Falisha membuka mata dengan berat, kemudian mengerjap perlahan. Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah gorden yang sedikit terbuka dan tepat mengenai wajah cantiknya."I love you, Falisha."Bisikan lembut yang begitu lirih semalam, berhasil membuat Falisha menyunggingkan senyum tipis sebelum dirinya benar-benar tersadar.Jemari mungil Falisha tergerak untuk membuka selimut yang menutup badan, dan senyum itu kembali menghiasi wajah. Rasanya masih seperti mimpi ketika dia merasakan sentuhan lembut yang dia inginkan sejak awal pernikahan.Falisha menjadi semakin yakin, usahanya untuk mengambil hati Arka tidak akan berakhir sia-sia. Namun, bibir Falisha mendadak datar ketika mengingat, Sabrina juga hadir dalam acara makan malam suaminya dan entah minuman apa yang diberikan perempuan itu kepadanya sebelum akhirnya, Falisha mendadak tidak sadarkan diri dan tiba-tiba terbangun dalam kamarnya yang gelap.It's okay, Falisha. Enggak ada yang perlu dipikirkan, karena ny
“Jangan berani-berani sentuh Falisha!”Arsya dengan sigap menangkap pergelangan tangan seorang perempuan yang hendak menampar Falisha. Dengan terpaksa dia harus memasuki toilet khusus perempuan, karena saat Falisha melenggang menuju ke sana, dia tidak sengaja melihat Nabila mengikuti Falisha.Rasa khawatir terhadap Falisha pun membawa langkah Arsya menyusul Falisha ke toilet perempuan. Beruntung, tidak ada siapa pun di sana, sehingga Arsya tidak menjadi bulan-bulanan kaum hawa.Nabila, perempuan yang sempat disebut-sebut Arkatama beberapa hari lalu, tersenyum miring. “Siapa tadi? Falisha?”Arsya merengkuh bahu Falisha ke dalam rangkulan. “Jangan pernah ganggu dia, atau kamu akan berurusan sama aku!”“Wah, wah, wah ... segitunya kamu cinta sama dia, Arsya? Kamu bukan cuma nolak aku, tapi sikap kamu ....” Nabila sengaja menggantung kalimat. Perempuan itu melipat kedua tangan di depan dada.“Aku emang cinta sama dia dan enggak ada yang bisa ganti posisi Falisha di hati aku!”Mendengar ka
“Selamat pagi, Sayang. Gimana kabar kamu? Sehat?”Pagi ini, Falisha dikejutkan dengan keberadaan Salma di dapur. Seingatnya, Salma mengatakan akan pergi cukup lama, tetapi entah kenapa wanita itu sudah kembali, padahal belum ada seminggu dia pergi.“Mama? Mama jam berapa datangnya?” Falisha mendekati mama mertuanya yang segera disambut dengan pelukan hangat. Indra penciumannya menghidu aroma parfum yang memang biasa dipakai Salma, pertanda wanita itu sudah mandi dan mungkin hendak pergi sebentar lagi.“Jam berapa, ya? Kalau enggak salah jam satu, rumah udah sepi, jadi Mama sama Papa diem-diem aja masuk kamar, biar enggak bangunin semua yang udah pada istirahat.” Salma menjawab dengan senyum yang tidak kalah hangat.Jika dilihat-lihat dari mimiknya, Falisha yakin, Salma dan Wilis tulus menyayanginya seperti yang pernah mereka katakan. Lalu, bagaimana dengan Arka? Apakah hanya lelaki itu saja yang tidak bisa menerima Falisha dengan lapang dada, karena tidak menginginkan untuk menikah de
Setelah dua mingguan sibuk ke sana-kemari mengurus berbagai keperluan, akhirnya Falisha tiba di Negeri Singa seperti yang dia harapkan, berdua saja dengan Arka.Tidak apa, meski beberapa hari setelahnya, Salma dan yang lain akan menyusul mereka, setidaknya Falisha memiliki waktu beberapa hari untuk quality time bersama sang suami. Falisha sangat berharap, Arkatama akan luluh dan perlahan membuka hati untuknya, melupakan Sabrina yang tidak seharusnya diperlakukan lebih manis mengingat status perempuan itu yang seharusnya dijauhi Arka."Mas capek? Mau Fal pijitin?" Falisha menawarkan ketika mereka baru saja memasuki apartemen, dan dilihatnya Arka duduk menyandarkan punggung pada sandaran sofa, tampak kelelahan.Tidak disangka, Arka menepuk-nepuk bahu sisi kanan dan kiri, memberikan kesempatan Falisha untuk melayani sang suami."Boleh pijit bagian sini," ucap Arka sesaat kemudian.Tentu saja Falisha mengangguk senang. Untuk pertama kali setelah menjadi istri Arka, lelaki itu membiarkan
