Jason menarik lengan Briella dengan kasar, menyeretnya keluar dari mansion Adrian. Briella melawan, menendang, memukul, dan menjerit keras-keras, tetapi suara protesnya terbungkam ketika Jason membekap mulutnya dengan tangan. Ketakutan dan kemarahan bercampur dalam diri Briella membuatnya nekat menggigit telapak tangan Jason sekuat tenaga.“Aghh!” Jason menjerit kesakitan, merenggut tangannya dari gigitan Briella. Darah mengalir dari luka itu, tetapi Jason tidak menunjukkan belas kasihan sedikitpun. Sebaliknya, kemarahan di matanya semakin menyala. “Dasar pengkhianat!” caci Jason, menampar Briella dengan keras, membuat wajahnya terlempar ke samping.Briella jatuh tersungkur di tanah, dari bibirnya mengalir darah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dan ketakutan. Anak buah Felix turun dari mobil van yang terparkir tidak jauh, membantu Jason menyeret Briella yang tak berdaya ke dalam mobil. Briella terus memberontak, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan mereka.Jason mengangkat ta
Fernandez yang berusia dua tahun berjalan dengan langkah kecilnya menuju Rosalie, yang tengah melukis di taman belakang. Tangannya yang mungil memegang boneka kesayangannya. Dengan suara cadel, dia bertanya, “Grandma, ke mana Mommy?”Rosalie tersentak dari konsentrasinya. Dia menatap cucunya dengan lembut, menyadari bahwa sudah cukup lama Briella tidak terlihat. “Mommy... Mommy sedang pergi berbelanja, Sayang,” jawabnya belum menyadari apa yang terjadi.Fernandez menatap Rosalie dengan mata besar yang polos, menunggu jawaban lebih lanjut. Namun, Rosalie melihat ke sekeliling dan segera menyadari bahwa Briella seharusnya sudah pulang sekarang. Dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Briella, tapi suara dering dari dalam membuatnya semakin cemas. Dengan cepat, Rosalie berlari ke dalam bangunan mansion, menemukan ponsel Briella tergeletak di meja.“Ya Tuhan, kenapa ponsel Briella di sini?” Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor Hunter. Setelah beberapa dering, suara Hunter yang kh
Ponsel Adrian berdering lagi. Rupanya Felix Jorell menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Adrian langsung menjawab panggilan tersebut. Kepanikan dan kekhawatiran telah menggrogotinya. Dia tak ingin hal buruk menimpa Briella.“Datang ke Pelabuhan Sungai Enns. Sendirian. Kalau ingin Briella selamat,” ucap Felix dingin, dari seberang sana. Adrian mengepalkan tangan, menahan amarah. “Aku akan datang. Jangan sentuh dia.”Setelah menutup telepon, Adrian mengeluarkan pistol Glock 19 kaliber 9mm dari laci lalu menyelipkan di pinggang. Hunter melihatnya dengan khawatir.“Adrian, kau mau ke mana dengan senjata itu?” tanya Hunter tajam.“Pelabuhan Enns. Aku harus pergi sendirian. Briella dalam bahaya.” Adrian bersikeras.“Aku akan menemanimu,” jawab Hunter khawatir.“Jangan ikut,” larang Adrian. Setelah mengenakan jaket, dia berpamitan pada Rosalie dan mengecup kepala Fernandez. “Hunter, kau harus di sini menjaga Rosalie dan Nandy. Aku percayakan mereka padamu.”Hunter tidak bisa melarang, karena
Adrian terbangun perlahan dari kegelapan yang menenggelamkannya. Kepalanya terasa berat, seperti ada beban besar yang menindih. Suara-suara samar mulai terdengar di telinganya—suara mesin, bisikan lembut, dan langkah kaki yang pelan. Dia mencoba membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa begitu berat.Butuh beberapa saat sebelum pandangannya mulai jernih. Cahaya lembut memenuhi ruangan di sekelilingnya. Bau antiseptik menyengat hidungnya, dan bunyi detak mesin medis terdengar berirama di sampingnya. Dia ada di rumah sakit.“Adrian....”Suara lembut dan penuh kasih sayang itu menyusup ke telinganya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menoleh pelan dan melihat wajah yang begitu akrab. Rosalie, duduk di samping ranjang, menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.“Mom?” suara Adrian serak, hampir seperti bisikan. “Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?”Rosalie menunduk sedikit, berusaha menahan air mata yang tampak menggenang di matanya. Tangannya yang lembut menggenggam tanga
