minum dulu biar Kakak lebih tenang,” pinta Arsya sambil menyorongkan botol berisi air mineral yang sudah dibuka untuk Falisha. Begitu Arka tidak terlihat, laki-laki itu membawa Falisha menuju Istana Park yang tidak jauh dari Stasiun MRT Orchard.Falisha menerima air mineral pemberian Arsya tanpa menoleh sedikit pun. Tatapannya terlihat kosong.“Kenapa Kakak nolak buat aduin kelakuan Kak Arka ke Mama sama Papa? Kak Arka itu udah keterlaluan sama Kakak. Harusnya dia dikasih pelajaran biar enggak seenaknya.” Arsya menekankan.Perempuan yang diajak bicara tidak menjawab. Pikirannya justru melayang dengan berbagai pertanyaan berkecamuk memenuhi isi kepala.Kalau memang udah ada seseorang yang mengisi hati Arsya, kenapa Arsya masih seperhatian ini sama Fal, Arsya? Jangan buat Fal merasa spesial di mata Arsya. Fal ... ah ... enggak. Fal milik Mas Arka. Iya, seharusnya Arsya biarin Fal menyelesaikan masalah Fal sendiri, Arsya. Bukan begini caranya.Falisha memejam sebentar sembari menggeleng
“Bibir kamu kenapa, Arka?” Salma yang baru saja selesai memasak bersama menantu tercinta, memusatkan perhatian ke arah Arka.Laki-laki itu keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Kemeja warna biru laut yang tidak dikancingkan, dipadukan dengan kaus putih yang sedikit menempel di badan membuatnya terlihat lebih cool.“Semalem ada insiden kecil, tapi Mama enggak perlu khawatir.”“Insiden apa? Gimana bisa?”“Segala kemungkinan kan bisa terjadi, Ma. Tapi enggak apa-apa, udah diobatin lukanya sama Falisha, jadi Mama tenang aja.” Arka mendekati meja makan di mana semua keluarga sudah terduduk di sana.“Jangan-jangan kamu berantem.” Wilis menimpali, sambil melipat koran yang tadi menutup wajah.“Kayak anak kecil aja udah setua ini masih berantem, Pa.” Salma tidak percaya.“Ya siapa tahu. Papa kan Cuma nebak aja.” Wilis melipat koran, kemudian meletakkannya di meja. “Ya sudah, yuk, sarapan! Sudah laper Papa gara-gara nungguin Arka.”Wilis membalik piringnya, sementara Salma bergerak cepat m
“Arsya, kenapa? Jawab Kakak. Kenapa Arsya lakuin itu sama Mas Arka?”Arsya menjatuhkan diri di samping Falisha. Dia baru saja terbangun dari alam bawah sadar. Ingin sekali mengaku akan cintanya yang begitu besar untuk perempuan itu, tetapi mendadak sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat.“Aku ... enggak bisa lihat Kakak diperlakukan seenaknya sama Kak Arka. Aku pengen Kak Arka buka mata kalau Kak Falisha itu lebih baik, jauh lebih baik dari Sabrina yang cuma ngincar harta keluarga kita.”Usai mengucap kalimat itu, Arsya menunduk dalam-dalam. Seandainya saja dia tahu Falisha yang dilamar kedua orang tuanya untuk Arka, sementara Arsya sendiri tahu Arka memiliki seorang kekasih, mungkin Arsya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur.“Tapi Arsya enggak seharusnya lakuin itu. Arsya bisa negur Mas Arka baik-baik kalau mau. Arsya—““Kenapa Kakak malah belain Kak Arka? Sementara, aku lakuin itu buat belain Kakak. Aku enggak tega terus-terusan lihat K
“Mas, Mas Arka kenapa, Mas?”Malam sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu setempat, tetapi Falisha yang belum bisa tidur, memutuskan untuk duduk di tepi jendela, memperhatikan gemerlap lampu-lampu kota.Perhatian Falisha kini tertuju ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka. Dia melihat Arka memasuki kamar dengan sudut bibir berdarah. Tidak peduli lagi dengan rasa sakit di kepala, Falisha lebih memilih untuk mendekati Arka.“Mas, kenapa bibirnya berdarah?” Jemari Falisha terangkat, hendak menyentuh wajah Arka, tetapi laki-laki itu menepisnya.“Enggak usah sok peduli. Seneng, kan, lihat aku kayak gini?”“Mas, Fal cuma mau lakuin kewajiban Fal sebagai istri Mas Arka. Sekarang Mas Arka duduk dulu, ya, biar Fal ambil air hangat buat kompres memar sekalian ambil kotak P3K.”Arkatama duduk di tepi tempat tidur sembari menghela napas panjang. Dia menarik lengan Falisha kuat-kuat hingga perempuan itu terduduk di pembaringan.“Diam aja di situ! Aku bisa obati sendiri.”Falisha mendesah lelah. Di
“Mama betul-betul minta maaf, Falisha. Mama enggak pernah tahu kalau sikap Arka kurang baik ke kamu. Mama sama Papa sibuk sendiri sama bisnis kami sampai-sampai ... kurang memperhatikan apa yang terjadi dengan anak-anak Mama.”Falisha melihat air mata menggenang di pelupuk mata mama mertuanya. Dia menggeleng samar sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arsya. Pasalnya, laki-laki itu sudah berjanji kepada Falisha, tidak akan memberi tahu Salma maupun Wilis tentang sikap Arka yang kurang baik terhadapnya. Namun, apa yang terjadi? Arsya tetap memberi tahu mereka.“Fal enggak apa-apa, Ma. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”Arsya bukannya tidak merasa bersalah, tetapi memang dia tidak mengadukan apa pun kepada Salma dan Wilis yang secara kebetulan, tadinya Salma ingin mengetahui bagaimana romantisnya Arka memperlakukan Falisha saat mereka sedang berdua saja. Sayangnya, satu kenyataan pahit justru harus mereka lihat.“Gimana Mama enggak khawatir? Kamu sampai sakit begini, Nak.” Salma me
“Kamu itu dari mana aja, Arka? Istri kamu sakit, tapi kamu malah keluyuran?” tegur Salma begitu melihat kedatangan anak pertamanya.Wanita itu sudah satu jam tiba di apartemen bersama sang suami, tetapi di dalamnya hanya menemukan Falisha yang terbaring lemah di kamar, ditemani Arsya yang duduk di sofa sudut sembari fokus menghadap laptop.“Papa sama Mama betul-betul kecewa sama kamu, Arka,” timpal Wilis. Laki-laki yang rambutnya mulai memutih itu duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Salma.“Maaf, Ma, Pa. Ini ....” Arka menaikkan tinggi-tinggi tas belanja di tangan. “Aku cuma tinggalin Falisha sebentar buat belanja dan bukan keluyuran seperti yang Mama kira,” elaknya dengan alibi yang dirasa tepat.“Mama tahu banget gimana kamu, Arka. Jadi enggak perlu banyak alasan.” Salma to the point. “Di mana dia? Nginap di mana? Biar Mama kasih tahu supaya dia enggak ganggu kamu lagi! Kamu udah jadi suami Falisha dan seharusnya kamu bertanggung jawab penuh atas istri kamu, bukan malah sibu