"Bilang apa kamu ke Sabrina?"Falisha merasa dirinya tengah berada dalam persidangan. Arkatama duduk tepat di hadapan dengan sorot tajam yang betul-betul tidak pantas dilayangkan kepada seorang istri, apalagi hal itu terjadi karena membela sang kekasih yang sudah seharusnya ditinggalkan mengingat dirinya sudah menikah dengan Falisha."Aku enggak habis pikir. Sejak kapan kamu berani ngelunjak terima telepon tanpa persetujuan? Masalahnya, itu handphone aku dan seharusnya kamu tahu kalau handphone itu privacy."Lagi, Arka menuntut Falisha supaya tidak melakukan hal-hal yang tidak dia sukai."Mas, maaf. Tapi gimana bisa Mas Arka bicara begitu ke Fal? Fal istri Mas Arka. Seharusnya Fal boleh dengan bebas sentuh handphone Mas Arka, karena sebagai istri, Fal harus mengingatkan Sabrina juga supaya enggak ganggu Mas Arka lagi, kan?"“Apa? Apa kamu bilang? Mengingatkan Sabrina?” Arka semakin mendelik. “Tahu apa kamu soal Sabrina?”“’Maaf, Mas. Tapi Falisha istri Mas Arka. Sabrina—““Berhenti se
Matahari sudah menyembul dari persembunyian ketika Falisha membuka mata. Di balik selimut tebal, dirinya tersadar, masih belum mengenakan apa-apa. Kejadian semalam sontak melintas dalam ingatan. Untuk yang kedua kalinya, dia merasa bahagia karena ‘sentuhan’ sang suami. Namun, mengapa sikapnya masih sering kali kasar?Tidak ingin memikirkan hal yang membuat sedih, Falisha menggeleng perlahan. Bagaimanapun, dia yakin bahwa Arka pasti akan melunak dan bisa mencintainya secara utuh.Beberapa saat setelah berhasil mengumpulkan kesadaran, Falisha memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan membersihkan badan. Perempuan itu keluar kamar dan mendapati Arka tengah sibuk di dapur. Tatapan Falisha tertuju ke meja makan dan sudah tersaji beberapa menu makanan di sana.Mas Arka masak? Ini betulan atau cuma mimpi? Falisha menggumam dalam hati.Sesaat setelahnya, Arka menyadari keberadaan Falisha dan menyapa sang istri. “Udah bangun? Maaf soal kemarin,” ucapnya datar.Falisha mencoba mengukir sen
"Tolong siapin kamar. Sabrina tidur di apartemen kita malam ini. AC di apartemennya lagi bermasalah dan teknisinya baru bisa perbaiki besok."Falisha menghela napas panjang. Dia pikir, Arka menelepon untuk bertanya basa-basi, barang kali ada sesuatu yang dia ingin untuk dibelikan. Ternyata dugaannya salah."Tapi, Mas, bukannya ... dia bisa nginap di lain tempat? Fal cuma enggak mau kalau nanti Mama tahu dan—""Enggak usah banyak alasan! Mama enggak akan tahu kalau kamu enggak kasih tahu! Lagi pula kamu enggak ada hak untuk memutuskan boleh atau enggaknya Sabrina nginap di apartemen kita," sahut Arka dari seberang.Sesak, tetapi Falisha tidak bisa melakukan apa-apa. Perempuan itu masih mencoba untuk bertahan di tengah situasi yang sama sekali tidak dia inginkan. Bagaimanapun, Falisha tidak ingin keluarga Mirna yang sudah berekspektasi tinggi tentang Arka, kecewa karena laki-laki itu tidak memperlakukan Falisha sebaik yang mereka kira.“Denger enggak, kamu?”“Iya, Mas. Fal siapin kamarn