Adrian duduk di kursi kulit hitam yang dingin di ruang kerjanya, tubuhnya membeku sejenak saat dia membuka pesan dari Felix. Video yang berdurasi beberapa menit memutar gambar Briella—berdarah-darah, tubuhnya tertutup kain yang basah, dan akhirnya, dia dibuang ke laut.Adrian merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, tangannya menggenggam ponsel hingga jemarinya memutih. Video itu berakhir dengan suara gemuruh gelombang yang menelan Briella, dan Adrian merasa setiap detik terakhir nyawanya ditelan laut yang sama.Dengan napas tersengal, Adrian mencoba berpegangan pada meja di depannya. “Tidak ... tidak mungkin,” gumamnya berulang kali, suaranya pecah dan tersekat dalam tenggorokan. Setiap kali dia mencoba mengedipkan mata, bayangan Briella yang penuh luka selalu muncul di depannya. Rasa sakit yang merobek hatinya begitu mendalam sehingga terasa seperti ada tangan tak terlihat yang meremas-remas jantungnya.Adrian menyambar laptopnya dengan tangan be
Tiga Tahun Kemudian … Hari ini seharusnya adalah Hari spesial bagi Fernandez Maven. Aula besar dihias dengan bendera kecil berwarna-warni, sementara karya seni dan proyek siswa dipajang di sepanjang dinding.Para siswa, berpakaian rapi dengan seragam sekolah, berdiri gugup tapi bersemangat di samping meja mereka, menunggu orang tua datang. Guru-guru yang ramah menyambut para keluarga dengan senyuman, sementara ruang kelas dipenuhi dengan canda riang dan obrolan antara anak-anak dan orang tua.Hari Kunjungan Orang Tua menjadi saat yang ditunggu para murid setiap tahun. Sebab pada hari spesial itu, mereka libur dari pelajaran yang membosankan, tapi melakukan hal lain yang menyenangkan. Para murid bisa menunjukkan bakatnya.Anak-anak membuat pertunjukkan drama hari ini. Di ruang kelas yang riuh rendah, anak-anak berlarian dengan kostum mereka, bersemangat menyambut Hari Kunjungan Orang Tua. Meja-meja dipenuhi dengan alat kosmetik dan aksesori.Seorang demi seorang, mereka didandani oleh
Adrian menatap layar tablet dengan tangan yang bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Begitu layar menyala, video seorang wanita berlarian di pantai muncul. Mata Adrian membelalak terkejut. Ya, wanita cantik itu adalah Briella. Dia mengenakan bikini kuning, tertawa ceria sambil bermain dengan ombak. Adrian tidak dapat mengenali lokasi video tersebut, tapi yang pasti bukan di Eropa.“Setelah tiga tahun menghilang,” suara pembaca berita terdengar, “Briella muncul di publik hari ini, mengklaim bahwa dirinya tidak pernah diculik atau dibunuh. Felix Jorell tidak bersalah dalam kasus yang selama ini menuduhnya.”Adrian terpaku di tempatnya, napasnya tersendat. “Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Matanya terpaku pada layar, seolah-olah waktu berhenti.Dalam video itu, Briella terlihat begitu bebas, seakan tidak pernah ada penderitaan yang dialaminya. Tidak ada tanda-tanda trauma, tidak ada rasa takut. Dia tampak bahagia, senyum lebar terpancar di wajahnya.“Bagaimana ini bisa terjadi?” suara Ad
Adrian melangkah keluar ruang tamu dengan langkah cepat, jantungnya berdebar kencang. Di depan pintu masuk mansion, seorang pria berdiri tegak, rapi dengan jas hitam dan membawa tas kerja. Pria itu memperkenalkan dirinya dengan sopan.“Selamat sore, Tuan Maven. Nama saya Hansen Flick, saya adalah pengacara Nyonya Briella Moretti,” katanya dengan nada profesional, tapi dingin. Dia mengulurkan tangan, tapi Adrian tak membalas. Wajah Adrian keras, matanya tajam menatap pengacara itu.“Apa yang kau inginkan?” tanya Adrian, suaranya rendah dan tegang.Hansen tersenyum tipis. “Saya datang untuk menyampaikan surat gugatan perceraian dari klien saya—Briella Maven.”Adrian merasa seperti ditikam tepat di jantung. Gugatan perceraian? Setelah semua yang terjadi? Setelah tiga tahun dia mencari istrinya, kini Briella justru ingin menceraikannya?“Perceraian?” Adrian mendesis, suaranya penuh kemarahan. “Setelah semua ini? Kau pikir aku akan setuju begitu saja?”Hansen tetap tenang, meski atmosfer d