“Cerita apa kamu ke Arsya?”Hari masih pagi, tetapi Falisha sudah harus melihat raut Arka yang serupa kardus dilipat. Mau heran, tetapi memang kenyataannya, laki-laki itu sering kali bersikap dingin terhadap Falisha.Falisha tentu ternganga. Dia tidak tahu apa maksud pertanyaan yang dilontarkan Arka. Namun, seketika perempuan itu teringat, semalam Arsya mengirimi sebuah pesan yang ketika Falisha tengah memikirkan balasan yang tepat, dia sudah lebih dulu ketiduran.“Maksud Mas Arka apa?”“Enggak usah pura-pura enggak tahu. Kamu, kan, yang ngadu ke Arsya kalau Sabrina di sini?” tuduh Arka.Pandangan Falisha pun mengedar ke sekeliling. Dalam hatinya bertanya-tanya, di mana Sabrina? Belum bangunkah? Karena jika perempuan itu masih di sana, sudah pasti dia akan menempel di dekat Arka tanpa peduli laki-laki itu sudah menjadi milik orang lain. Akan tetapi, yang dilihatnya hanya Arka seorang diri tengah duduk di salah satu kursi meja makan, menyesap kopi yang tersaji di hadapan.Kapan membuat
Cahaya putih dari lampu ruangan sedikir menyilaukan ketika Falisha perlahan membuka mata. Bau antiseptik menyengat, dan sensasi dingin dari infus yang menempel di pergelangan tangan membuat Falisha tersadar di mana dirinya berada sekarang.Falisha mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke sisi tempat tidur.Arsya. Laki-laki itu tengah tertidur di sisi brankar, dengan kepala bersandar pada lengannya sendiri, sementara tangannya tidak melepas genggamannya pada jemari Falisha.Falisha memperhatikan wajah Arsya yang lebam-lebam, juga luka di sudut bibir yang belum sepenuhnya mengering.Seketika, Falisha teringat dengan pengakuan Arsya beberapa saat sebelum dirinya terbaring di rumah sakit. Benarkah bahwa perempuan yang selama ini dicintai Arsya adalah dirinya? Apa karena itu, Arsya selalu bersikap baik dan penuh perhatian terhadapnya?Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata Falisha. Secinta itukah Arsya kepadanya sehingga dia rela dihajar Arka habis-habisan? Dan benarkah ap
“Positif?” Falisha ternganga melihat testpack dengan garis dua yang berada dalam genggaman.Perempuan itu tidak menyangka, pernikahannya dengan Arka baru menginjak dua bulan, tetapi Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepadanya. Namun, entah kenapa Falisha merasa ada yang kurang.“Bude ... Fal hamil, Bude. Kalau aja Bude masih ada, Bude pasti bahagia, kan?” gumam Falisha lirih.Tidak terasa, bulir hangat mengalir dari kedua sudut mata. Dia baru saja membahas tentang perpisahan dengan Arka, tetapi kenyataan bahwa dirinya sedang berbadan dua membuat Falisha gamang.Apakah itu sebuah pertanda, bahwa Falisha masih harus menjadi istri Arka? Apakah dengan kehamilannya, Arka lantas bisa menerima Falisha sepenuhnya dan merelakan hubungannya dengan Sabrina?Suara ketukan pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Falisha. Perempuan itu cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi wajah dan segera membuka pintu.“Mana hasilnya?”Falisha sedikit heran melihat raut Arka yang jauh dari kata bahagia. A
“Biar aku yang bawa.” Arsya mengambil koper Falisha tanpa persetujuan pemiliknya.“Tapi, Arsya—““Suami Kakak itu emang enggak gentle. Kenapa masih dibelain terus?” Arsya memperhatikan Falisha dengan menatap kedua netranya secara intens. Sementara di hadapannya, Falisha hanya diam tanpa berkutik.Beberapa jam sebelum tiba di Jakarta, Falisha memang dengan sengaja membela Arka di depan Thalita. Perempuan itu menampik kata-kata Thalita yang sebetulnya benar terjadi.“Arsya, Kakak cuma enggak mau Kak Thalita kepikiran. Arsya tahu sendiri kalau keadaan di sana sedang berkabung. Kakak enggak tega kalau sampai Kak Thalita tahu yang sebenernya. Kakak enggak mau nambahin beban pikiran Kak Thalita.”“Tapi gimana dengan beban pikiran Kakak sendiri?” Satu pertanyaan Arsya membuat Falisha menghela napas panjang. “Kapan Kakak bisa mikir jernih? Bilanglah yang sebenernya ke Kak Thalita biar dia protes ke Mama sama Papa. Biar mereka tahu kalau Kak Arka enggak pernah memperlakukan Kakak dengan baik.”
“Beresi barang-barang kamu dan kita pulang hari ini juga!” titah Arka saat Falisha baru saja memasuki kamar.Sejenak, perempuan yang diajak bicara itu termenung di depan pintu. Dia menatap Arka tanpa suara.“Kenapa, sih, kalau diajak ngomong diem aja? Kamu mulai tuli?” Arka terlihat geram, tetapi masih mencoba untuk menjaga intonasi suara agar tidak terdengar dari luar.Dada Falisha naik turun seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Apa yang dikatakan Arka tadi? Laki-laki itu mempertanyakan apakah dia mulai tuli?Falisha sungguh tidak habis pikir. Dia mengira, sejak perlakuan sebenarnya Arka terhadap dirinya sudah diketahui Salma dan Wilis, laki-laki itu akan berubah. Namun, apa yang diharapkan Falisha ternyata tidak sesuai ekspektasi.Perempuan itu berjalan cepat menuju sisi lemari di mana kopernya berada. Dia pun membereskan semua barang bawaan tanpa terkecuali. Jangan ditanya tentang sedih atau tidaknya. Beberapa menit lalu, Falisha baru saja merencanakan dengan Thalita, mere
“Fal, ayo. Semua udah pergi.” Arka membujuk Falisha yang masih berjongkok di sisi pusara Mirna supaya lekas bangkit. Dia tidak ingin berlama-lama tinggal begitu prosesi pemakaman selesai dilaksanakan.Falisha belum juga bergerak. Perempuan itu tentu merasa sangat kehilangan, karena baginya, Mirna adalah Ibu kedua setelah mamanya meninggal dalam kecelakaan bersama sang Papa. Falisha sangat menyayangi Mirna yang sering memanjakannya seperti anak sendiri.“Fal ....” Arka kembali bersuara karena melihat Falisha hanya bungkam. “Kamu denger, kan?”“Fal masih mau di sini. Mas Arka duluan aja.” Singkat, padat, dan jelas. Falisha sama sekali tidak menoleh saat membalas kalimat suaminya. Wajahnya masih basah dan kedua mata menatap kosong ke arah pusara.Arka mendecak kesal. Bagaimana bisa perempuan itu berucap dengan entengnya? Bisa-bisa dia kena marah Salma karena lagi-lagi akan dianggap tidak perhatian terhadap Falisha, bukan?“Kamu harus lekas istirahat. Atau ... kamu sengaja, nyiksa diri de
“Kakak di sini aja, aku awasi Kakak dari tempat yang intinya Kak Arka enggak akan tahu aku di mana.” Arsya menghentikan langkah begitu mendekati stasiun dan Falisha menurut.Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia tidak berani banyak bicara karena sempat salah tangkap akan kejadian beberapa menit lalu di mana Arsya menunduk untuk mengambil bulu mata yang dikhawatirkan akan masuk ke mata Falisha.“Kakak yakin, baik-baik aja?” Arsya memastikan, karena Falisha menjadi lebih banyak diam.“Baik, Arsya. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Gimana aku enggak khawatir? Kakak baru aja baikan. Kemarin Kakak demam tinggi seharian.”Perempuan mana yang tidak akan tersentuh hatinya jika ada laki-laki yang begitu memperhatikan dirinya bahkan sampai hal terkecil sekali pun? Falisha betul-betul tidak bisa membalas kalimat Arsya. Dia tidak ingin salah bicara.“Ya udah, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, aku pasti tonjok lagi mukanya Kak Arka.”“Tapi, Arsya—““Bercanda.” Arsya menyahut cepat sambil
“Minum dulu biar Kakak lebih tenang,” pinta Arsya sambil menyorongkan botol berisi air mineral yang sudah dibuka untuk Falisha. Begitu Arka tidak terlihat, laki-laki itu membawa Falisha menuju Istana Park yang tidak jauh dari Stasiun MRT Orchard.Falisha menerima air mineral pemberian Arsya tanpa menoleh sedikit pun. Tatapannya terlihat kosong.“Kenapa Kakak nolak buat aduin kelakuan Kak Arka ke Mama sama Papa? Kak Arka itu udah keterlaluan sama Kakak. Harusnya dia dikasih pelajaran biar enggak seenaknya.” Arsya menekankan.Perempuan yang diajak bicara tidak menjawab. Pikirannya justru melayang dengan berbagai pertanyaan berkecamuk memenuhi isi kepala.Kalau memang udah ada seseorang yang mengisi hati Arsya, kenapa Arsya masih seperhatian ini sama Fal, Arsya? Jangan buat Fal merasa spesial di mata Arsya. Fal ... ah ... enggak. Fal milik Mas Arka. Iya, seharusnya Arsya biarin Fal menyelesaikan masalah Fal sendiri, Arsya. Bukan begini caranya.Falisha memejam sebentar sembari menggeleng
“Bibir kamu kenapa, Arka?” Salma yang baru saja selesai memasak bersama menantu tercinta, memusatkan perhatian ke arah Arka.Laki-laki itu keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Kemeja warna biru laut yang tidak dikancingkan, dipadukan dengan kaus putih yang sedikit menempel di badan membuatnya terlihat lebih cool.“Semalem ada insiden kecil, tapi Mama enggak perlu khawatir.”“Insiden apa? Gimana bisa?”“Segala kemungkinan kan bisa terjadi, Ma. Tapi enggak apa-apa, udah diobatin lukanya sama Falisha, jadi Mama tenang aja.” Arka mendekati meja makan di mana semua keluarga sudah terduduk di sana.“Jangan-jangan kamu berantem.” Wilis menimpali, sambil melipat koran yang tadi menutup wajah.“Kayak anak kecil aja udah setua ini masih berantem, Pa.” Salma tidak percaya.“Ya siapa tahu. Papa kan Cuma nebak aja.” Wilis melipat koran, kemudian meletakkannya di meja. “Ya sudah, yuk, sarapan! Sudah laper Papa gara-gara nungguin Arka.”Wilis membalik piringnya, sementara Salma bergerak cepat m
“Arsya, kenapa? Jawab Kakak. Kenapa Arsya lakuin itu sama Mas Arka?”Arsya menjatuhkan diri di samping Falisha. Dia baru saja terbangun dari alam bawah sadar. Ingin sekali mengaku akan cintanya yang begitu besar untuk perempuan itu, tetapi mendadak sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat.“Aku ... enggak bisa lihat Kakak diperlakukan seenaknya sama Kak Arka. Aku pengen Kak Arka buka mata kalau Kak Falisha itu lebih baik, jauh lebih baik dari Sabrina yang cuma ngincar harta keluarga kita.”Usai mengucap kalimat itu, Arsya menunduk dalam-dalam. Seandainya saja dia tahu Falisha yang dilamar kedua orang tuanya untuk Arka, sementara Arsya sendiri tahu Arka memiliki seorang kekasih, mungkin Arsya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur.“Tapi Arsya enggak seharusnya lakuin itu. Arsya bisa negur Mas Arka baik-baik kalau mau. Arsya—““Kenapa Kakak malah belain Kak Arka? Sementara, aku lakuin itu buat belain Kakak. Aku enggak tega terus-terusan lihat K